Daftar Isi

 

KASIH AKAN JIWA-JIWA

(THE PASSION FOR SOULS)

 

Oleh Dr. W. A. Criswell

Diterjemahkan Made Sutomo, M.A.

 

Yesaya 6:8

4-6-75

 

            Dalam kebaktian terakhir hari Minggu, saya telah memperlihatkan satu eksposisi dari satu pasal secara keseluruhan.  Hari ini, saya akan membahas satu teks dari Yesaya pasal 6.  Dalam pasal ini dicatat satu panggilan seorang nabi muda dalam tahun matinya Raja Uzia.  Nabi mendapat penglihatan dan dalam penglhihatan itu diceritakan bagaimana Tuhan berurusan dengan dosa Yesasa dan bagaimana responnya terhadap panggilan Allah.   Ayat itu berbunyi sebagai berikut:

 

“Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat Tuhan duduk di atas tahta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci.”  “Para Serafim berdiri di sebelah atasnya, mereka berseru seorang kepada seorang, katanya: “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam.  Dan di hadapan Tuhan yang mulia itu nabi yang muda ini berseru, “Celakalah aku! Aku binasa!” Namun mataku telah melihat sang Raja, yakni TUHAN semesta alam.  “Seorang dari pada serafim itu terbang mendapatkan aku; di tangnnya ada bara, yang diambilnya dengan sepit dari atas mezbah.  Ia menyentuhkannya kepada mulutku serta berkata: “Lihat, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni.”  Setelah itu ada suara dari tahta Allah berkata, “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang pergi untuk Aku?”

Yesaya menjawab, “Ini aku, utuslah aku!”  Kemudian Tuhan mengutus dia.”

(Yesaya 6:1-8).

 

Setelah berkata demikian, Allah berfirman kepada Yesaya, “Pergilah dan katakanlah kepada bangsa ini: Dengarlah sungguh-sungguh, tetapi mengerti: jangan! Lihatlah sungguh-sungguh, tetapi menanggap: jangan!  Jadi tantangan yang akan dihadapai Yesaya adalah, “hati bangsa Israel akan menjadi keras, dan telinga mereka berat mendengar, mata mereka tertutup” sehingga mereka bertobat dan diselamatkan. (Yesaya 6:9-10).

 

Akan tetapi tidak semua dari mereka akan seperti itu karena sebagiannya akan mendengar dan sebagian akan berpaling, dan sebagian dari mereka akan diselamatkan.”  Mengenai doktrin tentang “sisa” (remnant), tidak setiap orang akan percaya, tetapi sebagian orang akan selalu percaya.  Tidak setiap orang akan akan berpaling, tetapi sebagian akan selalu berpaling.  Tidak setiap orang akan membuka hati mereka kepada Allah, tetapi sebagian dari mereka selalu akan berpaling.  Dan nabi yang muda ini memberikan hidupnya sebagai pekerja sukarela menjadi utusan dan pengkhotbah.  Yesaya berkata, “Ini aku Tuhan, utuslah aku!” 

Dari Yesaya pasal 6 ini saya mengangkat satu pokok berita, yakni “kasih akan jiwa-jiwa.”  Pertama-tama saya akan berbicara tentang pelayan, gembala sidang dari gereja dan para penatuanya.  Seorang Puritan yang saleh pernah berkata:

 

“Saya sungguh-sungguh kagum bagaimana saya akan berkhotbah dengan diam dan dengan dingin, bagaimana saya akan meninggalkan manusia dalam kondisi ketersesatan mereka dan saya tidak pergi kepada mereka dan memohon kepada mereka dalam nama Tuhan, apakah mereka akan menerimanya dan apakah hal itu akan membuat saya sakit atau susah. Ketika saya turun dari mimbar, saya tidak tertuduh mengingini hiasan-hiasan atau kemewahan, tidak juga mengizinkan jatuh satu kata yang tak senonoh, tetapi hati nurani saya menanyakan saya, ‘Bagaimana engkau dapat berbicara tentang kehidupan dan kematian dengan hati yang sedemikian itu?  Bagaimana engkau dapat berkhotbah tentang sorga dan neraka dengan sikap sembrono?”

 

Kata-kata tersebut berdenyut di hati nurani saya dan mendering ditelinga saya.  Betapa pentingnya seorang pengkhotbah memiliki hati yang mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang.  Ketika hal menggugah hati saya, saya berkata kepada Tuhan, “lakukan itu dalam jiwa kami, sehingga kami juga bisa mengasihi jiwa-jiwa orang-orang lain.”  Dr. Andrew Bonnar pernah mendengar seorang pengkhotbah yang berbicara dengan berapi-api dan seperti petir.  Ketika kebaktian selesai, ia menemui pengkhotbah tersebut dan berkata, “Anda senang berkhotbah, bukan?”  Dan ia menjawab, “Ya, benar memang saya senang.”  Selanjutnya Dr. Bonnar bertanya lagi, “Tetapi apakah Anda mengasihi jiwa-jiwa dari orang-orang yang kepadanya Anda berkhotbah?”

 

Adalah sangat berbeda mempersiapkan khotbah atau mengatur gereja atau mempropagandakan satu program dibandingkan dengan mengasihi orang-orang, berusaha membawa mereka untuk mengenal Allah, mencoba memenangkan mereka kepada Yesus, mengasihi jiwa-jiwa mereka dan membawa mereka ke dalam kerajaan dan memiliki beban bagi orang-orang yang terhilang di antara kita. 

 

Ketika saya bertumbuh menjadi dewasa, ada seorang pelayan Tuhan yang penuh kuasa bernama Lee R. Scarborough.  Dia seorang yang memiliki hati seorang penginjil, dan dipanggil untuk menjadi presiden dari seminari kami di Fort Worth.  Di sana ia mendirikan kursi yang ia sebut kursi api.  Sebagai seorang mahasiswa seminari yang masih muda dan sebagai pendeta gereja,  saya berhasrat mendengarkan dia ketika berada di seminari di Baylor, tetapi saya tidak bisa.  Namun demikian, ia menggerakkan jiwa saya, bukan karena dia seorang yang pandai dan fasih, bukan karena ia dramatis dalam menyampaikan khotbahnya, namun karena hatinya yang mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang.   Dan ketika ia berkhotbah, ia menekankan agar orang-orang bertobat.  Saya teringat ketika saya masih mahasiswa di Baylor, teman sekamar saya di tahbiskan untuk menjadi pelayan Injil di Avenue Baptist Church di Fort Worth.  Dan ia mengajak saya pergi dari Wasco ke Forth Worth untuk menyampaikan tugas pada upacara pentahbisan tersebut.  Pada acara pentahbisan itu, Dr. Lee Scarbuorough berdoa untuk doa peneguhan, dan ia berdoa seperti berikut:  “Ya Allah, ingatlah bahwa para tuna wisma, anak laki-laki yang boros yang saya pungut hari ini di jalan Forth Worth dan yang sekarang di rumah saya sedang istirahat dan tidur semalam.  Ya Allah yang kekasih, tolonglah saya untuk memenangkan anak laki-laki tunawisma dan boros itu bagi Engkau sebelum dia meninggalkan rumah kami.”

 

Ketiak saya mendengarkan doa dari Presiden seminari kami, sangat sulit bagi saya untuk menyadari bahwa seorang terhormat seperti dia memungut seorang anak laki-laki tuna wisma di jalan dan mengizinkan dia tinggal di rumahnya, memberi makan malam, dan tidur di bawah atap yang sama pada waktu malam, bahwa Allah akan menolong dia memenangkan anak itu kepada Yesus.

 

Dr. Truett, seorang pendeta yang sangat terkenal di gereja kami, selama 47 tahun, sering berkta dalam khotbanya, “Seharusnya ada suasana yang menyentuh hati.”  Ia selalu memakai kalimat itu ketika berkhotbah, sehingga kata-kata “suasana yang menyentuh” itu melekat dalam ingatan saya. Jadi, apapun judul khotbahnya, Kitab manapun dikhotbahkan, maka di dalamnya harus ada sesuatu yang menarik, sesuatu yang menyentak hati yang membuat seseorang memberikan dirinya kepada Yesus.

 

Minggu lalu, saya berada di salah satu kota besar di Amerika, kota kami yang kedua yang terbesar, dan saya berbicara selama berjam-jam kepada satu persekutuan pendeta dalam satu pertemuan di kota tersebut.  Dan salah satu yang saya tekankan dan saya mohon kepada mereka adalah setiap kali mereka berkhotbah, mereka harus berkhotbah untuk membuat pendengar mengambil keputusan, mengarahkan orang-orang kepada keputusan, membuat permohonan, memberi undangan dan mereka harus percaya bahwa Allah akan menghormati mereka, bahwa Dia akan memberikan jiwa-jiwa bila mereka berkhotbah.

 

Beberapa dari mereka, dalam pertemuan itu bertanya beberapa pertanyaan kepada saya, “Bagaimana Anda lakukan itu? Apa yang Anda lakukan?  Dan bila seseorang maju ke depan, apa yang harus Anda lakukan?  Jawaban saya Anda pasti sudah tahu:  “Saudaraku, lakukan itu dengan cara yang sama seperti seorang penjual mobil yang meminta kepada orang yang ia tawarkan itu untuk membeli mobil atau penjual ansuransi atau barang dagangan di tokonya.  Lakukan hal yang sama.”

 

Bila kita memiliki sesuatu untuk dijual, dan bila kita bisa melakukan seperti penjual mobil atau penjual ansuransi, maka kita akan berhasil.  Kita memiliki artikel yang terbaik di dunia, dan kita harus bisa mengatakan sedemikian sehingga orang mempercayainya.  Kita memiliki kebijakan ansuransi yang terbaik di bumi untuk selama-lamanya.  Ketika Anda memohon kepada seseorang untuk mengambil sesuatu, membeli sesuatu, untuk memiliki sesuatu, buatlah satu permohonan agar seseorang menerima Yesus, untuk membuka hatinya bagi Tuhan, untuk percaya kepada Kristus.

 

Kemudian ketika orang tersebut datang ke depan, bersukacitalah dan berdoalah dengannya, kemudian berbicara dengannya, baca firman Tuhan dengannya, dan bersukacitalah karena Roh Kudus telah dihormati karena permohonan dan tantangan yang Anda buat itu, dan adakan bimbingan lanjut baginya dalam kesatuan dan persekutuan gereja.

Tetapi, saya juga katakan kepada mereka, bila dalam berkhotbah mereka selalu berdoa dengan berkata, “Tuhan, berikan saya tuaian.  Berikan saya jiwaijiwa.”   Hal itu akan mungubah jiwa Anda, pelayanan Anda sendiri, khotbah Anda sendiri.  Itu akan mengendalikan setiap kata yang Anda katakan, setiap gerak isyarat yang Anda buat, setiap bunyi dari suara Anda.  Dan juga, jika Anda tahu bahwa Anda berdiri di sana di hadirat Allah, di hadapan manusia, para malaekat, maka Anda akan mengundang, permohonan kepada orang-orang terhilang, kepada jiwa-jiwa yang Anda kasihi untuk datang kepada Tuhan.”

 

Seseorang bertanya kepada saya dalam pertemuan itu tentang Roh Kudus dan tentang menghadiri kebaktian-kebaktian.  Saya berkta kepadanya, “Ini merupakan bagian dari kehendak Allah bagi kehidupan kita.  Kita adalah bait Allah.  Masing-masing dari kita adalah bait Allah.  Itu perbedaan hari pentakosta.”

 

Dalam perjanjian lama (old covenant), Roh Allah, hadir dalam tabernakel, dan dalam bait Allah.  Tetapi pada hari Pentakosta, Roh Kudus menemukan rumah yang baru.  Rumah dan baitNya yang sekarang adalah hati setiap orang percaya.  Tubuh kita adalah bait Roh Kudus.  Ia sekarang memiliki bait yang baru.  Dan bait itu sekarang merupakan mesbah Tuhan ketika umatNya berkumpul dalam namaNya.  Anda mungkin bertanya tentang kuasa yang ada dalam persekutuan itu. Jawabannya sangat sederhana sekali.  Ketika saya membawa Roh Kudus dalam diri atau dalam hati saya  dan Anda juga membawa Roh Kudus dalam hati Anda dan kemudian kita berkumpul dalam gereja ini dengan ribuan orang, maka kuasa itu ada di dalamnya.  Roh Kudus memungkinkan adanya gerakan di dalamnya.  Dalam perkumpulan itu seperti itu akan ada pujian dan kemuliaan Tuhan di dalamnya, dan kadang-kadang juga ada air mata.

 

Hati kita meluap-luap karena ada kehadiran Allah dalam kebaktian.  Dan itulah sebabnya masing-masing dari kita memiliki kesignifikanan yang vital, bagian yang berarti waktu kita datang ke rumah Tuhan.  Kita tidak  mondar-mandir di sini, kita tidak sedekar berkumpul di sini.  Kita datang dalam nama Allah, untuk maksud Allah, dengan menaikkan doa syafaat, kita memohon agar Allah berkenan memakai kita dan setiap bagian dari kebaktian untuk memenangkan  seseorang bagi Yesus.

 

Sikap kita untuk datang ke rumah Tuhan itu sangat penting untuk kita perhatikan. Bila kita datang ke rumah Tuhan dengan acuh-taacuh, secara tidak formil, sangat sulit untuk dibayangkan.  Seharusnya sikap seperti itu tidak mungkin bagi anak Tuhan yang sejati.  Emerson pernah berkta, “Para pencuri ada di pelana/sadel dan mereka menunggangi manusia.”  Anda tahu, ketika saya membaca itu, saya berpikir, “Bagaimana kalau Emerson mengatakan itu sekarang, Ralph Waldo Emerson akan berkata, “Sikap acuh-taacuk, sikap tidak formal ada di sadel dan mereka menunggangi manusia,” ia berkata seperti itu karena sebelumnya tidak ada kendaraan bermotor, belum ada radio, belum ada televisi, belum ada film yang ditayangkan di layar, sebelum ada sesuatu yang kita kenal sekarang yang mencari perhatian, mengendalikan pikiran manusia di seluruh dunia.”

 

Saya berpikir apa yang akan dikatakan oleh Emerson dewasa ini.  Hal-hal yang kita hidupi dalam sikap kemarahan.  Pikiran kita dikuasai oleh semua itu, dan kita begitu tergesa-gesa dalam kesibukan kita, kita tidak menjamu hati kita dengan perkara-perkara yang benar.  Dalam kesibukan, dalam ketergesa-gesaan, kita tidak melihat dalam kotak hati kita sikap yang bodoh itu, akhirnya kita menjadi sedih, tidak bahagia, yang semuanya itu adalah sebagai reaksi dari kemandulan rohani dan kekosong jiwa kita.

 

Untuk menolak semuanya itu keluar dari dalam jiwa kita, kita harus menjamu jiwa kita dengan kebenaran firman Allah.  Untuk saya, itu berarti bahwa saaya akan menyediakan waktu yang indah dengan Tuhan.  Saya bisa memperoleh pelajaran yang indah dari Yesus, dan saya tidak perlu tergesa-gesa tetapi sebalinya saya perlu tenang dalam hadiratNya.  Saya tidak perlu ada perasaan takut, tetapi hidup penuh keyakinan dalam Dia dan mengasihi umatNya, mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang yang olehnya Yesus telah mati.  Betapa indahnya bila saya bisa hidup seperti itu! Anda tentu tahu bahwa kadang-kadang sangat sulit untuk kita bisa melihat iman di dalam kita dibandingkan dengan orang-orang Kristen yang hidup pada zaman rasul-rasul dan para penginjil misionaris pertama.  Mereka begitu berapi-api, dan kita begitu flegmatik / dingin.  Jemaat mula-mula begitu bersemangat, dan kita begitu dingin dan mati.  Mereka menangisi kota-kota seperti Paulus katakan ia menangisi Efesus. Ia pergi dari rumah-ke rumah dengan cucuran air mata ia bersaksi, kepada orang-orang yang terhilang agar mereka bertobat kepada Allah dan beriman kepada Tuhan Yesus Kristus.  Saya ragu apakah kita kadang-kadang mengisi diri kita dengan kebenaran firman Tuhan.  Untuk itu, kita perlu berdoa, memohon kepadaNya agar roh belas kasihan dan doa syafaat kiranya dicurahkan atas jemaat kita.  Cinta akan jiwa-jiwa, mengingat orang-orang yang terhilang, berdoa bagi mereka dan menyampaikan kabar baik tentang Yesus kepada setiap orang semasih ada kesempatan.

 

Di salah satu gereja besar di bagian selatan, saya memimpin satu KKR, dan pada jam 10 lewat10 menit pagi, saya berbicara tentang berdoa bagi orang-orang yang terhilang, satu beban dalam hati untuk orang-orang terhilang.    Setelah kebaktian selesai, saya berdiri di depan mimbar dan dikerumuni oleh banyak orang yang mau berbicara kepada saya, dan hampir semuanya orang-orang yang baik.  Mereka berkata betapa bahagianya mereka karena saya bisa ada di sana dan bagaimana mereka diberkati dengan khotbah saya.  Sementara saya berdiri di sana, tiba-tiba ada seorang pria datang kepada saya.  Badan orang itu tinggi dan kurus, dan jari-jari tangannya panjang.  Di bawah ketiaknya terdapat Alkitab besar berwarna hitam.  Dengan berdiri tegap di depan saya ia memukul wajah saya dan hampir saja pukulannya mengenai hidung saya.  Kemudian ia berkta, “Kamu bukan pengkhotbah Perjanjian Baru.”  Saya menjawab, “Saya kira saya pengkhotbah Perjanjian Baru.”   Apakah Anda tahu kira-kira apa yang membuat dia berpikir bahwa saya bukan pengkhotbah Perjanjian Baru?  Ia berkata, “Aku datang pagi ini untuk mendengarkan Anda berkhotbah, dan saya mendengar Anda berkata bahwa kita harus berdoa bagi orang-orang tersesat dan kita harus memiliki beban bagi yang tersesat.”  Kemudian ia mengabil Alkitab dan menyodorkan di wajah saya, di depan hidung saya lalu berkata, “Tunjukkan kepadaku dalam buku ini, di mana dikatakan berdoa untuk orang-orang tersesat dan berbeban kepada yang tersesat.”  Saya menjawab dengan berkata, “diseluruh Alkitab.”  Tapi ia mau agar saya menunjukkan ayat-ayat dalam Alkitab, sehingga ia berkata, “berikan saya pasal dan ayat di mana Allah berkata kita harus berdoa untuk orang tersesat.”  Saya menjawab, “Saudara, saya merasa malu, tetapi sekarang ini saya tidak bisa memberikan Anda pasal dan ayat tersebut.”  Karena saya tidak memberi jawaban, ia langsung menuding wajah saya dan berkata, “Bukankah itu yang saya katakan?  Kamu bukan seorang pengkhotbah Perjanjian Baru.”  Setelah itu ia berpaling dengan perasaan bahwa ia menang, lalu keluar gedung gereja dan meninggalkan saya di sana di antara orang-orang yang mengagumi saya.

 

Seandainya ada lobang di lantai di tempat saya berdiri, saya akan berterima kasih, karena saya bisa menyembunyikan diri.  Mereka kemudian membawa saya kamar hotel tempat saya menginap.  Begitu tiba di hotel saya langsung menutup pintu.  Saya duduk di kursi lalu menutup wajah saya dengan tangan saya dan berkata, “Ya Tuhan, apakah khotbah saya itu tidak benar?  Apakah orang gila itu benar?  Apakah benar tidak ada ayat firman Tuhan tentang berdoa untuk orang-orang yang tersesat?” 

 

Saya mempunyai satu dari sekian pengalaman yang aneh di mana pada satu saat Anda akan menemuinya juga.  Ketika saya berdoa sambil menangis, saya berkata kepada Tuhan, “Tuhan, apakah benar tidak ada dalam pelayanan gereja berdoa untuk orang-orang tersesat?”   Tiba-tiba saya merasa Tuhan datang dalam kamar hotel itu dan menaruh tangaNya di atas bahu saya.  Rasanya kehadiranNya nyata sekali, dan Ia berkata kepada saya, “Hi pengkhotbah, tidakkah engakau membaca dalam FirmanKu yang Kudus dalam Roma 10:1?  “Saudara-saudara, keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah, supaya mereka diselamatkan.”  Atau seperti Yeremia berseru, “Air mataku bercucuran siang dan malam dengan tidak berhenti-henti, sebab anak dara, putri bangsaku” (Yer. 14:17).  Ayat-ayat ini dengan jelas adalah merupakan cetusan perasaan kasih akan orang-orang terhilang. 

 

Untuk seseorang bisa merasa terbakar dengan rasa kasih akan sesuatu bukan hal yang baru.  Pada waktu Kristus masih ada di bumi, Magnus Pompey, telah dibakar dengan  semangat kemenangan militer.  Julius Kaesar dibakar dengan cinta akan kuasa. 

Tullius Cicero, terbakar dengan cinta untuk dipuji dan rayuan.  Purcius Cato, terbakar dengan kecintaan akan tradisi.  Mark Anthony, terbakar dengan kenikmatan. Aemelius Lepidus, terbakar dengan kecintaan akan uang. Tetapi pada masa-masa itu, datang seorang yang sangat berbeda, Ia terbakar dengan kecintaan akan orang-orang yang terhilang.  Dia adalah Yesus.  Ia memberitakan Injil Kerajaan Allah kepada orang-orang miskin dan Ia menyembuhkan penyakit mereka dan menanggung penyakit dan kelemahan mereka.

 

Roh pendoa syafaat dan memiliki beban untuk orang-orang terhilang ada di dalam setiap pribadi murid-murid Yesus.  Itu seharusnya ada pada kita dewasa ini. Saya ingin bertanya kepada Anda apakah hal itu masih ada dalam hidup Anda atau sudah hilang?   Erasmus adalah seorang intelektual yang tidak ada tandingannya.  Tidak ada seorangpun yang berani menantang keunggulannya.  Ia seorang yang tampan, terpelajar, dan pandai, sorang yang berbudi halus.  Tetapi bukan Erasmus yang hatinya tergerak bagi Allah dan untuk masyarakat.  Yang digerkkan oleh Allah justru Martin Luther, seorang yang berbadan besar, kasar dan tidak sopan.

Ketika teman Martin Luter menanyakan Erasmus, seorang yang percaya akan prinsip-prinsip, seorang yang didukung dan ditokohkan oleh Marthin Lutrher, apakah dia mendukung Marthin Luther, Erasmus menjawab, “Akankan saya kehilangan penghasilan dan kehilangan sukses saya?”   Allah memakai orang yang memiliki rasa cinta akan orang-orang, seperti halnya Martin Luther.  Izinkan saya mengambil contoh satu lagi.  Di Inggris ada dua orang yang mengahdapi revolusi berdarah.  Revolusi Perancis pada dasarnya telah membanjiri Perancis dengan darah.  Revolusi itu terjadi karena orang-orang miskin merasa tertindas.  Ketika revolusi datang di Inggris, di sana ada dua orang berdiri berdampingan.  Yang seorang bernama Sir Horace Walpole, dan yang satunya lagi adalah George Whitfield. 

 

Witfield dibesarkan di warung minuman keras, dan waktu masa mudanya ia hanya tahu tentang sisi kehidupan manusia yang buruk dan jorok.  Sedangkan Sir Horace Walpole dibesarkan dalam keluarga berada, satu keluarga yang mewarisi satu kekayaan besar.  Melihat tragedi di Inggris pada saat itu, Horace Walpole tergerak ketika mendengar Whitfield.  Namun, berpaling dari kehidupan yang mewah, ia hanya melihat dunia yang ada dalam tragedi yang penuh masalah itu dengan perasaan unggul, dan dengan keacuhan yang luar biasa.

 

Tetapi tidak demikian dengan George Whitfield.  Alangkah baiknya kalau saya bisa mendengar suara George Whitfield.  David Garrick, sorang aktor Inggris yang hebat berkata tentang dia, “Oh, betapa hebatnya bila saya memiliki suaranya dan gerak langkah dramatisnya.”  David Gerrick juga berkata, “Ia (George Witfield) dapat mengucapkan kata-kata tentang Mesopotamia dan membuat saya menangis.”

 

John Newton, yang menulis lagu “Sangat Besar AnugerahNya” (Amazing Grace), berkata, “saya tidak tahu siapa pengkhotbah terbesar kedua di Inggris, tetapi saya tahu siapa yang pertama, yaitu George Whitfield.”  Ketika George Whitfield berkhotbah di Philadelphia, Francis Hopkins dan Benjamin Franklin pergi mendengarkan dia.  Mereka telah mendengar dan ia memohon keuangan untuk pekerjaan Tuha.   Francis Hopkins yang mendengar khotbahnya, berkata, “Aku akan meninggalkan segala sesuatu yang saya miliki di rumah sehingga saya bisa memberikan apa saja.”  Dan kedua orang itu berdiri di sana dan mendengarkan Whitfield.

 

Benjamin Franklin, ketika mendengarkan George Witfield, ia berkata, “Saya memberikan dia tembaga-tembagaku.”  Dan ketika Whitfield melanjutkan khotbahnya, Benjamin Franklin berkata, “Aku memberikan dia perakku.”  Dan ketika ia melanjutkan terus, Benjamin Franklin berkata, “Aku memberikan dia emasku.”

 

Kemudian setelah persembahan itu dikumpulkan, Benjamin Franklin memberikan segala yang ia miliki.  Tetapi, Francis Hopkins, seorang ahli hukum terkenal dan seorang pengarang esei, telah meninggalkan segalanya di rumahnya sehingga ia tidak akan  memberi persembahan.   Kemudian ia pergi ke tetangganya dan berkata, “Tetangga, pinjamkan saya uang.  Saya harus memberi.”  Dengan kata lain, hartanya sendiri tidak sedikitpun dipersembahkan untuk pekerjaan Tuhan.  Apa yang ia persembahkan adalah apa yang ia peroleh dari tetangganya.

Seorang pengkhotbah yang saya tidak kenal, namanya Cooper.  Ketika George Whitfield berkhotbah di depan 30.000 orang di Bostom, seorang pendeta di Bostom berkata, “Pada minggu berikutnya, saya akan mempunyai lebih banyak orang datang kepada saya, yakni orang-orang yang mengalami beban dalam jiwa mereka, jika dibandingkan dengan 24 tahun pelayanan saya.”

 

Ya, saya kira demikianlah seharusnya.  Saya berdoa kiranya kemewahan kita menemui perintahnya dan kiranya latihan akademis kita sesuai dengan kebutuhan  zaman modern, dan saya yakin keindahan dari ibadah kita selalu diterima oleh Allah, dan kiranya kita senantiasa melakukannya dengan layak dan teratur, sesuai dengan Firman Tuhan.  Kita perlu bertanya, “Di manakah hati yang dibakar dengan kasih akan jiwaa-jiwa yang hilang itu,  dimanakah tarikan itu, di manakah permohonan itu, di manakah orang-orang yang terhilang dan anak-anak Tuhan yang tidak patuh itu?