IBU YESUS

(THE MOTHER OF JESUS)

 

Dr. W. A. Criswell

Yohanes 19:25

05-13-73

 

Anda sedang bergabung dengan jemaat dari Gereja First Baptist Dallas, dan ini adalah pendeta yang sedang menyampaikan khotbah atas Ibu Yesus. Di dalam Injil Keempat pasal sembilan belas dimulai dari  ayat 25:

 

Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena.

Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu!"

Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.  

 

Suaminya, Yusuf, tampak jelas telah meninggal. Dia kelihatannya telah  dikeluarkan dari kisah hidup Tuhan kita setelah kelahiranNya dan setelah Dia berusia dua belas tahun di Nazaret. Dan alasan bagi Tuhan untuk menyerahkan ibuNya kepada Yohanes, secara mudah di temukan dalam kisah keempat injil—bahwa anak-anaknya, saudara Yesus, tidak percaya kepadaNya. Yakobus, Yusuf, dan Simon dan Yudas—mereka kemudian bertobat, akan tetapi pada saat itu saudara-saudaraNya sendiri tidak menerima Tuhan. Lalu, pada saat kematianNya yang tragis, melihat ibuNya yang sudah tua dan janda, Dia menyerahkan ibuNya—di dalam perawatan, dan perlindungan serta dukungan—Yohanes, murid yang dikasihiNya.  

Ini sangat menarik ketika anda membaca sepanjang Alkitab, untuk melihat bahwa  berkat yang pertama di dalam Perjanjian Baru diberikan atas Maria. Di dalam Injil Lukas pasal yang pertama, Roh Kudus mencatat: “dan Elisabet—istri Zakharia dan ibu dari Yohanes Pembaptis—dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus, lalu berseru dengan suara nyaring: Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu.” Ini adalah ucapan berkat yang pertama di dalam Perjanjian Baru.

            Ketika saya melihat ke injil Yohanes, saya mencatat bahwa di dalam mujizat Tuhan kita yang pertama, pada penampilanNya yang pertama di di hadapan umum, Yohanes mencatat bahwa ibu Yesus berada di sana. Dan pada hari ketiga ada sebuah perkawinan di Kana Galilea dan ibu Yesus berada di sana. Dan ketika saya berpaling ke dalam bagian akhir yang menutup Injil ini, kemunculanNya yang terakhir di hadapan umum—karena dunia tidak akan melihat Dia lagi—setelah penyaliban. Hanya murid-murid yang melihat Yesus setelah kebangkitanNya dari kematian—hanya bagi mereka saja Dia menampakkan diriNya yang telah hidup kembali. Terakhir kalinya dunia melihatNya adalah saat Dia menghadapi kematian. Dan di penampilanNya yang terakhir di depan umum itu, Yohanes mencatat bahwa ibu Yesus berada di sana, dan menyebabkan timbulnya perkataan Tuhan yang ketiga—dari tujuh perkataanNya—saat berada di atas kayu salib, yaitu, Dia menyerahkan ibuNya  kepada Yohanes.

            Di dalam keyakinan dan opini saya yang sederhana, ini bukanlah kejadian yang tiba-tiba. Sebab Yohanes berkata bahwa banyak hal yang telah dilakukan oleh Yesus, dan jika dia menuliskan semuanya, maka dunia tidak akan dapat memuat buku-buku yang menulis tentang hal itu. Tetapi dia telah memilih hal-hal ini “Supaya kita percaya bahwa Yesuslah Mesias dan supaya kita dapat memiliki hidup yang kekal di dalam namaNya.”

            Lalu, apa yang saya lihat di dalam Injil Yohanes adalah sesuatu yang di dalam setiap detailnya, telah dipilih secara hati-hati dan dengan sungguh-sungguh serta memiliki tujuan. Ketika anda melihat ibuNya dihadirkan pada awal pelayananNya, dan sepanjang kisah Injil, dan sekarang di dalam bagian akhir diriNya ditampilkan di hadapan umum, saya tahu ada sebuah tujuan yang besar di dalam tulisan Yohanes ketika dia melakukannya.

Sangat mudah bagi saya untuk mengikuti kehidupan sang Rasul ketika Dia membawa Maria ke dalam rumahnya sendiri dan menjaganya sama seperti ibunya sendiri. Dan semua hal yang disampaikan Alkitab bahwa Maria menyimpan hal itu di dalam hatinya dan merenungkannya—saya pikir Yohanes melakukan hal yang sama. Dia menyimpannya di dalam hatinya dan merenungkannya di hadapan Maria, ibu Yesus.

            Itu memiliki makna yang khusus bagi saya ketika saya membaca kisah itu, bahwa Tuhan mengingat ibuNya pada saat Dia mengalami penderitaan dan rasa sakit yang tidak tertahankan. Malam sebelumnya, Dia telah berada di Getsemani. Dan di sana, di dalam penderitaan yang hebat, darahNya menetes dari kulitNya dan jatuh ke tanah saat Dia berdoa.

            Di dalam Yesaya 53: “Dan Allah akan melihat kesusahan jiwanya dan akan menjadi puas.” Tanpa ragu, penderitaan roh dan hati serta jiwa Tuhan kita sangat dalam dan tidak dapat dibayangkan sama seperti penderitaan yang dialami oleh fisikNya. Dan setelah malam Getsemani itu—tidak ada seorang pun yang menawarkan Dia untuk duduk—Dia berdiri dan didakwa di hadapan Kayafas, imam besar dan Sanhedrin, pengadilan tertinggi dan kemudian di hadapan Pontius Pilatus dan Herodes dan kembali lagi di hadapan Pontius Pilatus.

            Dan kemudian setelah penghukumanNya, wajahNya menjadi mengerikan. Para sejarahwan memberitahu kita bahwa seorang penjahat mati secara mengerikan karena dipukuli dan dipaku  atas kayu salib.

            Dan kemudian, akhirnya, wajahNya diikat ke kayu; dan tubuhNya dinaikkan ke atas saat kayu salib yang telah didirikan ke atas tempatnya di bumi. Dan di sana Dia sekarat dengan rasa haus yang dalam dan dengan rasa dingin dari bayangan kematian yang melewati tubuhNya, Dia melihat ke bawah dan melihat ibuNya berdiri di dekat salib.

            Saya berharap seperti apakah ibunya itu. Seandainya anda berdiri di sana dan seandainya anda melihatnya, jenis seorang perempuan bagaimanakah yang akan anda lihat? Ada beberapa hal yang saya pikir terlihat sangat jelas tentang dia. Yang pertama, dia adalah wanita yang sederhana yang berasal dari wilayah utara Galilea. Dialeknya memperlihatkan asalnya, dan pakaiannya memperlihatkan kemiskinannya. Dalam seluruh hidupnya dia tidak mengetahui apa-apa selain pekerjaan yang membosankan dan kerja keras. Selama lima puluh tahun lebih beban berat tergantung di bahunya. Di wilayah utara itu, usia tua datang lebih awal dan tidak ramah, dia kelihatannya pasti terlihat sangat tua. 

            Merupakan sebuah hal yang aneh bagaimana hal itu diperlihatkan dalam seni dan literatur, Maria selalu digambarkan tetap awet muda dan hangat. Sebagai contoh, di dalam doktrin dan dogma Gereja Roma Katolik—kemudaannya dan keperawannya dibuat abadi, seakan berpikir bahwa usia muda lebih indah dari usia tua. Tetapi saya setuju dengan sentimen yang indah dari penyair Inggris Robert Browning, ketika dia memulai karyanya yang berjudul “Rabbi Bin Ezra” dengan stansa ini: 

 

 Bertambah tua sepanjang waktu bersamaku

Yang terbaik yang akan terjadi

Kehidupan akhir

Yang telah dibuat dari awal mulanya

Sebuah masa di dalam tanganNya

Yang berkata, seluruhnya telah Kurencanakan

Engkau telah dipilih namun hanya sebagian

Percayalah kepada Allah, yang melihat semuanya

Jangan pernah takut

 

            Dan Maria, di usia tuanya, tidak kurang indah dari pada masa mudanya. Jika anda pernah mengunjungi Vatikan Roma, berjalan di pintu yang besar yang berada di depan di sebelah kanan anda, anda akan melihat Pieta, karya Michelangelo. Itu adalah sebuah patung yang secara tragis dihancurkan oleh seorang maniak sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Tetapi hal yang indah tentang patung itu adalah hal ini: ketika anda melihatnya, di sana ada seorang gadis yang berusia sekitar delapan belas tahun, yang sedang memegang jenazah AnakNya yang berusia sekitar tiga puluh tiga tahun.  Di sana  ada usaha untuk menggambarkan masa muda yang lebih hangat  dibanding dengan masa tuanya yang lebih jelek dan itu  merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima—Oh, tidak dan tidak akan pernah. Sebab usia tua memiliki keindahannya sendiri yang penuh, kaya dan dalam.

Dan seandainya anda melihat Maria pada masa itu, yang sedang berdiri di dekat salib, anda akan melihat seorang wanita yang indah. Rambutnya saya yakin telah berwarna kelabu. Tangannya, saya yakin menunjukkan usaha keras dan jejak dari pekerjaan yang berat. Tetapi pengalaman hidupnya memiliki keindahan di dalam jiwanya. Mazmur pujian telah jatuh dari mulutnya. Doa permohonan dan kesalehan tercurah dengan penuh dari dalam hatinya. Wajahnya kelihatan seperti sebuah manuskrip yang diiluminasikan oleh cahaya dan kehadiran Allah Yang Mahatinggi. Berdiri di bawah salib pada usia tuanya, dia sama indahnya pada saat Malaikat Gabriel mengumumkan kepadanya sebagai seorang wanita muda bahwa dia akan menjadi ibu dari Anak yang telah dijanjikan itu. 

Hal yang lainnya: ketika saya membaca bagian itu, saya sangat terkejut akan tempat dia berada. “Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya.” Saya berpikir bahwa dia berada di rumahnya di Galilea. Tetapi tidak! Dia berada di sana, di Yudea; dan dia berada di Yerusalem; dan dia berada di Golgota; dan dia berdiri di dekat salib. Saya berpikir mengapa?  Saya pikir sangat mungkin roh nubuatan itu berada di atas dia.

           Dan sepanjang tahun-tahun yang telah berlalu dia pasti mengingat perkataan Simeon—ketika mereka membawa Yesus ketika masih bayi ke Bait Allah, yang mereka lakukan berdasarkan hukum, mereka hanya mempersembahkan dua ekor burung tekukur karena kemiskinan mereka—Saya pikir nubuatan Simeon tetap tinggal di dalam hatinya: “Ya, dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri.” 

           Dan di belakang kehidupan yang mulia itu yang belum tersingkap dihadapannya , ketika dia melihat anaknya tumbuh besar dan kemudian pengumumanNya di hadapan umum, pelayanan mesianikNya, ada nubuatan bahwa masanya akan datang, yaitu masa penderitaan dan tragedi yang sukar untuk dilukiskan. 

            William Holman Hunt telah menangkap hal itu (pelukis Inggris yang terkenal). Ada sebuah lukisan, dan saya yakin bahwa anda telah melihatnya, setidaknya tiruannya—ketika Tuhan berada di toko kayu Yusuf ayahNya, dan dia masih pemuda pada saat itu—seorang pemuda yang berusia sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun—dan sang artis membuat lukisan Tuhan kita, bahwa di dalam pekerjaanNya, Dia memiliki tangan yang direntangkan. Dan Maria melihatnya dari samping, dan di dinding yang ada di belakangnya ada bayangan sebuah salib. 

            Dan saya pikir bayangan salib itu pernah hadir di dalam memori Maria, ketika dia menyaksikan Anaknya memulai pelayananNya yang luar biasa. Pada suatu hari ketika antusiasme orang banyak yang hendak memaksa Tuhan dan membuatNya menjadi seorang raja dengan kekuatan, saya pikir dia melihat bayangan salib itu. Dan ketika murid-murid berselisih tentang siapakah yang akan menjadi terbesar di kerajaan sorga, saya pikir dia melihat bayangan salib itu. Dan ketika Minggu Palem ketika orang banyak memasuki kota Yerusalem dan berteriak dan bernyanyi tentang Dia yang adalah Mesias dan Kristus: “Hosana bagi bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan,” saya pikir Maria melihat bayangan salib itu. 

            Dan dia datang dari rumahnya di Galilea, dia hadir pada hari yang terakhir dan mengerikan itu. Dia melihat orang banyak yang sebelumnya berseru: “Glory!” dan “Hosana!”—dia melihat orang banyak yang sama dengan sengit, tanpa belas kasihan, dan haus darah berteriak: “Salibkan Dia! Salibkan Dia!”

Saya pikir dia melihat dan mendengar pandangan dan seruan kebencian dari orang-orang Saduki dan Farisi, dan ahli Taurat ketika mereka haus akan darahNya. Saya pikir dia melihat para prajurit itu dengan paku yang besar memaku tangan dan kakiNya. Dan sebagaimana hari terus berlangsung, matahari makin tinggi, dan orang-orang berusaha mencari perlindungan, di tempat yang teduh untuk menghindari panas: Saya pikir, Maria, yang berdiri di tepi salib, bergerak semakin dekat dan semakin dekat, hingga akhirnya dia berdiri di samping salib itu sendiri.  

Bukankah seperti itu seorang ibu? Bagi dunia, bagi orang-orang Roma itu merupakan sebuah pertunjukan untuk mencemooh seorang penjahat dan perampok serta seorang pemberontak. Tetapi bagi Maria, salib itu sedang menahan Anaknya. Dan dia berdiri sedekat yang dia bisa; untuk memberi pertolongan, untuk mendorong, untuk memberi kenyamanan—hanya dengan mendekatkan diri saja. Bukankah seorang ibu seharusnya seperti itu?

            Suatu kali saya pernah mendengar sebuah cerita: Seorang pemuda yang jatuh cinta dengan seorang wanita kejam dan tidak memiliki hati yang membenci ibu pemuda itu. Pada suatu hari dia berkata kepada pemuda itu: “Bawakan kepadaku hati ibumu sehingga aku dapat membuatnya menjadi makanan anjingku.” Dan pemuda itu bergegas pergi, membunuh ibunya dan memotong hatinya, dan memegangnya di tangannya, dan kemudian dia berlari kepada wanita kejam itu. Dan ketika dia berlari, dia tersandung dan jatuh. Dan saat dia terbaring di sana, hati ibunya berkata, “Anakku yang manis, apakah engkau terluka?”

            Inilah ibu, berdiri sangat dekat ke salib sejauh dia bisa.

 

Seandainya aku digantung di atas bukit yang tinggi,

Aku tahu kasih siapa yang akan tetap mengikutiku.

Seandainya aku tenggelam di dalam laut yang paling dalam,

Aku tahu air mata siapa yang akan turun untukku.

Seandainya aku dikutuk dalam tubuh dan jiwaku

Aku tahu doa siapa yang membuatku pulih

 

Suatu kali seorang malaikat diutus dari sorga ke bumi untuk membawa kembali kepada Allah empat hal yang paling indah yang dapat dia temukan. Dan malaikat itu mencari ke seluruh planet kita: yang pertama adalah sebuah lapisan awan; yang kedua, sekuntum bunga yang indah; yang ketiga, senyum seorang bayi; dan yang keempat kasih seorang ibu. Dan malaikat kembali kepada Allah di sorga dengan empat hadiahnya. Lalu, ketika dia mempersembahkannya di hadapan Yehova, awan itu telah lenyap berhamburan; bunga yang indah itu telah layu; senyum bayi itu telah lenyap. Tetapi kasih ibu tetap sampai selama-lamanya! 

            Ketika saya masih muda—saya berusia tujuh belas tahun pada waktu itu—saya bermain band di Baylor. Dan pada suatu hari, kami sedang melakukan tour sekolah untuk mempersembahkan kebajikan dari sekolah kami. Dan kami pergi sepanjang Teksas. Dan di dalam sebuah kota yang bernama Big Spring, saya bermalam di sebuah keluarga yang saleh. Saat saya mengunjungi rumah itu—seorang muda yang diundang dengan penuh keramahan dari ayah dan ibu keluarga itu—saya lihat bahwa nama mereka adalah Reagen; dan mereka memiliki seorang putri yang bernama Lucille; dan Lucille Reagen telah dipanggil Tuhan untuk menjadi seorang perawat misionaris dan diutus oleh badan misi luar negeri ke Nigeria, Afrika. Dan di Nigeria, dia melayani Kristus sebagai seorang perawat, dan di sana dia terkena demam kuning dan meninggal dunia serta dimakamkan di sebuah tempat di Afrika. Dan ketika saya diundang oleh ayah dan ibu itu, sebagai seorang pelayan muda, mereka berbicara dengan bebas. Saya merasa sedih dan terluka tentang kehilangan gadis misionari Afrika itu.  

            Tidakkah anda tahu, seiring waktu yang berjalan, saya menjadi pendeta gereja ini, dan saya pergi dalam sebuah misi khotbah di Afrika? Dan ketika saya berada di Afrika, saya bertanya kepada pemimpin misionaris kita: “Tahukah anda dimana seorang misionaris dikuburkan, seorang perawat yang bernama Lucille Reagen?” Dan salah satu misionaris berkata: “Ya, saya dapat memberitahukan anda di mana.”

            Saya berusaha mencarinya di sebuat tempat di tengah Afrika. Dan saya berdiri di sana dan mengenang kembali kasih ibu dan ayah terhadap anak mereka yang manis itu. Itu benar—pengorbanan di salib merupakan pengorbanan Bapa yang telah memberikan AnakNya yang tunggal—itu benar. Tetapi pengorbanan di salib juga merupakan pengorbanan Maria. Ketika dia berdiri di sana dan melihat anaknya di paku ke salib, ada rasa sakit yang dalam dan penderitaan serta tragedi pada saat yang mengerikan itu!

            “Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya:”Tidakkah mereka selalu berdiri dekat kita? Tidakkah mereka selalu berdoa bagi kita? Tidakkah mereka selalu menawarkan tangan dan hati mereka untuk memberikan pertolongan? Para ibu Kristen kita?

            Di dalam sebuah kesempatan, kita akan berdiri untuk menyanyikan lagu permohonan kita. Dan ketika kita menyanyikannya, tidakkah itu menjadi sebuah waktu yang sangat mulia selain waktu ini? Waktu yang kudus dan bersifat sorgawi untuk maju ke depan dan memberikan hidup anda kepada Kristus….

Alih basaha: Wisma Pandia, ThM