(AKU TAKUT MATI, APA YANG HARUS KUPERBUAT?)

I AM AFRAID TO DIE, WHAT SHALL I DO?

 

Dr. W. A. Criswell

 

Yesaya 38:1-5

01-31-82

 

 

Sungguh suatu sukacita untuk menyambut saudara-saudara sekalian yang bersama-sama sedang bersukacita dengan kami dalam Gereja Baptis Pertama dari kota Dallas. Ini adalah pendeta yang menyampaikan warta pada kebaktian malam pukul tujuh tepat. Mereka mengikutu temanya, “Apa yang harus keuperbuat?” Dan pada malam hari ini warta itu berjudul: Aku Takut akan Kematian – Aku Takut Mati: Apa Yang Harus Kuperbuat? 

 

Marilah bersama-sama dengan saya untuk membuka Alkitab saudara-saudara dari kitab Yesaya, pasal yang ke tiga puluh delapan Yesaya. Kitab Yesaya, pasal yang ke 38.  Dan kita akan membacakan lima ayatnya yang pertama, dan kita akan membacanya dengan nyaring bersama-sama. Kitab Yesaya, pasal yang ke 38, ayat 1-5. Apabila kita telah menemukannya, marilah kita baca dengan suara yang nyaring bersama-sama, dari yang pertama sampai dengan yang ke lima, pasal yang ke 38 dari kitab Yesaya:

 

Pada hari-hari itu Hizkia jatuh sakit dan hampir mati. Lalu datanglah nabi Yesaya bin Amos dan berkata kepadanya: “Beginilah Firman Tuhan: Sampaikanlah pesan terakhir kepada keluargamu, sebab engkau akan mati, tidak akan sembuh lagi.” Lalu Hizkia memalingkan mukanya ke arah dinding dan ia berdoa kepada Tuhan.

Ia berkata: “Ah, Tuhan, ingatlah kiranya, bahwa aku telah hidup di hadapan-Mu dengan setia dan dengan tulus hati dan bahwa aku telah melakukan apa yang baik di mata-Mu.” Kemudian menangislah Hizkia dengan sangat.

Maka berfirmanlah Tuhan kepada Yesaya:

“Pergilah dan katakanlah kepada Hizkia: Beginilah Firman Tuhan, Allah Daud, bapa leluhurmu: Telah Kudengar doamu dan telah Kulihat airmatamu. Sesungguhnya Aku akan memperpanjang hidupmu lima belas tahun lagi

 

Dan nas latar belakangnya ialah: “Beginilah Firman Tuhan: Sampaikanlah pesan terakhir kepada keluargamu, sebab engkau akan mati, tidak akan sembuh lagi.” Dan, “Lalu Hizkia memalingkan mukanya ke arah dinding dan ia berdoa kepada Tuhan……Ia berkata: “Ah, Tuhan, ingatlah kiranya, bahwa aku telah hidup di hadapan-Mu dengan setia dan dengan tulus hati dan bahwa aku telah melakukan apa yang baik di mata-Mu.” Kemudian menangislah Hizkia dengan sangat.”

 

Saya melihat kematian. Haruskah saya merasa ketakutan? Ada suatu reaksi secara insting di dalam seluruh kehidupan hewan, suatu ketakutan akan kematian. Dan hal itu untuk menjaga hidupnya sendiri. Tidak satu ekor hewanpun kecuali untuk menghadapi kematian itu akan berlari ataupun menggigit atau menyengat. Itu merupakan karakteristik yang dibangun di dalam, berdasarkan insting, karakteristik secara intuisi. Lebih kurangnya kita juga seperti itu. Ada sesuatu yang di dalam diri kita secara naluriah bereaksi dan menolak terhadap kematian. Dan karena menjadi manusia serta memiliki kecerdasan, kematian memiliki waah yang menakutkan bagi kita. Kerusakan serta kehancuran serta kekacauan dan ketidak-teraturan dari kerangka fisik kita sangatlah menakutkan untuk dilihat. Kita menyembunyikannya jauh-jauh. Kita menjauhkannya dari pandangan kita serta dari benak kita.

 

Kematian adalah tamu yang mengerikan. Dia tidak memiliki rasa hormat terhadap pribadi-pribadi Tidak menjadi masalah siapa atau bagaimana atau mengapa kita inim, kematian itu sama saja. Kematian bersifat universal, kita tidak pernah bangkit di atasnya.

 

“Tentang anak-anak manusia aku berkata dalam hati: “Allah hendak menguji mereka dan memperlihatkan kepada mereka bahwa mereka hanyalah binatang.”

Karena nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa mereka; sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain. Kedua-duanya mempunyai nafas yang sama, dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang, karena segala sesuatu adalah sia-sia.

Kedua-duanya menuju suatu tempat; kedua-duanya terjadi dari debu dan kedua-duanya kembali kepada debu.” 

 

Demikianlah pemberita di dalam kitab Pengkhotbah 3:18-20 meratapi nasib universal kita. Tidak menjadi masalah siapa kita, kita ini seperti binatang. Mereka mati dan kita mati. 

 

Gembar-gembor kesombongan dan kemegahan kekuatan,

Semua keindahan itu, semua kekayaan yang pernah diberikan itu,

Menanti mirip dengan saat yang pasti itu,

Jalan kemuliaan hanya mengarahkan kita kepada kematian.

 

[“Elegi dalam Kuburan Desa,” Thomas Gray]

 

Ketika kita mati, kita mati sendirian. Kita mati untuk diri kita sendiri. Tidak seorangpun yang mati untuk kita. Kita telah ditutup serta dikerat serta diisolasi dari seluruhnya hasil penciptaan, keluarga, para sahabat, seluruhnya yang telah kita kenal di dalam hidup kita. Seseorang berdiri di depan pintu keabadian setiap hari yang dijalaninya. Setiap hari dia mendirikan makamnya sendiri. Dan bebatuan dari makamnya itu, begitu kejam dan tidak dapat di tawar-tawar lagi akan menimpa dirinya sendiri.

 

Dan di dalam seluruh perwujudan hidup, kita melihat bukti dari mortalitas kita. Apakah saudara-saudara hidup di dalam sebuah rumah? Kemayian mengetuk setiap pintu untuk menghancurkan serta mengganggu keluarga itu, kematian akan mencabik-cabiknya. Apakah saudara-saudara hidup di dalam sebuah rumah? Kematian mengunjungi serta meningkatkan dan memperbesar pemakamannya. Apakah saudara-saudara suka pergi ke pasar? Di sana terdapat wajah-wajah baru serta rekan-rekan seperjalanan yang baru di sepanjang masa, ketika yang lama sudah meninggal. Apakah saudara-saudara gemar pergi ke gereja? Di dalam satu dekade, satu dari setiap empat gereja akan menghilang. Apakah saudara-saudara hidup di dalam satu negara? Saudara-saudara hidup di dalam satu negara di mana penduduknya bergeser-geser dan berubah-ubah.

 

Kita tidak mempunyai arah. Kepemilikan kita hanyalah untuk sebentar saja. Ada keputusasaan di dalam kematian, dengan kemalangannya yang suram di setiap malamdan dengan tengkoraknya serta tulang-belulang yang menyilangnya itu. Ada keputusasaan dalam kematian yang bersifat universal.

 

Akan tetapi Kitab Suci membawa pengharapan untuk kita anak-anak Tuhan:

 

“Kemudian datanglah firman Tuahn kepadaku: “Hai anak manusia, lihat. Aku hendak mengambil dari padamu dia yang sangat kau cintai seperti yang kena tulah, tetapi janganlah meratap ataupun menangis dan janganlah mengeluarkan air mata. Diam-diam saja mengeluh, jangan mengadakan ratapan kematian; lilitkanlah destarmu dan pakailah kasutmu, jangan tutupi mukamu dan jangan makan roti perkabungan. Pada paginya aku berbicara kepada bangsa itu dan pada malamnya isteriku mati. Pada pagi berikutnya aku melakukan seperti diperintahkan kepadaku.” 

 

“Yehezkiel, berdirilah di hadapan bangsa-Ku sebagai nabi-Ku, sebagai utusan-Ku, sebagai orang-Ku yang berkuasa penuh. Dan pada saat engkau berdiri seraya menyampaikan pesan dari Allah, isterimu, akan diambil darimu.” Dia akan mati, sebagai mana dikatakan oleh Kitab Suci, “seperti kena tulah.”

 

Dan Yehezkiel berdiri di hadapan orang-orang itu dan melakukan seperti yang diperintahkan kepadanya. Isterinya mati pada malam harinya. Dan di bawah perintah Allah dia menolak untuk meratap atau menangis.

 

Ada beberapa hal mengenai hal tersebut yang sangat jelas. Yang pertama serta yang paling mencolok adalah begini: agama bukanlah sebuah peralatan melawan sakit, penyakit, penderitaan serta kematian. Ini bukanlah kebetulan. Ini tidak ada di dalam kehendak memperbolehkan Tuhan Allah. Ini merupakan suatu tindakan dari Tuhan Allah Yang Mahakuasa sendiri: “Isterimu akan mati sementara engkau berdiri memberitakan.”

 

Hal yang kedua paling jelas kelihatan mengenainya. Tidak ada yang akan menjadi suatu penyimpangan atau suatu penghentian dari pekerjaan saudara-saudara karena kematian. Orang lain dari dunia itu akan menjadi lebih bengis atau lebih sinis atau lebih menentang terhadap kematian dari kehidupan, terhadap berkurangnya tenaga, atau usia atau meredupnya pengaruh, dan pada akhirnya kekecewaan dan kematian. Akan tetapi hal itu tidak terjadi pada anak-anak Tuhan. Dia tetap meneruskannya dalam komiten serta kekuatan yang besar, walaupun kematian mendatangi dia ataupun bangsanya.

 

Maukah saudara-saudara melihatnya kembali? Adalah Tuhan Allah yang memilih hari kematian kita. Adalah kedua tangan-Nya yang membukakan pintu-pintu gerbang kemuliaan bukan tangan yang lain. Hal itu tidak akan menjadi suatu peristiwa yang kebetulan. Hal itu bukanlah suatu kebetulan atau suatu penantian. Ketika hari kematian kita datang, itu akan berada di dalam suatu pilihan dari tujuan pemilihan Tuhan Allah. Itu akan menjadi pemilihan-Nya akan waktu serta kebaikan dan pilihan memilih ketika kita di bawa pergi.

 

Maukah saudara-saudara memperhatikan kembali di dalam bagian ayat kita dari kitab Yesaya? Tuhan Allah mengutus Yesaya kepada raja Hizkia dan berkata, “Sampaikanlah pesan terakhir kepada keluargamu, sebab engkau akan mati, tidak akan sembuh lagi.” Inilah kehendak Allah pada Hizkia.

 

Tuhan itu begitu lembut dan penuh dengan belas kasihan serta digerakkan oleh syafaat kita serta oleh doa-doa kita. Dan ketika Hizkia memalingkan wajahnya ke dinding serta menangis di hadapan Tuhan Allah karena vonis akan kematian itu, Tuhan Allah merubah hati-Nya dan maksud-Nya, dan membalikkan Yesaya ke belakang dan mengutusnya kembali dan mengatakan, “Aku telah menambahkannya kepadamu, Hizkia, lima belas tahun lamanya. Aku telah mendengarkan doamu. Telah Kulihat air matamu dan Aku telah menambahkan lima belas tahun kepada hidupmu.”

 

Apa yang telah terjadi di dalam waktu yang lima belas tahun itu adalah bahwa Manasye dilahirkan. Manasye meneruskan Hizkia sebagai raja Yehuda. Dan seperti yang beberapa kali dikatakan oleh Kitab Suci, karena kejahatan, karena cara-cara yang buruk, karena darah di kedua tangannya, karena dosa-dosa Manasye, Tuhan Allah telah menghancurkan Yehuda dari hadapannya, menyerahkan bangsa itu ke dalam tangan kaum Kasdim, membakar bait suci itu dan membuat orang-orang itu masuk ke dalam perbudakan serta pembuangan.

 

Adalah lebih baik apabila kehendak Allah yang akan terjadi daripada kita pernah turut campur atau meminta atau berdoa atau berseru melawannya.

 

Ketika saya masih kecil dulu, saya mendengar kisah tentang seorang wanita yang memiliki seorang bayi yang sedang sekarat menuju kematiannya. Dan dia menangsi serta meratap di hadapan Tuhan Allah. Dan Tuhan mendengarkan doa-doanya, Tuhan telah melihat air matanya serta memberikan nafas kehidupan kepada anak kecil itu. Dan wanita itu masih hidup untuk melihat hari di mana anak yang dulunya sekarat itu akan didudukkan di atas kursi listrik di penjara negara bagian, sebagai seorang pelaku tindak kriminal yang paling keji. Bukankah lebih baik jika Tuhan Allah mengambil anak bayi kecil itu dulu ketika dia masih tidak berdosa, sebelum jatuh pada sebuah kehidupan yang penuh dengan kejahatan yang keliru?

 

Maka biarkanlah kehendak Tuhan Allah yang akan terjadi. Dan doa-doa kita akan senantiasa seperti ini, “Tuhan, jika hidup serta umur yang panjang dapat mempermuliakan nama-Mu, maka Tuhan, biarkanlah aku hidup. Akan tetapi apabila dalam kematianku adalah lebih baik bagiku untuk bersama-sama dengan Engkau di dunia ini, maka jadilah kehendak-Mu.” Selalu.

 

Apakah saudara-saudara tahu hal yang lain lagi ketika kita berhadapan dengan kematian? Di dalam keterangan dari Kitab Suci mengenai pernyataan Allah, tentu saja di dalam diri kita terdapat reaksi insting terhadap kengerian akan kerusakan serta pembusukan itu. Akan tetapi secara berulang-ulang Alkitab akan mengulangi untuk kita pengulangan yang kerap diulangi itu, diulangi lebih dari seratus kali di dalam Alkitab, “Janganlah takut. Jangan takut.”

 

Allah mengirimkan pesan untuk kita. Kematian ada di tangan-Nya, dan kita tidak boleh takut. Di dalam pasal yang pertama kitab Wahyu, ketika rasul Yohannes terjatuh di dekat kaki Yesus, dia menjadi seperti orang yang sudah mati. Dan Kitab Suci mengatakan di dalam ayat yang ke 17 dan 18, Yesus meletakkan tangan kanan-Nya di atas Yohannes dan berkata, “Jangan takut! Aku adalah Yang Awal dan Yang Akhir, dan Yang Hidup. Aku telah mati, dan lihatlah, Aku hidup, sampai selama-lamanya dan Aku memegang segala kunci maut dan kerajaan maut.”

 

Semuanya ada di dalam tangan-Nya yang perkasa. Tidak ada kecenderungan dari sebagian Alkitab untuk menutupi ketakutan akan kematian. Sama seperti ketika Allah berfirman, “Aku bersama-sama denganmu di dalamnya dan Aku akan memimpin di depan.”

 

Alkitab memiliki perilaku yang berbeda terhadap kematian daripada di dalam agama-agama serta puisi yang lain. Alkitab tidak pernah mencari cara untuk membubuhi keterangan tentang kengerian akan kematian. Alkitab tidak pernah mencari cara dengan jalan selubung riasan untuk membuat penampilan kematian itu begitu indah dan berterima. Alkitab tidak pernah mencari cara – dalam puisi, meskipun kita menyelubungkan kembali jubah kita disekeliling kita di dalam impian-impian yang menyenangkan. Alkitab menggambarkan kematian sebagai seorang musuh, sebagai seorang penyelundup, dan itu tidak pernah menyimpang dari penguraian itu.

 

Sebagai contoh, apakah saudara-saudara pernah mempertimbangkan berhalanya orang-orang Yunani, ketika dia mati dan bagaimana caranya Yesus mati?  

Idola dari orang-orang Yunani dijumpai di dalam diri Sokrates, yang sering dituliskan oleh Crito. Dan ketika tiba waktunya bagi Sokrates untuk meminum minuman yang beracun itu untuk mati, dia melakukannya dengan penuh dengan kesombongan yang mencemooh dampak dari racun tersebut. Dan ketika racun itu mulai melumpuhkan kaki dan pahanya dan sampai pada bagian-bagian vital dari tubuhnya, persis sebelum ajalnya menjemput dia, Sokrates berpaling kepada Crito, sahabatnya itu dan berkata, “Crito, omong-omong, aku berhutang seekor ayam jantan kepada Asklepios, dewa penyembuhan itu. Yakinlah dan bayarkanlah.” Itulah kata-kata terakhir yang diucapkannya, dengan cemoohan serta penghinaan. Demikianlah orang-orang Yunani. 

 

Lihatlah bagaimana Yesus menghadapinya. Di dalam suatu penderitaan. Di dalam sebuah penderitaan. Bagi Yesus, kematian adalah sesuatu yang mengerikan. Kematian adalah suatu hal yang mengerikan. Kematian adalah musuh dan Dia menjerit melawannya.

 

Dari seluruh buku di seluruh dunia ini Alkitab adalah kitab yang realistis. Dan penyajian Alkitab mengenai kematian adalah pengalaman kita. Kematian adalah sesuatu yang mengerikan. Saya sudah sering melihat orang-orang mati. Saya tidak tahu sudah berapa sering. Kematian adalah sesuatu hal yang mengerikan. Tercerai-berainya tubuh, pembusukan itu, bau amis itu, dan kedua mata itu – Oh, Tuhan, kematian itu sungguh mengerikan, raja dari hal yang paling mengerikan! Alkitab tidak menyembunyikannya atau mencari cara melalui ekspresi sentimentil untuk menutup-nutupinya.

 

Akan tetapi Kitab Suci berkata kepada kita, “Jangan takut! Aku adalah Yang Awal dan Yang Akhir, dan Yang Hidup. Aku telah mati, dan lihatlah, Aku hidup, sampai selama-lamanya dan Aku memegang segala kunci maut dan kerajaan maut.”

 

Tuhan menggambarkan diri-Nya sendiri sama dengan kita. Tidak pernah Dia menggambarkan diri-Nya sendiri sebagai tempat pemujaan, yang terpisah dan berjarak dengan kita, akan tetapi senantiasa sama dengan kita. Tuhan tidak pernah digambarkan sebagai yang benar dan kita sebagai yang tidak benar, atau Dia kuat dan kita tidak berdaya, atau Dia beruntung dan kita tidak. Akan tetapi Tuhan senantiasa menggambarkan diri-Nya sendiri sama dengan kita.

 

Apakah kita berjuang? Dia berjuang. Apakah kita telah diturunkan ke tempat yang dalam? Dia turun ke tempat yang paling dalam. Apakah Dia menjerit di dalam penderitaan? Kita juga demikian. Apakah kita mendapatkan keputus-asaan serta penghinaan dan rasa malu serta sakit hati dan berlinang air mata? Dia juga demikian. Dia tidak pernah menempatkan diri-Nya terpisah dengan kita. Dia bersama-sama dengan kita. Dia berdiri di samping kita. Dia sedekat sebuah doa kepada kita. Dia sedekat dengusan nafas kita.

 

Dan begitupun, dia berkata kepada kita, “Jangan takut. Aku sudah pernah ke sana. Tidak ada suatu kedalaman manapun yang belum pernah Kumasuki, dan tidak ada penderitaan yang belum pernah Kupikul. Aku sudah pernah mengalaminya dan Aku akan mendampingimu.”

 

Bagian ayat dalam kitab 2 Timotius 1:10 ini merupakan sebuah perkataan yang luar biasa dan penuh dengan kemenangan: “Dia telah mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa.” Kata “mematahkan” itu artinya Dia membuatnya menjadi tidak berpengaruh lagi. Dia telah melepaskan sengat darinya dan menjadi menang darinya. Dia telah mematahkan kuasa maut.

 

Itu merupakan salah satu bagian ayat yang paling dahsyat di dalam Alkitab. Yesus, Tuhan kita, adalah Raja di atas raja kengerian. Dia adalah Tuhan atas segala hukum kematian yang universal. Apakah saudara-saudara pernah berfikir tentang Tuhan Yesus sebagai yang paling unggul dari seluruh hukum alam?

 

Kita fikir bahwa alam berjalan di arahnya, tanpa terelakkan lagi serta secara pasti. Dan kita merasa ngeri berhadapan dengannya. Akan tetapi Dia unggul dari segala hukum alam. Tuhan kita. Dia berbicara kepada angin ketika angin itu bergemuruh, dan angin itu menjadi diam, Dia berbicara kepada ombak ketika ombak itu naik, dan ombak itu kemudian menjadi hening. Dia berbicara kepada penyakit serta bencana hidup, dan Dia unggul terhadap seluruh hukum alam. Dan Dia unggul dari segala hukum kematian yang bersifat universal. Dia adalah Raja di atas segala raja kengerian.

 

Dan kehidupan kita, oleh karena Dia, dan tubuh kita, oleh karena Dia, tidak akan dibatasi untuk selamanya terhadap debu. Tidak akan pernah! Tubuh ini “di tabur dalam kerusakan dan dibangkitkan di dalam keadaan tidak rusak. Ditabur dalam ketidak-hormatan. Dibangkitkan di dalam kemuliaan. Ditabur dalam ketidakberdayaan akan tetapi dibangkitkan dengan kekuatan. Ditaburkan sebagai satu tubuh yang alami. Dibangkitkan sebagai satu tubuh yang rohaniah.” Dan suatu hari nanti tubuh ini akan – jika Kristus menunda dan aku terjatuh ke atas debu – tubuh ini akan mendengar bunyi tiupan sangkakala dan akan bangkit dari antara orang mati.

 

Di dalam Perang Dunia terakhir yang mengerikan ini, ada seorang penyair dan pendeta serta ahli ilmu agama berkebangsaan Jerman yang hebat. Dan ketika bencana yang mengerikan itu menghancurkan negerinya dan bangsanya, pada suatu hari Minggu Paskah pagi, dia mengakhiri khotbahnya dengan ini:

 

Ketika aku mati dan seseorang menemukan tengkorak saya, semoga tengkorak ini memberitakan kepadanya sedemikian. Aku tidak memiliki mata, akan tetapi aku melihat Dia. Aku tidak memiliki otak atau pemahaman, meskipun demikian aku mengenal Dia. Aku tidak memiliki bibir, akan tetapi aku telah mencium Dia. Aku tidak memiliki lidah, akan tetapi aku memuji Dia dengan kamu semuanya yang berseru kepada nama-Nya. Aku adalah tengkorak yang keras, meskipun demikian aku dijadikan lembut serta dicairkan di dalam kasih-Nya. Aku berbaring sendirian di dalam kuburan, meskipun demikian aku berada di dalam sorga. Seluruh penderitaan terlupakan oleh karena kasih-Nya yang agung. Ketika karena kita, Dia memikul kayu salib-Nya dan berjalan menuju bukit Kalpari.

 

Kematian tidak menyengat anak-anak Tuhan. Dan jika tubuh saya berubah menjadi debu tanah, meskipun begitu, tubuh itu akan bangkit untuk memuji nama-Nya. Meskipun melalui kulit saya cacing-cacing akan menghancurkan tubuh ini, meskipun demikian ketika saya masih menjadi manusia saya akan melihat Tuhan Allah. Dan kedua telinga ini akan mendengar suara-Nya, dan kedua mata ini akan melihat pada kemuliaan-Nya, dan kedua tangan ini akan terlipat dalam sikap pemujaan di hadapan-Nya, kedua lutut ini akan berlutut di dalam kasih serta penyembahan.

 

Sampaikanlah pesan terakhir kepada keluargamu, sebab engkau akan mati, tidak akan sembuh lagi.”

 

Apakah perintah Tuhan itu? Bagaimana saya akan mengatur hidup saya, padahal saya mungkin akan berhadapan dengan kematian? Demikianlah salah satu caranya: Saya dapat melakukannya dengan mencoba untuk menawarkan pekerjaan-pekerjaan yang baik bagi Tuhan Allah.

 

Masalah saya di dalamnya adalah demikian. Bagaimana saya akan pernah mengetahui bahwa pekerjaan-pepekerjaan cukup baik? Dan bagaimana caranya saya tahu jika saya sudah cukup baik di sepanjang hidup saya? Bagaimana saya tahu bahwa di akhir zaman nanti pada akhirnya saya akan terjatuh? Iman kepercayaan yang seperti itu dan agama yang seperti itu tidak akan membawa ke mana-mana kecuali penderitaan akan kegelisahan. “Tuhan, Tuhan, apakah aku sudah diselamatkan? Tuhan Allah yang baik, apakah saya cukup beriman? Apakah saya cukup baik?”

 

Dan saya bersiap-siap untuk hari terakhir dan penghabisan itu. Saya tidak dapat melakukannya oleh karena pekerjaan baik saya. Saya tidak akan mengetahuinya apakah mereka sudah cukup baik. Begitupun saya tidak dapat mempersiapkan diri untuk hari itu - “Sampaikanlah pesan terakhir kepada keluargamu, sebab engkau akan mati, tidak akan sembuh lagi” – demikian juga saya tidak dapat bersiap-siap untuk hari itu dengan braggadocio serta cemoohan akan penghakiman yang tidak terelakkan lagi itu.

 

Saya tidak dapat melakukan persiapan untuk hari itu dengan ucapan-ucapan ketidaktakutan dan keberanian manusia. Itu merupakan salah satu hal yang paling aneh yang akan saudara-saudara lihat di dalam kehidupan manusia, bagaimana manusia berkenan, menurut dugaan, untuk mencemooh hari kematian itu.

 

Akan tetapi jika saudara-saudara melihatnya lebih dekat lagi, bagaimana orang-orang itu meningal dunia? David Hume, seorang filsuf dan penyembah berhala, seorang pria yang terkenal, yang menentang kayu salib itu, menertawakan Kristus, dan pada saat yang sama dengan penuh rasa kepercayaan diri menyatakan bahwa ketika waktunya untuk mati telah tiba nanti, dia akan menghadapinya penuh dengan keberanian. Nah, itulah David Hume, salah seorang filsuf terbesar di sepanjang sejarah. Dia berkebangsaan Skotlandia.

 

Saya ingin membacakan dari apa yang telah dituliskan oleh pengurus rumahnya, yang bersama-sama dengan dia di hari kematiaannya, pengurus rumah tangga itu menulis demikian: 

 

Ketika dia sendirian – orang fasik yang telah berkata bahwa dia tidak takut akan kematian – pemandangannya begitu berbeda ketika dia sendirian. Pergolakan mentalnya begitu hebatnya karena begitu seringnya membuat aku gusar. Dia berjuang untu tampil teratur bahkan di depanku. Akan tetapi kepada seseorang yang telah hadir di samping tempat tidurnya beberapa hari dan beberapa malam, yang telah menyaksikan tidurnya yang gelisah dan lebih gelisah lagi ketika sedang bekerja, yang sering kali mendengar nafas penyesalannya serta  mulai merasa ketakutan, itu merupakan suatu perkara yang sukar untuk menentukan bahwa semua yang ada di dalamnya tidak normal. Hal ini berlanjut dan semakin hebat sampai dia menjadi tidak dapat merasakan apapun lagi. Saya berharap saya tidak akan pernah dipanggil untuk menyaksikan pemandangan yang sama lagi.

 

Di bagian luar, begitu hebatnya, akan tetapi di bagian dalamnya, merasa takut dalam pergolakan yang tidak terbatas serta tidak dapat diungkapkan lagi.

 

Saya membaca tulisan Warden Laws, dari penjara Sing-Sing, yang selama satu generasi memimpin penjara yang mengerikan itu. Dia berbicara tentang selama bertahun - tahun dia telah menyaksikan pelaksanaan hukan mati di kursi listrik terhadap orang-orang yang berdosa, para pembunuh yang keji, penjahat yang dikeraskan di dalam penjara tersebut. Dan dia berkata, “Seolah-olah mereka kelihatannya begitu berani serta mencoba untuk menganggap sebuah bagian depan keberanian,” katanya, “ketika hari pelaksanaan eksekusi itu tiba, mereka harus diseret menuju ke kursi listrik tersebut. Mereka diserang kengerian yang dahsyat.”

 

Saya merasa terkagum-kagum membaca kisah kehidupan Adolf Hitler, dia menjalani hari-harinya di dalam ketakutan manusia terhadap kematian. Dan ketika para perwiranya yang berpangkat paling tinggi, yang paling dekat dengan dia serta para perwiranya yang terbaik datang mengunjungi dia, semua benar-benar digeledah secara menyeluruh sebelum mereka berdiri di hadapannya.

 

Apakah saudara-saudara membaca kisah ini? Di dalam tangan saya, saya memegang buku yang paling baru diterbitkan oleh pendeta itu. Buku ini berjudul “Harapan yang kekal” Buku ini merupakan sebuah tuntunan kebaktian. Dan Dr. dan Ny. Paige Patterson telah menyelesaikan tiga puluh sembilan buku atau empat puluh, yang telah mereka terbitkan, dan memotong perikop-perikop dari insiden-insiden kecil di dalam hidup saya yang mengilustrasikan Kitab Suci, dan mereka membuat sebuah buku mengenai kebaktian dari padanya. Kami membacanya setiap pagi di meja makan ketika menikmati sarapan pagi kami.

 

Ini adalah yang untuk tanggal 25 Januari. Dalam Kitab Suci dituliskan, “Saya tahu bahwa Penebusku hidup, dan bahwa Dia akan berdiri di hari belakangan di atas bumi.” 

 

Apakah saudara-saudara membacanya? Beginilah perkataan saya: “Suatu kali saya berdiri” – pendeta anda - “sekali waktu saya berdiri di depan Gereja Baptis dari Gereja Baptis William Carey Memorial Baptist Church di Kalkuta, India. Di samping gedung gereja itu ada sebuah plakat pualam putih yang berukuran besar yang memikul sebuah prasasti yang menandakan ini sebagai sebuah tempat di mana Adoniram Judson dan isterinya, Anne Hasseltine Judson, dan Luther Rice telah menerima pembaptisan ke dalam persekutuan Baptis.” 

Mereka telah diutus sebagai misionaris, sebagai misionaris yang pertama yang pernah diutus dari Amerika. Mereka telah diutus sebagai mionaris oleh Dewan Misi Kongregasi. Sekarang, ketika mereka sedah menjadi jemaat Gereja Baptis, mereka tidak mendapatkan dukungan lagi dan telah disepakati bahwa keluarga Judson akan melawat ke Burma sementara Luther Rice akan kembali ke Amerika untuk mencari dukungan. Demikianlah permulaan dari golongan gereja Baptis.

 

Ketika Luther Rice kembali ke Amerika untuk miningkatkan dukungan terhadap Adoniram Judson dan isterinya di Burma di Timur sana . . .  Nah, orang ini, Adoniram Judson – sebagai seorang pria muda, Adoniram menempuh kuliah di Universitas Brown, lembaga Baptis kita yang tertua. Selama hari-hari perkuliahannya, dia kembali ke rumahnya dan memberitahukan kepada kedua orang tuanya, “Saya adalah orang fasik. Saya tidak percaya dalam Tuhan Allah dan sudah pasti saya tidak percaya dalam Kristus, dan kurang percaya terhadap gereja.”

 

Pemberitahuan itu mengejutkan bapanya yang beriman itu serta melukai hati ibunya. Dia keluar dari rumah bapanya, meninggalkan iman kepercayaan dan gereja itu, berniat untuk menjalani hidup sebagai seorang anak durhaka serta berakhlak buruk. Ketika dia menempuh perjalanannya, dia sampai di sebuah penginapan desa, dan bertanya kepada tuan tanah untuk menginap selama satu malam. Pemilik tanah itu berkata, “Ya. Saya masih memiliki sebuah kamar yang kosong. Akan tetapi, di kamar sebelahnya ada seorang pria yang sedang sekarat. Apakah hal itunantinya akan mengganggu anda?”

 

Judson menjawab, “Ha, ha, saya tidak takut akan kematian. Saya mau menerima kamar itu.”

 

Sepanjang malam itu, dia mendengarkan kesakitan, jeritan serta kegelisahan pria yang berada di kamar sebelah. Dia tidak mampu mengeluarkan pria itu dari dalam pikirannya, dia berfikir, “Apakah pria itu sudah siap untuk mati? Apakah dia sudah siap untuk bertemu dengan Allah?”

 

Keesokan paginya, Judson mencari pemilih penginapan untuk bertanya mengenai pria yang sekarat itu. Pemilik penginapan itu berkata, “Tuan, pria itu sudah meninggal dunia.”

 

Judson bertanya, “Apakah anda kenal siapa dia?” 

 

“Ya,” jawab pemilik tanah itu, “dia pemuda dari Universitas Brown.” 

Judson berteriak, “Universitas Brown? Siapakah namanya?” 

Dan pemilik penginapan itu menjawab, “Namanya adalah Elbert Winthrop.” 

 

Adoniram Judson, tertegun dan terkagum, karena pria itu adalah orang yang memperkenalkan kefasikan kepada dirinya.

 

Dia menutup wajahnya dan meminta Tuhan Allah untuk mengampuni dirinya. Dia kembali kepada bapa dan ibunya. Dia memberikan sebuah kesaksian iman di Gereja Baptis, dan dia telah diterima ke dalam keanggotaan jemaat. Dia mendaftarkan diri di dalam seminari dan menjadi misionaris kita yang pertama.

 

Sah-sah saja untuk menjadi orang fasik. Asal jangan meninggal. Boleh-boleh saja mencemoohkan salib itu. Hanya pastikanlah bahwa anda itu hidup abadi. Tidak menjadi masalah untuk memperolok-olok iman kepercayaan serta gereja dan kasih karunia dan kemurahan dan cinta kasih dari Tuhan Yesus. Hanya saja, pastikanlah bahwa saudara-saudara mampu menghadapi keabadian tanpa pertolongan Allah dan kasih karunia Allah dan kemurahan Allah.

 

Saya takut mati; apa yang seharusnya saya perbuat? Inilah yang harus saya lakukan. Saya akan membawa jiwa saya yang malang serta tubuh saya yang membusuk kepada Tuhan Yesus.

 

“Tuhan Yesus, aku tidak sederajat dengan semua hal ini. Kuasa kematian lebih kuat dariku.  Dan di dalam kekekalan yang akan datang nanti yang luas dan tidak terukur, Tuhan, jadilah penuntunku dan rekan seperjalananku serta sahabatku dan penasehatku dan pembimbingku dan Juru Selamatku. Dan melalui lautan maut serta penghakiman yang menggemuruh itu, Tuhan, dampingilah aku.”

 

Sungguh suatu hal yang luar biasa ada di dalam Alkitab itu. Saudara-saudara akan sangat sedikit menemukannya di dalam Alkitab mengenai keluarga-keluarga yang meratap di dalam kematian. Akan tetapi saudara-saudara akan banyak sekali menemukan ha-hal tentang menyanyinya orang-orang kudus di dalam Kitab Suci, menyanyi tentang kemuliaan anak-anak Tuhan Allah, mengenai janji-janji Tuhan untuk bangsa-Nya di sorga nanti.

 

Dan saya akan mengakhiri dan Alkitab mengakhirinya, “Dia Yang telah mengakui hal-hal ini berkata, ‘Aku pasti akan datang dengan segera’” – baik ketika Dia turun untuk menemui kita, atau ketika kita akan bangkit untuk bertemu dengan Dia – yang satu atau yang lainnya. Tidak ada perbedaannya. Apakah aku akan terjatuh ke dalam kedua tangan-Nya di dalam kematian atau apakah Dia akan mendatangi ke bawah untuk membawaku ke sorga, sama saja. Demikianlah Yesus, Tuhanku itu.

 

Dan sebagai doa penutup dari Alkitab, “Meskipun demikian, datanglah, Yesus Yang diurapi.” Jika saya mengenal hati saya, saya sudah siap. Hari apa saja. Kapan saja. Datanglah, Juru Selamat yang berharga.

 

Bolehkah saya melihat saudara-saudara berdiri bersama-sama?

 

Tuhan kami yang ada di sorga, Tuhan akan kehidupan dan Tuhan akan kematian, kami semuanya hidup di hadapan musuh yang mengerikan itu. Di pagi hari, kami akan menguburkan salah seorang dari antara kami. Seorang petugas pelayanan Injil.

 

Di siang hari, kami akan menguburkan salah seorang ibu kami yang paling kami kasihi. Oh, Tuhan, kami hidup di dalam keberadaan kengerian yang kejam dan bengis itu.

 

Akan tetapi Tuhan, di dalam ketidakberdayaan kami, kami telah menemukan kekuatan di dalam diri-Mu. Terpujilah Tuhan Allah sehingga Yesus lebih kuat dan lebih unggul dari pada hukum-hukum alam serta hukum kematian. Kuasa maut tidak sederajat dengan Yesus Yang Diurapi itu. Dia pergi ke dalam maut itu sendiri serta mengalahkan kematian serta kuasa maut dan bangkit dengan penuh kemenangan.

 

Dan Dia memenangkan peperangan itu untuk kita. Dia adalah Juru Selamat kita. Dia adalah kemenangan kita. Dia adalah Raja kita untuk selama-lamanya. Oh, diberkatilah nama-Nya yang Ajaib.

 

Dan Tuhan kami, ketika tiba saatnya bagiku untuk mati, dan ketika tiba waktunya bagi kami untuk mati, Tuhan, semoga kami menghadapi saat-saat yang pasti itu dengan sukacita disertai dengan puji-pujian dan dengan kemenangan. Di dalam kehidupan, mengasihi-Mu. Di dalam kematian, menjanjikan jiwa kami sendiri kepada-Mu.

 

Pada hari kebangkitan kembali yang agung itu, bangkit untuk memperbesar serta memuja Engkau. Dan dalam saat ini ketika orang-orang kami berdoa, hanya untuk-Mu, datangkah. Datanglah kepada Tuhan. Datanglah dan ikut bersama-sama dengan kami. Kami akan menjadi rekan seperjalananmu, berjalan bersama-sama dengan Juru Selamat itu.

 

Ambillah keputusan itu sekarang juga di dalam hati saudara-saudara. Dan sebentar lagi ketika kita menyanyikan lagu kita, dari salah satu dari sekian banyak anak-anak tangga di sana, turunlah ke salah satu lorong ini. Datanglah, Selamat datang. Datanglah. Satu keluarga dari antara saudara-saudara, satu pasang dari antara saudara-saudara, atau hanya anda seorang diri.

 

“Aku membukakan pintu hatiku kepada Tuhan Yesus dan inilah aku berdiri di sini.” Tuhan memberkati saudara-saudara di dalam perjalanan saudara-saudara sekalian. Para malaikat akan mendampingi saudara-saudara ketika saudara-saudara berjalan menuruni anak-anak tangga itu untuk masuk ke dalam lorong-lorong ini. Lakukanlah. Tuhan Allah memberkati saudara-saudara dalam jawaban kehidupan kita.

 

Dan Bapa kami, buatlah kami menjadi tenang dan bahagia di dalam-Mu. Oh, Juru Selamat, sesungguhnyalah Engkau itu Tuhan dan seorang Raja yang Agung. Tuhan, berdirilah di samping kami dan selamilah kami. Selamatkanlah kami bagi diri-Mu sendiri untuk selama-lamanya di dalam nama-Mu yang Ajaib, amen.

 

Sementara kita memanjatkan permohonan kita, sementara kita menyanyikan lagu kita, turunilah anak-anak tangga itu, masuklah ke dalam lorong-lorong itu, datang dan selamat datang. Sementara kita bernyanyi. Sementara kita bernyanyi.