KERENDAHAN HATI

Dr. W. A. Criswell

 

Yesaya 57:13-19

05-30-76

 

 

Khotbah pada hari ini memiliki suatu arti lebih bagi saya secara pribadi daripada yang pernah saya persiapkan sejak lama. Ini merupakan sebuah nas bacaan luar biasa  yang penuh dengan keagungan di dalam pasal yang ke lima puluh tujuh dari kitab Yesaya. Di dalam pemberitaan kami melalui nabi besar ini, kita telah sampai kepada pasal yang ke lima puluh tujuh, dan nas bacaan kita terdapat pada pasal yang ke 15:

 

“Sebab beginilah firman Yang Mahatinggi dan Yang mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya dan Yang Mahakudus nama-Nya: “Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk.” 

 

Ini merupakan sebuah perasaan rohaniah yang kerap sekali diulangi di dalam Kitab Suci. Di dalam pasal yang terakhir dari kitab Yesaya, dia sendiri menuliskan pemikiran yang mulia itu kembali:

 

“Beginilah firman Tuhan: Langit adalah takhta-Ku dan bumi adalah tumpuan kaki-Ku; rumah apakah yang akan kamu dirikan bagi-Ku, dan tempat apakah yang akan menjadi perhentian-Ku? Bukankah tangan-Ku yang membuat semuanya ini, sehingga semuanya ini terjadi? Demikianlah firman Tuhan. Tetapi kepada orang inilah Aku memandang: kepada orang yang tertindas dan patah semangatnya dan yang gentar kepada firman-Ku.” 

 

Nasnya adalah: “Sebab beginilah firman Yang Mahatinggi dan Yang mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya dan Yang Mahakudus nama-Nya: “Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati.”

 

Pemikiran yang ada di dalam nas tersebut membingungkan jauh melewati imajinasi. Tuhan Allah yang berdiam di dalam ketidak terbatasan dan di dalam keabadian juga berdiam di dalam tempat yang sempit di dalam hati manusia. Hal itu sungguh tidak masuk di akal, tidak dapat dipahami bagaimana Tuhan Allah yang mengisi seluruh isi alam semesta ini, yang memanjangkan jangkauan ketidak terbatasan yang merupakan kepunyaan-Nya sebagai tempat tinggal-Nya dan sebagai tempat penghentiannya, juga berdiam di dalam sempitnya hati manusia yang begitu kecil dan sempit.

 

Entah bagaimana, saya dapat memahami ketidakterbatasan Tuhan Allah dengan cara melihat kepada langit yang bertabur bintang. Dengan pasti saya dapat memahami kejahatan dari hati seorang manusia. Akan tetapi saya tidak dapat memahami bagaimana yang satu boleh diliputi di dalam yang lainnya. Bagaimana Tuhan Allah yang mendiami seluruh bidang yang tidak terbatas itu dan seluruh keabadian itu boleh berdiam di dalam hati umat manusia?

 

Pertama-tama kita melihat pada gambaran Tuhan Allah sebagai Yang Agung di angkasa sana. “Engkau yang bersemayam di tempat yang tinggi dan surgawi,” di manapun itu, selalu ada Tuhan Allah. Dia berada di sini. Dia berada di sana. Dia berada di angkasa di tempat jangkauan yang terjauh dan di belakang pembatas yang membatasi kita serta jarak yang tidak akan pernah kita ketahui. Di dalam ketidakterbatasan langit yang berada di atas kitalah ada Tuhan Allah dan tempat persemayaman Tuhan Allah. Hal itu membingungkan pemikiran serta imajinasi tentang seberapa besar dan seberapa luas rumah itu, tempat tinggal dari Tuhan Allah Yang Mahakuasa.

 

Kita perlu tongkat pengukur yang telah dilihat oleh ohannes di dalam tangan malaikat. Manusia telah mencoba untuk membicarakan jarak dari ketidakterbatasan Tuhan Allah. Pertama-tama mereka menggunakan satuan mil sebagai jarak, dan berkata, jaraknya sejauh miliaran mil, lalu kemudian triliunan mil, dan kemudian kwadrilion mil. Lalu kemudian tongkat pengukur itu menjadi sia-sia. Lalu kemudian mereka menciptakan sebuah metode kecepatan dari sebuah bola peluru dalam periode dua puluh empat jam. Dan kemudian menggunakannya sebagai sebuah pengukuran, menemukan bahwa ketidakterbatasan Tuhan Allah itu berjarak jutaan dan miliaran dan kwadriliunan sampai pada akhirnya, menjadi sia-sia dan menjadi sebuah instrumen yang janggal.

 

Pada akhirnya, umat manusia kembali ke tongkat pengukur langit itu sendiri: kecepatan cahaya. Dengan kecepatan seratus delapan puluh enam ribu tiga ratus mil per detik hanya memerlukan waktu delapan menit dan tujuh detik dari sembilan puluh dua juta mil jarak antara matahari dengan bumi. Akan tetapi sekali lagi, mengukur tempat tinggal Tuhan Allah yang tidak terbatas, mereka menemukan di dalam tahun cahaya, berjarak jutaan dan miliaran dan triliunan dan kuadriliunan juta tahun cahaya jaraknya. Ah, luasnya alam semesta ciptaan Tuhan Allah di dalam mana Dia bersemayam! Tuhan Allah berada di segala tempat di dalamnya.

 

Ini akan menjadi sebuah ilustrasi yang buruk, ilustrasi yang sangat buruk. Akan tetapi sedikit banyaknya merupakan apa yang dimaksudkan oleh nas bacaan kita ketika nas itu berbicara tentang Tuhan Allah yang bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus, juga bersemayam di dalam hati manusia. Sama luasnya dengan langit yang bertaburan bintang-bintang dan sama tidakterbatasnya jarak yang tidak terhingga dan tidak terukur sana, dan meskipun demikian pada malam hari, saya dapat meliputinya di dalam satu lingkaran kecil di kedua mata saya.

 

Seorang anak gembala, yang sedang menjagai kawanan ternaknya di malam hari, dapat berbaring di atas tanah dan melihat ke atas ke arah langit Tuhan Allah yang tidak terbatas. Dan tidak terbatasnya kebesaran pekerjaan tangan Tuhan Allah dapat ditangkapnya dan diliputinya di pupil matanya yang kecil itu. Di sana, di matanya dilihatnya Orion perkasa yang berbaris dengan sabuknya yang berkilauan dan dengan pedangnya yang bertakhtakan permata.  Di sana, di matanya yang begitu kecil, dilihatnya pancaran cahaya dari Arcturus dan pancaran cahaya dari Sirius bintang yang paling terang sinarnya di langit. Dan di sana, di matanya, dilihatnya Bintang Utara yang begitu setia dan bintang Great Dipper yang menuju ke tugas surgawinya di sebelah utara – semuanya diliputi di dalam sebuah lingkaran kecil yang terbatas dari kedua mata gembala tersebut. Demikianlah, walaupun merupakan sebuah ilustrasi yang buruk kebesaran dan keagungan serta kemuliaan dari ketidakterbatasan Tuhan Allah yang bersemayam di tempat yang tidak terbatas. Dia membuat tempat tinggal-Nya juga di dalam hati manusia.

 

Nas bacaan tersebut senantiasa berbicara tentang keagungan dan kemuliaan Tuhan Allah sepanjang waktu. Kembali di sini bahasa yang membingungkan di bawah berat kebesaran dari beban yang diletakkan padanya. Dia yang mendiaminya, yang bersemayam di dalam keabadian, selama jutaan dan jutaan tahun dan selama berabad-abad lamanya sebelum adanya penciptaan, dan yang merupakan penyempurnaan besar dari jutaan dan jutaan tahun yang akan datang nantinya, Tuhan Allah yang awet, tidak berubah, yang abadi, yang telah mendiami keabadian.

 

Minggu yang lalu, saya berkhotbah di sebuah konperensi para pendeta di Institut Alkitab Moody di kota Chicago. Dan persis di sebelah luar jendela yang ada di dekat saya, tampaklah gedung Menara Sears anggun yang tinggi, bangunan tertinggi yang pernah dibuat oleh tangan-tangan manusia di dunia, seperempat mil tingginya di atas jalanan kota itu. Jika saudara-saudara mengambil sekeping uang logam senilai lima sen, sekeping nekel, dan meletakkannya di puncak gedung yang sangat besar itu, ketebalan keping logam lima sen itu akan menjadi relatif, usia manusia dibandingkan dengan usia dari penciptaan itu sendiri. Dan meskipun demikian, penciptaan bukanlah sebuah bagian, sebuah bagian yang kecil, suatu bagian yang kecil sekali dari keabadian sebelumnya dan keabadian yang akan mengikuti sesudahnya. Dan di dalam sepanjang jutaan tahun yang abadi itulah Tuhan Allah bersemayam.

 

Dan meskipun demikian, keperkasaan Tuhan Allah yang tinggal di dalam keabadian tidak terhingga yang berkelanjutan, pikiran saya dan hati saya dapat meliputinya. Bintang-bintang tidak dapat meliputinya. Segenap alam semesta-Nya bersifat peka terhadap kehadiran-Nya. Akan tetapi saya dapat melihat hasil pekerjaan tangan-Nya. Saya dapat menyaksikan Dia di dalam hukum-hukum-Nya. Saya dapat melihat dia di dalam pergerakan-Nya. Saya dapat berfikir tentang rancangan-rancangan Tuhan Allah setelah Dia.

 

Yang Maha Agung yang mendiami keabadian juga bersemayam di dalam pikiran serta jiwa dari hati manusia. Dia juga digambarkan sebagai Tuhan Allah Yang Mahaagung sebagai karakter yang nama-Nya adalah Mahakudus, kadosh, yang namanya adalah kadosh. Secara literal Kadosh artinya terpisah, dipisahkan. Yaitu, pemahaman kita tentang apakah arti kudus hampir secara keseluruhan di dalam pemahaman kita tentang apa yang tidak kudus. Kita memahami ketidaksucian, dan Tuhan Allah bukanlah itu. Kita memahami kejahatan, dan Tuhan Allah bukanlah itu. Kesombongan diri serta tipu daya dan dosa, semua yang artinya kejam dan hina serta keliru, Tuhan Allah bukanlah demikian. Tuhan Allah itu kadosh; yaitu, berjarak, terpisah dari dosa. Kekudusan-Nya itu seperti yang dikatakan oleh nabi Habakuk Dia tidak dapat melihat kejahatan.

Ketika rasul Paulus menulis tentang Yesus, bahwa Tuhan Allah telah membuat Dia menjadi berdosa untuk kita, lalu kemudian kita menmahami seruan dari kayu salib itu, “Allah-Ku, mengapa Engkau telah meninggalkan Aku?” Ketika matahari menolak untuk memberikan sinarnya dan terang yang ada di bumi ini menjadi gelap gulita, dan Tuhan Allah memalingkan wajah-Nya, karena mata-Nya lebih suci dari pada melihat kepada kejahatan. Dan meskipun begitu, Tuhan Allah Yang Mahakuasa yang bersemayam di dalam keabadian, dan keagungan tidak terbatas yang memenuhi segala tempat, dan karakter yang kudus dan murni serta surgawi tidak mampu menanggung beban untuk melihat kepada kejahatan yang bersemayam di dalam hati yang penuh dengan dosa, di dalam hati manusia, di dalam hati jasmaniah. Bagaimana mungkin?

 

“Oh Engkau yang bersemayam di tempay yang tinggi dan tempat yang kudus, yang bersemayam di dalam keabadian, Yang Maha Kudus nama-Nya, Dia juga bersemayam,” demikianlah kata rasul itu, “tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati.” Dia bersemayam di dalam hati orang-orang yang rendah hati.

 

Bagaimanakah orang-orang yang rendah hati itu?Bagaimanakah saudara-saudara sekalian menggambarkan dia? Dengan mudah saya dapat melakukannya dan di dalam satu kalimat: seseorang yang rendah hati, seseorang yang rendah hati dengan roh yang rendah hati, adalah seseorang yang memiliki sebuah evaluasi yang sebenarnya akan dirinya sendiri. Seseorang yang sombong dan meninggikan diri lupa bahwa dia terbuat dari debu dan tanah dan dia tinggal di hadirat dari Allah yang Maha Agung dan Maha Mulia. Dan di dalam rohnya, karena penuh dengan kesombongan, dia meninggikan dirinya sendiri. Dia bukanlah seorang yang rendah hati.

 

Saya sudah melihat begitu banyak orang yang hidup di dalam dunia intelektual dan mereka memiliki segalanya kecuali rasa rendah hati. Seperti yang saudara-saudara lihat, mereka dipenuhi dengan kebanggaan yang terlalu besar akan keberhasilan di bidang intelektual dan akademis. Misalnya, seorang astronom, dengan melihat ke langit yang begitu luasnya itu, dengan mudah dapat melupakan penyebab agung yang pertamanya, Tuhan Allah yang telah menciptakan segalanya itu. Seorang evolusionis, melupakan bahwa zat tidak dapat memulai atau mengadakan zat itu sendiri. Kadang kala ahli-ahli bedah itu lupa bahwa hanya Tuhan Allah yang benar-benar dapat menyembuhkan. Dan seorang ahli metafisika dengan gampang dapat melupakan bahwa di atas dan di luar semua yang kita lihat dan kita ketahui, di sana terdapat suatu kecerdasan dan suatu kejeniusan di luar kita. Dan kaum intelektual itu mengangkat diri mereka sendiri seolah-olah mereka mengetahui lebih banyak lagi dari pada Tuhan Allah. Dan mereka mencemoohkan di dalam sikap menertawakan terhadap mereka yang membungkukkan badan di hadapan nama Tuhan yang Maha Agung dan Yang Mahakuasa.

 

Juga sangat mudah dilakukan oleh seseorang untuk untuk menjadi sombong dan tinggi hati di dalam kemuliaan dirinya sendiri. Dia memperbesar arti penting dirinya sendiri. Oleh sebab itu, dia akan terluka oleh cidera akibat kelalaian dan dugaan. Dia diserang ketika pendapat-pendapatnya tidak diterima dengan kesungguhan hati yang mendalam. Dengan mudah dia berada di tempat yang penuh dengan kepahitan ketika dia menduga telah menerima beberapa kelalaian atau kecerobohan, dan dia tinggal di dalam suatu kehidupan yang tidak bahagia. Di dalam hatinya penuh dengan kebanggan. Rohnya begitu ditinggikannya. Dia memiliki sebuah perkiraan yang terlalu besar terhadap arti penting dirinya sendiri. Dia bukanlah seseorang yang rendah hati.

 

Betapa indahnya ketika seseorang mampu melihat kepada dirinya sendiri sebagaimana sebenarnya dirinya itu, terbuat dari pada debu dan tanah! Dan sungguh sebuah keberhasilan yang mengagumkan ketika seseorang mampu berkata di hadirat Penciptanya yang Agung, seperti sebuah roda, seperti sebuah bejana di tangan seorang pembuat periuk: “Tuhan, buatlah aku dan pakailah aku, untuk berada di sini, dan untuk berada di sana, untuk dipergunakan, untuk dicampakkan, seperti pilihan Tuhan Allah.”

 

Dan demikian, tanpa roh kecemburuan, dia dapat menyaksikan yang lain dipermuliakan sementara dia sendiri dihina. Dia dapat menyaksikan yang lainnya diperkenalkan untuk berdiri sementara dia tetap dalam keadaan duduk, tidak dikenali. Dia dapat melihat yang lainnya melewatinya di dalam keberhasilan serta di dalam pencapaian dan di dalam pujian. Dia dapat mendengarkan kata-kata penghargaan yang benar-benar didambakannya untuk dirinya sendiri. Dan dia bersukacita melihat kemajuan orang lain sebagai ingatan yang menyebutkan dirinya.

 

Tuhan Allah bersemayam di dalam hati orang itu, seorang yang rendah hati. Dan Tuhan Allah bersemayam di dalam hati orang yang remuk itu. Betapa berharganya dan betapa indahnya ketika Tuhan Allah berkenan dan sungguh-sungguh dan merancang serta berkeinginan melihat kepada roh seseorang yang remuk hati.

 

Seperti ini: Saya sedang di dalam perjalanan saya dengan satu bungkusan kecil, dengan sebungkus kecil air mata dan pencobaan serta pergumulan dan sedu sedan dan kesusahan dan kegelisahan dan keputusasaan dan kekecewaan saya. Saya mengumpulkannya di dalam satu bungkusan kecil, dan saya sedang berada di tengah perjalanan saya untuk meletakkannya di hadapan Tuhan Allah Yang Maha Besar dan Yang Mahakuasa. Dan seorang filsuf menghentikan perjalanan saya itu, dan dia berkata, “Apa yang engkau kumpulkan di dalam bungkusan kecil itu? Biarkanlah saya melihatnya.”

 

Dan saya membuka bungkusan kecil saya yang penuh dengan kesusahan dan kegelisahan dan pencobaan serta iar mata itu di hadapannya. Dan kemudian dia melihat kepada semua isinya itu dan dia berkata, “Apa? Apa? Apa? Apakah engkau berani membawa seluruh penggalan-penggalan keadaan-keadaan buruk itu ke hadapan Tuhan Allah Yang Maha Besar dan Yang Mahakuasa dan Yang Mahatinggi itu, Tuhan Allah yang Agung, Perkasa, Abadi, Tak Terkalahkan dan Yang Kekal itu? Dan dengan setiap julukan itu, hati saya terpukul.

 

Di hadapan Tuhan Allah, saya menghamparkan bungkusan kecil saya yang berisikan kesusahan dan air mata dan pencobaan serta penderitaan saya. Dan kemudian saya ingat, Dia telah memerintahkan saya untuk melakukan demikian. Dialah yang mengatakan, “Datanglah kepada-Ku hai orang-orang yang letih dan berbeban berat. Aku akan menyenangkan engkau.”

Dia yang mengendalikan seluruh isi alam semesta ini, yang memandu planet-planet besar supaya tetap berada pada orbit mereka, yang merawat galaksi-galaksi luas yang bertabur dengan bintang-bintang – Dia yang membungkukkan badan untuk mendengarkan doa-doa kita semua, dan yang melihat air mata kita, dan yang melihat menembus ke dalam bungkusan kecil saya yang penuh dengan pencobaan dan pergumulan itu.

 

Saya tengah berada di dalam perjalanan untuk menampakkan diri di hadapan Tuhan Allah Yang Agung dan Tinggi, yang bersemayam di dalam keabadian dan di dalam tangan saya ada sesuatu untuk saya letakkan di kaki-Nya, sebuah permintaan besar dan mengagumkan. Dan sang filsuf menghentikan saya, orang-orang yang berpandangan sesat itu mencegah saya dan mereka berkata, “Apa yang ada di dalam genggaman tangan anda yang akan anda letakkan di kaki Tuhan Allah Yang Maha Agung dan Yang Mahakuasa itu?”

 

Dan saya membuka tangan saya dan di sana terdapat sebuah permohonan yang begitu besar dan begitu kuat. Dan merekapun berkata, “Apa? Apa? Apakah engkau tidak tahu, apakah engkau tidak paham, bahwa Tuhan Allah Yang Maha Agung dan Yang Mahakuasa mengendalikan seluruh isi alam semesta ini dengan hukum, dengan hukum kebanyakan, hukum yang tidak dapat diubah? Apakah engkau akan mengira bahwa Tuhan Allah yang Maha Besar itu akan menangguhkan hukum-Nya yang tidak dapat diubah lagi itu hanya karena permohonanmu yang begitu kecil itu, yang begitu sederhana dan bodoh itu?”

 

Dan kemudian saya ingat suatu kali ketika Yoshua memanjatkan doa kepada Tuhan Allah dan Tuhan Allah menghentikan jalannya matahari dan bulan sebagai jawaban terhadap permintaannya. Dan kemudian saya mengingat akan nabi Elia yang memohon kepada Tuhan Allah dan Tuhan Allah menuangkan lidah api dari langit ke bumi. Dan saya ingat bahwa dengan sebuah permohonan sederhana dari raja Hiskia, Tuhan Allah memundurkan bayangan jam matahari raja Ahas sebanyak sepuluh derajat ke belakang. Dan saya ingat apa yang telah difirmankannya kepada saya: “Tidak ada yang terlalu sulit untuk Tuhan Allah. Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Mintalah dan Aku akan memberikan bangsa itu sebagai milikmu kepadamu.”

 

Seperti yang saudara-saudara lihat, dan saya tengah berada di dalam perjalanan saya dengan bungkusan kecil saya yang berisikan ucapan-ucapan syukur serta pernghargaan dan sukacita dan kegembiraan. Dan saya akan menghamparkannya di atas altar Tuhan Allah Yang Maha Agung dan Yang Mahakuasa. Dan filsuf itu menghentikan langkah saya dan dia berkata: “Apakah yang sebenarnya engkau miliki di dalam bungkusan itu? Perlihatkanlah kepadaku.”

 

Dan saya melepaskan ikatan bungkusan kecil saya yang berisikan ucapan terima kasih saya dan ucapan syukur saya kepada Tuhan Allah. Dan dia berkata, “Apa? Apa? Apakah anda berkenan untuk mengganggu Tuhan dari seluruh alam semesta Yang Maha Besar itu dengan kata-kata kecil, kata-kata yang sangat kecil, sungguh kecil akan ucapan syukur dan terima kasih serta pemberian-pemberian anda yang demikian kecilnya itu?”

Dan dengan wajah malu, saya memikirkan tentang kata-kata ucapan terima kasih saya yang lemah dan tergagap. Dan saya berfikir tentang ekspresi ucapan syukur saya yang terhenti itu. Dan saya melihat kepada miskinnya pemberian yang ada di dalam tangan saya ini, yang kemudian akan saya hamparkan di hadapan Tuhan Allah Yang Maha Agung dan Yang Mahakuasa. Dan kemudian saya mengingat Maria dan Yusuf, yang ketika ingin menyampaikan terima kasih terhadap kehidupan anak bayi laki-laki yang kemudian mereka namakan Yesus itu, mereka membawa sepasang burung perkutut kepada Tuhan Allah. Ketika mereka mempersembahkan anak itu di hadapan Allah, mereka membawa persembahan, sebuah persembahan yang terbaik yang dapat diberikan oleh orang-orang miskin, sepasang burung perkutut.

 

Dan kemudian saya ingat seorang anak laki-laki, yang mempunyai bekal makan siang yang kecil, beberapa potong roti kecil dan beberapa potong ikan kecil, dan Tuhan begitu gembira memberkatinya.

 

Lalu kemudian saya ingat ketika Tuhan duduk di hadapan kotak persembahan dan di sana datang seorang janda miskin dan memasukkan dua keping logam yang bernilai seperlima sen, dan Tuhan begitu gembira melihatnya.

 

Dan Dia telah memberikan perintah kepada saya, datanglah, dengan kata-kata ucapan terima kasih saya yang tertatih-tatih dan tergagap dan dengan ucapan syukur saya serta persembahan yang ada di dalam tangan saya. Dan Dia menyambut saya, dan berkenan untuk menerimanya seolah-olah di dalam semuanya itu terdapat alam semesta itu sendiri.

 

Dapatkah saudara-saudara sekalian membayangkan Tuhan Allah seperti itu? Jadi Dia bersemayam di dalam hati orang-orang yang rendah hati dan Dia memberkati roh-roh yang remuk.

 

Dan demikian juga dengan kedua orang yang masuk ke dalam Bait Suci untuk berdoa itu. Dan yang satu begitu angkuh dan tinggi hati mengangkat wajahnya dan berkata kepada Tuhan Allah, “Aku berterima kasih kepada-Mu karena aku tidak seperti orang yang lain. Dan aku berterima kasih kepada-Mu karena bahkan saya tidak seperti pemungut pajak di sebelah sana itu.”

 

Akan tetapi pemungut pajak itu, yang berdiri agak jauh dari orang yang satu lagi itu, tidak akan begitu menengadahkan wajahnya ke arah langit, akan tetapi memukuli dadanya sendiri dan menangis sembari berkata, “Tuhan, kasihanilah aku, orang yang berdosa ini.”

 

Dan Tuhan Allah berkata, “Yang Maha Besar telah turun ke bawah dan telah membuat tempat tinggal-Nya di dalam hati orang yang remuk dan sedang berdoa itu.”

 

Oh, sungguh suatu hal yang luar biasa ajaib! “Lihatlah Aku berdiri di depan pintu itu dan mengetuknya.” Tuhan Allah semesta alam Yang Maha Agung, yang berdiam di dalam keabadian, Yang Maha Kudus nama-Nya, kadosh, yang kudus, yang bersemayam di dalam luasnya penciptaan yang mulia dan luar biasa. “Lihatlah Aku berdiri di depan pintu itu dan mengetuknya. Barangsiapa yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu itu, maka Aku akan masuk ke dalam, berdiam bersama-sama dengannya dan dia berdiam di dalam Aku.”

 

Oh, berkat akan kebaikan Tuhan Allah bagi kita semua yang yang merupakan ciptaan yang paling sederhana dari seluruh makhluk ciptaan-Nya.