Index

GEMBALA DI ATAS MIMBAR

(The Pastor in the Pulpit)

 

Oleh Dr. W. A. Criswell

Alih bahasa oleh Wisma Pandia, Th.M.

Editor Dr. Eddy Peter Purwanto

 

 

Hal Yang Paling Utama dari Khotbah

 

Masih tertulis di Alkitab,”… maka Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil” (1 Kor. 1:21).  Tidak ada pelayanan yang begitu mendesak, kebutuhan yang paling vital dan yang sangat diberkati selain berkotbah tentang Injil. Pada tahun 1950, Dr. Duke K. McCall dan saya berkeliling dunia dalam misi pekabaran Injil. Ketika kami datang ke Manila, kami diundang oleh duta besar Amerika untuk Pilipina, Mr. Myron M. Cowan, untuk makan siang bersama di kantor kedutaan besar. Dia berkata bahwa dia ingin berbicara dengan kami. Tentang apa? Merupakan hal yang sangat menakjubkan ketika dia berbicara tentang orang-orang dari Kepulauan dimana sebagaian besar masih memiliki sebuah agama yang tidak mereka mengerti, dan memiliki kebutuhan akan khotbah, bahwa mereka ingin diberitakan tentang Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri, sehingga mereka dapat menjadi sebuah bangsa yang berintegritas dan jujur serta menjadi orang Kristen yang bermartabat. Dia meminta apakah denominasi kami tidak akan mengirim seribu misionaris-pengkhotbah ke Kepulauan itu! Ketika kami di Jepang, Jendral Douglas MacArthur juga meminta hal yang sama.

Pengajaran tentang Firman Tuhan merupakan kebutuhan manusia. Dan pengajaran itu merupakan makanan bagi jiwa-jiwa orang Kristen yang sudah diselamatkan.

Sebuah gereja Lutheran di Siberia, yang mana selama empat puluh tahun tidak memiliki seorang pengkhotbah, baru-baru ini dikunjungi oleh wakil dari Lutheran World Federation. Setelah empat puluh tahun tanpa memiliki seorang pengkhotbah, apa yang terjadi ketika mereka melihatnya lagi? Wakil dari Lutheran World Federation ini, dengan sebuah kerah pendeta dan salib yang melingkar di lehernya, dan ia merupakan pejabat penting di organisasinya - apa yang terjadi ketika setelah empat puluh tahun, pendeta resmi ini berdiri di hadapan mereka? Apa yang akan mereka katakan?

Mereka berkata, “Ambil Alkitab Anda dan berkhotbahlah untuk kami.” Dia berkhotbah selama satu jam dan mereka menginginkannya lagi, dan dia berkhotbah untuk yang kedua, dan mereka tidak mengijinkan dia untuk meninggalkan mimbar, lalu dia berkhotbah untuk yang ketiga kalinya. Ketika suaranya habis dia berhenti, karena sangat jelas mereka menginginkan untuk yang keempat. Mereka menginginkan karena mereka sangat lapar, bukan karena seperti orang yang butuh untuk diyakinkan, empat puluh tahun dalam penyiksaan telah menyebabkan mereka menjadi orang yang terbiasa menderita, yang menikmati penderitan. “Ambil alkitab Anda dan berkotbahlah untuk kami.”

Mereka tidak meminta dia untuk mengorganisir dan mengatur jemaat gereja dan membersihkan catatan  jemaah, jika mereka hidup mereka butuh ruang makan. Mereka tahu siapa yang ada di sana dan siapa yang tidak. Mereka tidak meminta dia untuk mengumpulkan sebuah kelompok kecil dan menjadi sebuah kemungkinan. Jika ada kebutuhan, maka ada kemungkinan. Mereka tidak berkata,”Lihat kami semua memiliki persoalan pribadi dan kami ingin membuat jadwal kunjungan sehingga anda dapat menasehati kami dan membuat kesepakatan dengan mereka.” Kelihatan seperti itu, menjadi seorang penyemangat, menjaga komunitas iman, mereka melakukannya bersama-sama, mungkin seperti yang Luther sebut sebagai “saling menghiburkan bersama-sama dari sesama saudara.” Mereka tidak meminta dia untuk menolong mereka dalam membangun sebuah yayasan misi; mereka kelihatannya memiliki misi mereka sendiri. Mereka tidak memintanya untuk menolong mereka agar memulai sebuah kelompok doa; mereka kelihatannya tahu bagaimana harus berdoa. Dan maupun juga mengangkat keluar secara hati-hati tentang perjamuan Tuhan dan baptisan dan memintanya untuk melaksanakan sakramen, mereka memiliki cara untuk melakukan hal itu juga. “Ambil Alkitab anda dan berkhotbahlah untuk kami.”

Tidak ada  yang salah dengan semua itu. Tidak, jika pendeta dari Lutheran World Federation itu telah berada di sana selama satu tahun, sejak saat itu mereka tidak mungkin melupakan hal-hal yang seperti itu. Hal-hal itu bukan merupakan sebuah kritikan.  Bukan sesuatu yang menjadi fokus utama, bahkan sesuatu yang sangat bersifat esensial. Bagi mereka, krisis telah merampas mereka kepada satu hal, dan hal itu adalah, “Ambil Alkitab anda dan berkhotbahlah untuk kami.”

 

            Pendeta dan Ibadah dalam Jemaat

 

1. Paulus menulis tentang pelayanan ibadah dalam jemaat di surat Korintus, “Tetapi segala sesuatu harus berlangsung sopan dan teratur” (1 Kor. 14:40). Ayat itu mengacu kepada keseluruhan, sebuah diskusi yang panjang tentang ketidakteraturan orang-orang Korintus dalam pertemuan jemaat.  Penyembahan kepada Allah harus dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk memuliakan namaNya.  Hal itu bukan merupakan sebuah rapat para penjahat. Bagaimanakah sebuah ibadah yang benar?  Kata yang digunakan untuk penyembahan di dalam Alkitab dalam beberapa bentuk atau bentuk lain tidak kurang dari dua ratus kali. Lebih dari dua ratus kali manusia milik Allah secara eksplisit diinstruksikan untuk “menyembah Allah.”  Karenanya merupakan hal yang penting bagi kita untuk mengetahui apakah ibadah itu.

Sangat mungkin, defenisi komperatif dari ibadah yang saya pernah dengar atau baca adalah:

Beribadah adalah menguduskan hati nurani dengan kekudusan Allah; memberi makan pikiran dengan kebenaran Allah; membersihkan imajinasi dengan keindahan Allah; membuka hati terhadap kasih Allah; mencurahkan seluruh  keinginan kepada kehendak Allah.

Prestasi dari tujuan ini merupakan keistimewaan yang utama dan kesempatan yang baik dari pendeta.  Itulah sebabnya mengapa ibadah selalu dilakukan olehnya. Dia juga yang selalu memimpin dan mengatur jemaatnya di dalam penyembahan kepada Allah.

2. Memang selalu ada beberapa pertimbangan keduniawian yang harus diingat ketika orang-orang berkumpul bersama didalam doa dan ibadah. Persiapan tempat mungkin salah satunya. Suhu ruangan harus baik. Tempat duduk, sound systemnya, pencahayaan, kebersihan, dan hal lainnya, dimana ia harus diatur dengan sebaik-baiknya.

3.  Ibadah harus dimulai dengan waktu yang tepat. Dan mulailah dengan dua, atau tiga menit sebelum waktu pengumuman. Awal yang terlambat merupakan hal yang tidak dapat ditolerir. Urusan Raja tidak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa. Kita berkumpul untuk sebuah kebaktian yang penting. Hal itu tidak dapat ditunda.

4. Biarkan seluruh nuansa dan suasana kebaktian menjadi sebuah sukacita kemenangan. Permazmur bernyanyi,”Aku bersukacita, ketika dikatakan orang kepadaku: ‘Mari kita pergi ke rumah Tuhan’” (Mzmr 122:1). Lagi Pemazmur memohon,”Beribadahlah kepada Tuhan dengan sukacita, datanglah ke hadapanNya dengan sorak-sorai! Masuklah melalui pintu gerbangNya dengan nyanyian syukur, ke dalam pelataranNya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepadaNya dan pujilah namaNya!” (Mazmr 100:2,4). Biarkan para penyambut tamu, penjaga pintu, personal podium, tukang program, setiap orang, dan setiap hal merefleksikan kegembiraan, roh yang berbahagia.

5. Di dalam banyak contoh, kebaktian gereja secara keseluruhan hampir sepenuhnya dipimpin oleh pendeta. Dia yang merencanakan seluruh kebaktian, tetapi sejauh ini seandainya mungkin adalah baik untuk berbagi dengan pelayan yang lain atau jemaat awam  dalam kesempatan dimana tidak mungkin bagi seorang pengkotbah untuk melakukan semuanya dengan sendiri; hal itu merupakan suatu kelemahan. Merupakan suatu hal yang baik jika menyuruh seseorang untuk memimpin doa, sementara yang lainnya memimpin doa ucapan syukur, serta pembacaan Alkitab, kemudian yang lain memimpin doa sebelum persembahan, membaca warga dan memberikan ucapan selamat datang. Semakin banyak orang yang dilibatkan dalam pelayanan kebaktian, semakin mereka merasa bahwa mereka adalah bagian dari hal itu.

6. Musik ibadah seharusnya dapat membuat malaikat disurga merasa cemburu terhadap kemulaiaan dan semaraknya. Pujian yang dilakukan dibumi merupakan sebuah persiapan untuk pujian yang akan dilakukan di surga nanti.

Orang-orang percaya di Perjanjian Lama sangat mencurahkan perhatiannya di dalam mempelajari dan memainkan musik. Kelihatannya seni merupakan sesuatu yang sangat diperhatikan dan dipelajari dalam Israel kuno. Daud menciptakan alat-alat musik dalam penyembahan yang tertinggi kepada Allah dan mengajar ribuan pemuji Tuhan bagaimana memuliakan Tuhan dengan menggunakan alat-alat musik tersebut (1 Twrkh 23:5).  Di dalam gereja kita diingatkan untuk untuk memuji Tuhan “dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati” (Ef. 5:19).  Salah satu mazmur dari pujian orang Kristen harus seperti ini: “Pujilah Allah dengan tiupan sangkakala, pujilah Dia dengan gambus dan kecapi…. Pujilah Dia dengan permainan kecapi dan seruling…. Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting, pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang” (Mazmur 150:3-5). Selanjutnya Pemazmur menyimpulkan,”Biarlah segala yang bernafas memuji Tuhan! Haleluya!” (ayat 6).  Dapatkah sesuatu yang lain mampu melampaui daripada penghormatan terhadap Kristus? Biarlah setiap gereja memiliki sebuah orkestra dan paduan suara yang luar bisa.

Musik gereja haruslah menjadi musik yang mengumandangkan kekekalan. Menyatakan penghormatan yang sungguh-sungguh terhadap Allah, tidak bersifat murahan,  menyolok dan bersifat sekuler.  Penyembahan harus mencapai nilai yang paling tinggi seperti yang diinginkan oleh Tuhan, bersifat religius dan berasal dari hati yang paling dalam. Tidak ada yang sungguh-sungguh dapat memenuhi ide kereligiusan sebuah musik jika tidak didasarkan kepada kasih yang sejati kepada Kristus. Bahkan alat-alat musik dalam orkestra tidak dapat memainkan nada yang benar-benar sempurna kecuali dengan sentuhan iman diatasnya dan nafas dari hati yang kudus di dalam memainkannya.  Ini merupakan kebenaran yang ganda di dalam paduan suara; suara yang berkualitas merupakan nada yang tidak dapat dihindarkan dari kekudusan dan dorongan surgawi yang menggerakkan mereka.

Puji-pujian dalam kebaktian harus diselaraskan dengan tema kotbah yang akan disampaikan. Ia harus membangkitkan antusiasme dan semangat ketertarikan dari jemaat.  Pemilihan lagu harus dilakukan jauh sebelum kebaktian dilakukan. Merupakan hal yang indah apabila pemimpin pujian menyanyikan sebuah lagu yang khusus pada saat menjalankan persembahan.

Adalah berkat bagi gereja yang memiliki sebuah karunia, yang memiliki pelayan-pelayan yang memiliki dedikasi terhadap musik, pemimpin pujian, dan pelatih paduan suara. Tempat mereka merupakan pujian dan kemuliaan.

7. Pembacaan Alkitab saat kebaktian pemilihannya harus dilakukan oleh pendeta sehingga sesuai dengan tema kotbah dan permohonan yang akan disampaikan olehnya. Hal ini akan membantu tujuan pengkotbah didalam menyampaikan pesannya.

Jika disamakan dengan kisah Ezra, orang-orang berdiri ketika kitab dibuka. adalah sesuatu yang indah jika jemaat dapat berdiri selama pembacaan Alkitab sedang berlangsung dan adalah baik jika jemaat membacanya bersama-sama dengan pendeta. Hal itu akan mendorong jemaat untuk membawa Alkitab ke gereja.  Sebelum bagian itu dibaca, siapapun yang memimpin pembacaan Alkitab harus memiliki pemahaman yang baik terhadap bagian yang akan dibaca.  Dia harus mempelajarinya terlebih dahulu sebelum memimpin orang-oarang untuk membacanya bersama, dengan mengerti maksud dari bagian itu akan membuat dia  membacanya dengan penuh perasaan, melafalkan kata-katanya dengan benar, tidak mendayu-dayu seperti suasana pemakaman.  Biarlah jemaat membacanya dengan antusias dan penuh perhatian. (kata Yunani berarti “Tuhan besertamu”) .

8. Pada saat menyucikan Bait Allah (Markus 11:17), Tuhan kita mengikuti Yesaya 56:7, “RumahKu akan disebut doa bagi segala bangsa.’

Di depan tempat saya berkotbah, saya memiliki barisan kata-kata yang tertulis seperti ini:

 

Dia berdiri dengan baik tetapi siapa berlutut dengan lebih

Dia berdiri dengan kuat siapa berlutut dengan lemah

Dia berdiri lama siapa berlutut dengan lebih lama

 

Setiap tugas ilahi harus dicirikan dengan sikap yang sungguh-sungguh, ketulusn hati dan permohonan, tidak panjang dan bertele-tele (di dalam doa pribadi tidak ada batasan waktu untuk untuk berlama-lama di hadapan Tuhan, tetapi dalam doa bersifat umum harus lebih singkat), tetapi digerakkan oleh kasih yang dalam dan komitmen yang sungguh-sungguh. Doa umum harus disampaikan dengan kehati-hatian. Ia harus merupakan berkat bagi bagi jemaat ini bukan ajakan saya bahwa doa harus ditulis dan dibaca, tetapi lebih dari itu bahwa orang yang memimpin doa harus melakukannya dengan kehati-hatian. Doa yang dilakukan tanpa persiapan bukan berarti doa yang tidak sungguh-sungguh. Doa harus memili isi, seperti yang Paulus tulis dalam Filipi 4:6; bersyukur kepada Tuhan atas kebaikanNya bagi kita lalu kemudian dengan ketulusan hati kita bersujud di hadapan takhta kemurahan Tuhan. Sesungguhnya, doa merupakan sesuatu yang mengalir keluar dari kehidupan yang paling dalam si pendoa. Termasuk juga doa pendeta, rasa simpati terhadap kehidupan jemaat di dalam pencobaan mereka, dukacita, bahaya dan harapan.

Disini ada beberapa hal yang harus dilakukan dihindari dalam doa yang bersifat  umum. Pemimpin doa harus menghindari doa yang secara terus menerus ditujukan kepada dirinya. Dia harus menghindari hal-hal yang bersifat pribadi di dalam doanya. Pujian atau kritikan merupakan sesuatu yang harus dihindari. Termasuk juga teguran dan kepahitan harus dihindari dalam doa umum. Bukan sesuatu yang baik juga jika doa bersifat mendidik, seakan-akan kita memberi instruksi kepada Tuhan. Doa bukan sebuah kotbah.  Ia merupakan aliran emosi spiritual dan hasrat kepada Tuhan. Pemimpin doa harus memiliki defenisi doa yang jelas, seperti ucapan syukur, sebuah pengakuan, permohonan dan campur tangan Tuhan.

Seperti posisi dalam Alkitab, orang-orang  berdiri ketika mereka berdoa, mereka berlutut ketika mereka berdoa, mereka bersujud di hadapan Allah dalam doa mereka.  Dalam pikiran saya yang sederhana, berlutut merupakan cara yang paling indah dalam berdoa. Adalah kelihatan baik jika kita berlutut di hadapan Tuhan. Mata kita harus tertutup dan airmuka yang alami tetapi serius. Bahasanya harus sederhana, tulus dan alkitabiah.  Salah satu hal yang paling indah di dunia ini adalah mendengar seseorang yang berdoa yang mengerti bahasa Alkitab. Nada dari suara dalam doa jemaat harus merupakan ekspresi permohonan yang bersifat alami.

Kami memiliki sebuah altar jeruji (kurungan  tempat berlutut) di gereja kami yang telah mengubah semangat dan suasana ibadah kami. Hal itu terjadi seperti in. Beberapa tahun yang lalu Dr. Grady Cothen, yang merupakan sekretaris eksekutif dari Southern Baptist General Convention of California, menelpon saya dan meminta datang kesana untuk sebuah acara retreat. Dia berkata, “Pengkotbah-pengkotbah saya sangat mengecilkan hati, saya akan memanggil mereka semua, membayar semua biaya mereka, dan kamu akan berkotbah untuk mereka selama seminggu. Tidaka akan ada sebuah promosi; hanya mendengarkan firman Tuhan dan bertemu muka dengan Penyelamat kita.” Saya menerimanya dan mengadakan perjalanan melalui udara ke San Fransisco, ke sebuah perkemahan Nazarene yang disebut  Beulah Park. Ketika saya masuk ke dalam ruangan besar yang terbuka, ibadaha sudah dimulai, saya melihat sebuah tempat duduk untuk orang yang berdukacita, yang melintang lurus di depan auditorium, akan tetapi saya tidak begitu memperhatikannya pada saat itu.  Di kamis malam dari kotbah saya yang berlangsung selama satu minggu, ketika hendak mengakhiri kotbah, seorang pria berdiri di tengah kumpulan jemaat, berjalan kearah lorong bangku dan menuju kedepan, kemudian berjimpuh di bangku tempat berkabung itu,  lalu mulai menangis dengan perlahan. Hal itu terus berlanjut dan diikuti oleh yang lainnya hingga saya selesai berkotbah.  Ada ratusan orang yang berlutut di sana, menangis perlahan dan membuat pengakuan di hadapan Tuhan. Hal itu menggerakkan jiwa saya untuk menangis.  Hal itu merupakan sebuah pelayan terbaik yang pernah saya lakukan.

Ketika saya kembali ke Dallas, saya menerima sebuah surat dari seorang pendeta di California.  Di dalam suratnya ia meminta maaf karena telah menginterupsi kotbah saya di Beulah Park dan meminta saya untuk memaafkannya.  Tetapi dia ingin menjelaskan kepada saya tentang apa yang telah terjadi sehingga menyebabkan dia melakukan hal itu.  Dia menulis bahwa ia dan istrinya sedang berada dalam suasana yang mengecilkan hati, dan seminggu sebelumnya telah memutuskan untuk berhenti ke gereja, menghentikan pelayanan dan memasuki pekerjaan di dunia sekuler. Pada hari mingggu sebelum ia mengumumkan keputusannya untuk meninggalkan panggilan menjadi seorang pengkotbah bagi Tuhan, dia menerima surat dari Dr. Cothen, dan memintanya datang ke Beulah Park.  Pendeta itu berkata kepada istrinya: “Semua biaya telah dibayar, jadi saya tidak akan mengeluarkan apa-apa. Saya akan pergi, lalu setelah saya kembali kita akan meninggalkan gereja.” Dan pada kamis malam itu, tulisnya, sesuatu telah mengubah jiwanya. Dia berkata bahwa dia tidak digerakkan oleh siapapun, bahkan dari tindakan orang-orang sekelilingnya.  Tetapi dia menemukan dirinya berdiri, maju kedepan, sujud dihadapan Allah dengan lututnya, memberitahukanNya tentang semua kedukaan dan kesuraman dari pekerjaannya, bahkan memberitahukan Allah tentang pengabdian kembali dari hidupnya untuk sebuah tugas yang sulit dimana Tuhan telah memilih dan menetapkannya.  Dia mengakhiri suratnya dengan menyatakan bahwa dia dan istrinya kembali ke pekerjaan semula, melayani dengan dedikasi yang baru, dimana Tuhan telah memberkati, tetapi dia menginginkan saya untuk memaafkannya karena telah menyela di dalam kotbah saya.

Saya membalas suratnya dan berkata bahwa dia telah memberkati hidup saya lebih daripada yang dia ketahui dan saya telah memiliki sebuah ketetapan di hati saya untuk melakukan sesuatu hanya jika Allah memberikan keberanian untuk itu. Saya tidak memberitahu pendeta itu di dalam surat saya bahwa saya telah menetapkan sebuah usaha, suatu hal yang pasti dan hal itu adalah : memiliki sebuah kurungan tempat berlutut, tempat bagi orang yang berduka, di gereja saya.

Di pertemuan pertama para diaken, saya menghadirinya dengan perhatian yang serius untuk menanyakan persetujuan mereka tentang apa yang ingin saya lakukan. Tetapi pertemuan berlangsung, tugas-tugas dilakukan dan akhirnya selesai. Keteguhan hati memancar keluar dari jari-jari saya. Saya tidak memiliki sebuah keberanian yang cukup untuk mengajukan proposal kehadapan mereka.  Pertemuan demi pertemuan, bulan demi bulan berlalu, saya belum mengajukan permintaan saya kepada para diaken (ketika saya mengingat saat itu, saya sendiri heran dengan sifat malu-malu saya itu). Akhirnya, saatnya datang, dengan semua ketabahan dan keberanian, saya mulai memberi aba-aba, saya memberitahukan mereka tentang pengalaman saya di Beulah Park di California dan meminta mereka untuk membangun sebuah altar yang berbentuk kurungan di gereja kami. Setelah saya berbicara, keheningan segera terjadi dan memakan waktu yang lama.  Tidak ada hal yang seperti itu terlihat didalam gereja Baptis kami. Akhirnya, dalam keheningan itu, seorang diaken yang sudah tua dan berambut putih berdiri dan berkata,”Saudara-saudara, jika Tuhan telah menetapkan hal itu didalam hati pendeta kita, maka kita akan membuatnya di dalam gereja kita, saya akan membuat sebauah gerakan untuk membangunnya.” Akhirnya  hal itu berlalu.  Tempat itu telah dibuat. (saya hanya memiliki sebuah keberatan terhadap hal itu; mereka membuatnya dengan sangat indah seperti sebuah arsitektur dekorasi).

Kemudian kami menempatkan tempat berlutut didalam kurungan itu.

Kami berlutut ketika kami berdoa.  Hal itulah yang kami miliki, berlutut dihadapan Allah.

Ketika petobat baru datang ke depan, kami berlutut bersama dengan mereka di dalam doa. Tidak ada hal yang paling memberkati dalam ibadah kami selain kebiasan berlutut bersama-sama dalam doa.

9. Tetapi kotbah merupakan pusat dari ibadah orang Kristen terhadap Yesus Kristus. Hal ini sesuai dengan firman Tuhan. Kepala Perwira Romawi, Kornelius, dengan perintah ilahi dari seorang malaikat yang datang dari surga (Kis. 10:3), mengumpulkan seisi rumahnya, menghadirkan Petrus kepada mereka dan mengatakan,”Karena itu segera kusuruh orang kepadamu, dan dengan sengan hati engkau telah datang. Sekarang kami semua sudah hadir disini di hadapan Allah untuk mendengarkan apa yang ditugaskan Allah kepadamu” (Kis. 10:33). Alkitab lalu mencatat,”Lalu mulailah Petrus berbicara” (ayat 34) dan berkotbah tentang pesan keselamatan melalui Yesus Kristus,”Tentang Dialah semua nabi bersaksi bahwa barangsiapa yang percaya kepadaNya, ia akan mendapat pengampunan dosa karena namaNya” (ayat 43). Ini merupakan tempat yang tertinggi dalam ibadah: semua kemampuan dari pikiran dan semua kekuatan dari jiwa dibangkitkan untuk penggunakan mereka yang maksimal, dan menjadi sebuah persembahan kepada Tuhan dari kebenaran yang diberitakan  di dalam namaNya. Ritual bukanlah sebuah pengganti kenyataan; perayaan tidak dapat menggantikan tempat bagi pengabdian. Mari kita membaca kembali Roma 10:17.

Iman timbul dari pemurniaan?

                     dari cahaya lilin?

                      dari pembakaran dupa?

                      dari liturgi yang berulang-ulang?

Tidak, tetapi dari pendengaran oleh firman Kristus Yesus.

Apa yang sudah menjadi pusat harus selalu menjadi pusat, namanya, pengajaran akan firman Tuhan. Yohanes Pembaptis berkotbah (Mat.3:1); Yesus berkotbah (Mark. 1:14); simon Petrus berkotbah (Kis. 2:14,40): Paulus berkotbah (Kis.20:7-11, kadang-kadang berlangsung hingga tengah malam!) dan kitapun harus berkotbah.  Mimbar harus menjadi pusat dari gereja, dimana seorang pendeta menjelaskan secara terperinci keabadian dan kekekalan firman Tuhan.

Banyak hal mungkin berguna untuk dijelaskan dalam mengisi waktu selama satu jam; kejadian-kejadian sekarang, ceramah tentang perjalanan, isi dari sebuah buku, sebuah spekulasi. Tidak masalah dengan semua itu.  Pembicaraan yang sia, dan mengacaukan, juga yang ada di radio, televisi, majalah dan berita-berita.  Anda dapat membelinya dalam tumpukan majalah dan membacanya di sofa saat anda di rumah setelah makan malam, jika anda tidak tertidur. Tetapi berkotbah adalah untuk menyampaikan apa yang Allah katakan, bagaimana jiwa kita diselamatkan dari neraka, dan bagaimana kita dapat dilahirkan ke dalam hidup yang kekal, disini dan sesudahnya.

Di dalam Alkitab,”lalu Allah berfirman” merupakan hal yang diulang-ulang lebih dari dua ribu kali. Pengkotbah, dengan firman Tuhan, berdiri dengan teguh,  bagai sebuah benteng.  Jika dia berdiri dengan pemikirannya sendiri, dia bagaikan sebuah benteng kertas yang rapuh. Yang akan terbakar habis atau tiupan angin kencang akan menghembuskannya. Tetapi pengkotbah yang sesungguhnya berkotbah dengan setiap tetesan darahnya dan dengan seluruh kegairahan yang timbul dari pengertiannya terhadap firman Tuhan, yang dikirim dari surga oleh Allah sendiri.

Kakinya mungkin  gemetar, tetapi batu karang yang menopangnya akan terus teguh bertahan selamanya.

Lihatlah pelayanan Paulus. Dia merupakan pengkotbah dari Tuhan. Pelayanannya dijelaskan dalam Kisah Rasul.

Kita membutuhkan hati yang dibakar oleh pengkotbah yang sejati dari Kristus. Kita membutuhkan roh seperti Amos (Amos 7:10-15; 3:8; dari Yeremia (Yer. 20:2,7-9; dari Paulus ( 1 Kor.9:16); dan John Wesley yang suka bernyanyi:

           

Roh yang menyala datang

Menyuling api yang masuk ke dalam hati

Oh, didalamku api yang suci

Mungkin sekarang, mulai bersinar

 

Dengan kotbah sebagai pusat dari ibadah, maka semuanya harus memberi sumbangan di dalam menyampaikannya.  Itulah sebabnya mengapa seorang pendeta harus merancang setiap kebaktian. Semuannya harus menjadi satu kesatuan, dari pemikiran, dan penampilan yang diucapkan dan dilakukan. Sokongan ini sangat penting bahwa seorang pendeta dapat melihat segalanya sehingga ia dapat menyempurnakannya dan membesarkan hati jemaat sehingga memiliki respon yang indah dan mulia.

Pendeta yang memimpin ibadah membutuhkan kepekaan yang dalam terhadap mimbar. Sebagai contoh, seorang pengkotbah harus selalu mengingat bahwa dialah menciptakan suasana dalam ibadah jemaat. Jika dia adalah orang yang saleh dan penuh hormat, maka jemaatpun akan demikian. Jika dia adalah seorang yang bermulut besar dan bersikap tidak peduli, maka jemaat juga akan mengambil sikap yang sama dalam kebaktian. Di atas mimbar dia harus duduk dengan posisi kaki diatas lantai dan tidak disilangkan. Dia tidak tertelungkup di atas kursinya melainkan besrsikap tegak. Sikapnya dalam memegang Alkitab dan buku pujian harus takzim, jika mungkin dia tidak seharusnya berbicara dengan yang lain diatas panggung. Hanya jika dalam keadaan terpaksa dia harus berbicara dengan singkat.

10. Kotbah dari seorang pendeta harus klimaks dalam sebuah permohonan untuk jiwa-jiwa. Undangan harus ditekankan dalam setiap kebaktian, pendeta beserta jemaat harus berdoa untuk dan bekerja untuk sebuah hasil. Adalah hal yang memalukan untuk melihat seorang pengkotbah berkotbah tanpa sebuah harapan dan jemaat yang menanti doa ucapan syukur dengan tidak sabar dengan sebuah pikiran bahwa pengakuannya merupakan sebuah amnesti.  Jadi tentang apakah semuanya itu,  hal itu adalah untuk mendapatkan orang-orang supaya kepada Yesus dan diselamatkan dari hukuman neraka kepada sukacita dan kemuliaan surgawi. Seringkali saya melihat seorang pengkotbah mengumumkan sebuah lagu panggilan lalu menundukkan wajahnya kearah buku nyanyian dan mencoba untuk menyanyikannya. Jika seseorang datang kedepan untuk menerima Yesus sebagai juruselamatnya, dia terlebih dahulu harus mengejutkan pendetanya agar mengalihkan perhatiannya dari musik sehingga ia dapat membuat pengakuannya di depan jemaat.  Pendeta itu pastilah seorang yang percaya terhadap ungkapan ini,”Diberkatilah orang yang tidak mengharapkan apa-apa, karena dia tidak akan pernah kecewa!” Pendeta, berkotbahlah untuk sebuah putusan bagi bagi orang yang belum selamat dan berharaplah akan hasilnya. Allah akan menghargai imanmu dengan jiwa-jiwa.

 

Kebiasan dan Penampilan di atas Mimbar

 

Ketika anda melihat seseorang diatas mimbar, apa yang anda lihat? Dan apa yang anda pikirkan dari seorang pendeta yang berdiri di hadapan anda? Apakah dia menunjukkan kepada anda hal-hal besar dan tugas yang harus diketahui manusia? Mari kita menilai seorang pendeta melalui sepuluh karakteristik utama yang dimiliki oleh pendeta besar secara umum.

1.Dia memiliki kapasitas yang besar untuk berkenalan dengan orang. Sebut itu sebagai hubungan, empati, atau sebuah kemampuan untuk membangun sebuah persahabatan, dia memiliki hal tersebut. Anda tahu, dia memiliki keinginan besar untuk bersahabat.  Tidak memiliki rasa benci, tidak menunjukkan profesionalisme. Pengkotbah yang besar sangat menyenangkan dan bersahabat.

            2. Pribadinya sangat menyenangkan. Termasuk juga kebiasaannya dalam berbusana dan sangat rapi. Orang-orang merasa nyaman didekatnya. Adalah sebuah kebagaian baginya untuk menemui orang-orang sebagai sahabat. Dia memiliki keluwesan dan sikap yang tenang. Dia melihat kearahmu ketika kamu berbicara kepadanya dan selalu merespon tanda yang anda berikan. Ada rasa lega dalam kehadirannya.

            3. Dia memiliki tekhnik berkotbah yang luar biasa: suara, gerak tubuh dan artikulasi. Dia selalu siap untuk  didengarkan. Pilihannya atas tema merupakan permohonan yang besar. Dia bekerja tidak hanya dalam mempersiapkan kotbahnya, akan tetapi dalam seluruh hidupnya sebagai sebuah alat yang selalu siap untuk digunakan.  Pengkotbah yang besar adalah suatu hal yang besar, seorang pekerja keras. Tidak hanya kadang-kadang, tetapi semua kotbahnya sangat menonjol. Pelayan yang besar, ketika duduk, berdiri dan berbicara diatas mimbar ia memiliki sikap sebagai seorang professional. Dia seperti seorang nabi Israel ketika dia mengunjungi jemaatnya.  Ketika jemaat meninggalkan ruang kebaktian mereka tahu bahwa mereka telah mendengar sebuah kotbah yang luar biasa dari manusia Allah.

            4. Pengkotbah besar  memiliki sebuah persiapan dengan dukungan dari hal-hal yang berkaitan. Dia menjadi sebuah bagian dari isu atau objek yang lebih besar dari dirinya sendiri. Namanya mengangkat semua beban yang berat. Dia meluruskan dirinya dari isu dan masalah-masalah yang besar.

            5. Dia hidup dalam sebuah area yang penuh dukungan yang luar biasa dari bagian keluarga dan jemaat; semua menunjukkan integritas yang mutlak.

            6. Dia membangun citra yang sukses, program yang baik, dan pemikiran yang tepat dibalik setiap usaha yang keras.

            7.  Dia memiliki kemampuan utuk menggunakan seluruh alat-alat secara baik dan sempurna. Baik dalam pembelajaran, berkotbah, berkotbah ekspositori dan penggunaan metode lain dalam berkotbah. Jemaatnya tidak akan pernah kecewa karena hal-hal yang bersifat sepele.

            8. Dia merupakan pembaca yang luar biasa. Jurnal, buku-buku, artikel, majalah, suratkabar merupakan hal familiar baginya.

            9. Dia selalu berkata positif dan memberikan pandangan dan jawaban yang membangun. Dia menantang orang-orang untuk memberikan yang terbaik dalam hidup mereka. Dia percaya bahwa dia berada disisi Tuhan dan tidak ada seorangpun yang akan terhilang.

            10. Dia berseru untuk setiap jiwa. Dia membangun gerejanya. Sebagaimana dia membangun kotbahnya, dia membangun jemaatnya, dan sebagaimana dia mengkotbahkan Injil, dia memenangkan jiwa-jiwa.

            Merupakan hal yang penting bagaimana  tampilan pendeta dan melayani di atas mimbar, diantara jemaatnya.

            Saya senang dengan pengkotbah yang terlihat sebagai seorang pengkotbah dan bukan sebagai seorang gelandangan. Saya mengharapkan seorang pemimpin atau seorang duta besar terlihat berwibawa. Pengkotbah adalah seorang duta besar yang berkuasa penuh dari semua pengadilan dari seluruh alam semesta, bahkan dari pengadilan surga itu sendiri. Dia harus menunjukkan selubung kemuliaan didalam kebiasaannya dalam hal berpakaian.

            Dia harus berpakaian rapi, necis dan bersih, sekalipun di dalam kantor, di atas mimbar atau ketika mengadakan kunjungan.

            Pendeta, usahakanlah kuku anda kelihatan bersih dan bila perlu gunakanlah pembersih tangan jika perlu untuk menjaga agar tangan anda kelihatan bersih. Usahakan rambut anda bersih, teratur dan disisir. Jangan mengabaikan sepatu anda; usahakanlah selalu agar tetap berkilat dan tumit yang tidak menonjol. Pakailah kaus kaki yang sesuai dengan warna sepatu dan pakailah kaus kaki yang berwarna hitam saat anda berada di atas panggung. Perhatikanlah bahwa anda memiliki kerah yang bersih, jas yang rapi serta celana panjang yang rapid serta disetrika.

            Seorang pendeta harus berpakaian pantas di setiap waktu untuk setiap kesempatan. Ada cara berpakaian untuk retreat gereja, cara berpakaian untuk sebuah pernikahan,  atau untuk sebuah pesta.

            Perhatian yang umum akan menentukan apa yang harus dikenakan. Tetapi harus diingat apakah pakaian yang pantas itu dapat berbicara lebih keras dari kata-kata anda.

            Menjadi bijaksana dan berhati-hatilah dalam pemilihan busana anda. Hindarkan hal-hal yang ekstrim dan pakaian yang tidak biasa. Jangan kelihatan mengejutkan dan mencolok didalam penampilan anda. Warna yang gelap akan kelihatan lebih baik daripada yang berkilauan. Aksesoris yang serasi dengan pakaian akan lebih mengesankan.

            Gantilah pakaian sesering mungkin.  Pedulilah terhadap busana dengan cermat dan tekun. Rotasikanlah  dalam memakai setelan, sepatu dan pakaian lainnya. Hal ini akan memberi kesempatan bagi pakaian lain untuk dibersihkan dan dirapikan.

            Berpakaianlah dengan indah dan baik dan gereja akan membayar untuk itu (kebahagaian dan kesenangan akan menyertai pendeta yang tampak berwibawa). Berpakaianlah dengan indah, lalu kemudian, ketika anda berdiri di hadapan jemaat, lupakan tentang penampilan anda.  Sebelum anda datang kehadapan jemaat, berbenahlah, lihatlah diri anda didepan cermin, lalu hilangkan penampilan anda dari pikiran.  Orang-orang tidak akan melihat apa yang anda kenakan, tetapi melihat anda.

            Jangan mengisi kantong anda dengan hal-hal lain. Jangan terlihat menggembung.  Kerah baju anda harus terlihat longgar untuk memberi ruang gerak ketika anda berbicara dan menyampaikan kotbah.

            Dalam penampilan keseluruhan, perhatikan tentang kesehatan anda, kegembiraan, rasa percaya diri,  dan perlindungan Allah terhadap kita dan kemenangan di dalam Dia. Dalam gerak langkah, kelakuan, dan semua sikap akan mendorong semangat dari orang-orang. Kenakan pakaian terbaik anda dengan sebuah kebesaran, ketulusan hati dan senyum yang berkilau. Dunia membutuhkan hal itu.

            Perhatikan kebiasaan anda. Beberapa bagian diantara merupakan kepribadian yang harus ditinggalkan, tetapi seringkali mereka merupakan keganjilan kecil yang timbul secara perlahan-lahan dan dapat menjadi sebuah kebiasan yang buruk. Tanyalah salah satu anggota keluarga atau sahabat yang paling baik untuk menilai keluar setiap sikap atau gerak yang aneh. Menaruh tangan di dalam kantong, memalingkan muka dan merubah air muka, menyentakkan nafas, menggaruk kepala atau telinga, mondar-mandir, selalu melihat keatas kepala pendengar, dan hal-hal lain yang merangsang kita untuk bertindak dibawah sadar dalam melakukan sesuatu yang tidak kita sukai. Perhatikanlah pengkotbah lain dan pelajari dari mereka apa yang harus ditiru dan apa yang harus dihindarkan.

            Akan tetapi jangan terlalu fokus kepada teguran masalah berpakaian ini, karena hal itu juga dapat menjatuhkan keefektifan sebuah karunia lain di dalam mimbar. Ingatlah bahwa banyak keanehan lain yang dapat timbul dalam menyampaikan pesan tanpa pernah pernah kita waspadai.  Ini adalah keistimewaan yang benar jika dia telah berkotbah selama beberapa tahun. Keganjilan apa sajakah yang dapat membuat pendengar terganggu dan dalam kasus yang ekstrim yang dapat kita setujui, pelayan itu dapat diminta untuk pergi? Seorang pelayan, yang saya tahu dipanggil dengan panggilan pura-pura disebut sebagai “kaca mozaik” memiliki nada yang cepat.  Sebagaimana dia memulai kotbahnya dan terus menerus seperti itu dalam kesuluruhan pembicaraannya.  Cara berbicaranya dalam kotbah sama sekali berbeda dengan suara normalnya. Suaranya melengking sehingga membuat jengkel para pendengarnya. Saran dari sebuah kritikan yang bijaksana (istrinya) mungkin dapat menolong dirinya untuk menghilangkan kecacatan ini.

            Kebiasaan lain yang tidak menyenangkan adalah seperti memain-mainkan pakaian, berdecak secara berulang-ulang, mengeluar-masukkan satu tangan kedalam saku, melurus-luruskan dasi, memutar-mutar kunci, dan hal-hal lain yang dapat mengganggu aktivitas. Dia seharusnya memperhatikan dirinya sendiri secepatnya sebelum datang ke mimbar dan memiliki ketenangan dengan sebuah jaminan bahwa dia kelihatan baik dan meninggalkan semua pikiran itu. 

Hal ini tidak banyak terjadi, tetapi seseorang dapat kekurangan kata-kata ketika sedang berada di atas mimbar terutama jika dia sudah berkotbah dalam waktu yang panjang. Kebiasaan seperti ini sudah ada semenjak awal hidup, saat sekolah dasar, sekolah menengah, bahkan dalam lingkungan keluarga.  Bahkan seseorang yang sudah terbiasa dengan baik  dapat jatuh ke dalam sebuah kebiasaan dari menggunakan istilah-istilah yang sulit, sehingga akhirnya mereka kehilangan artinya dan pendengar mulai menghitung kata-kata yang secara berulang-ulah telah dia sebutkan.

Biarlah seorang pendeta menjadi pengkotbah yang terbaik selama dia mampu melakukannya.  Tidak ada batasan untuk meningkatkan kemampuan dengan mencoba sesuatu dengan kehati-hatian dan pembelajaran, sekalipun semakin bertambah tua. Orang-orang disekitar kita adalah sahabat yang akan membantu kita untuk menjadi lebih baik.

 

Khotbah yang Dia Sampaikan

 

Kristus merupakan tema yang terbesar di atas mimbar, dan diantara semua tema Kristus merupakan pusat dan akhir dari tema-tema tersebut. Paulus berkata, “kami memberitakan salib Kristus” (1 Kor.1:23). Dia menegaskan kembali hal ini dalam 2 Korintus 5:18-21, , Galatia 6:14,  dan bayak lain dalam pasal yang lain.  Ketika seseorang datang kepada Spurgeon dan berkata bahwa semua kotbahnya kelihatan sama. Spurgeon menjawab,”Itu benar, ketika saya mengambil teks saya, saya membuat sebuah jalan langsung menuju salib.” Semua kotbah yang benar, sekalipun memiliki topik yang berbeda selalu berbicara menuju Kristus. Tidak ada topik yang tepat ke atas mimbar jika tidak memimpin kepada Dia. Tema dari pengkotbah adalah sama secara esensial di segala waktu,  sederhana dan tetap sama, baik kemarin, hari ini sampai selama-lamanya.

Kotbah yang efektif dalam setiap zaman melekat kepada kebenaran yang sama. Mereka memiliki perbedaaan hanya dalam cara mengilustrasikan dan menerapkannya, tetapi subjek materi dari pelayan pesan tidak pernah berubah. Kotbah menurut Yohanes 6:63,  adalah bukan  kata-kata, dingin dan acuh tak acuh, tetapi dari jiwa-kebenaran yang mengubahkan, dipenuhi oleh Roh dan hidup. Hati pendeta akan dimuliakan dari pembelajaran Alkitab dan pemikiran-pemikiran yang cepat dari Allah. Tetapi ada lebih lagi. Sebagaimana hari berlalu, pengkotbah akan berbicara dari sebuah kekayaan, pribadi dan pengalaman religius.

Seseorang tidak hanya menjadi seorang pembicara yang bersemangat, atau hanya seseorang yang berjalan diatas tali yang direntangkan, yang takut terjatuh kearah yang lain. Dia harus mempresentasikan seluruh nasehat Allah. Dia harus menghidari sesuatu yang  kering, formal, dan metode metafisik didalam kotbahnya.  Sebuah kotbah bukan sebuah esai teologi. Ia dibangun untuk menggerakkan hati dan kehendak dari orang-orang dan mengajar mereka dalam cara  dan dalam iman. Sebuah kotbah harus seperti surat-surat Paulus. Rasul menulis doktrin yang hebat dan mengajarkannya, lalu dia menutup dengan aplikasi praktikal yang menakjubkan.  Semua surat Paulus memiliki bentuk seperti itu. Bagian pertama adalah doktrin dan bagian kedua merupakan hal praktikal ketika dia mengaplikasikan kebenaran dari Injil Kristus.

Ada begitu banyak jenis kotbah yang berbeda, tapi jantung dari semua itu adalah untuk mengajarkan Kristus yang ada di Alkitab, Firman Allah yang berinkarnasi berbicara dan tertulis. Merupakan satu hal yang aneh jika semua dipanggil dengan Firman Tuhan, apakah menjelma di dalam daging, sebuah gulungan yang berisi tinta, atau gema suara Tuhan. Alkitab dan Kristus tidak dapat dipisahkan. Mengecilkan firman yang tertulis adalah penghinaan Firman yang hidup. Membesarkan Alkitab adalah memuliakan Kristus. Alkitab atau Kristus berdiri atau jatuh secara bersama-sama. Pusat dari teologi Kristen hari ini, sama seperti abad-abad sebelumnya., yaitu keilahian dari Kristus dan ketidakbersalahan Alkitab.

Manusia dan kata-katanya mungkin dua hal yang berbeda, tetapi tidak dengan Tuhan dan FirmanNya.  Firman Tuhan sama seperti Tuhan sendiri, baik kemarin, hari ini. Dan sampai selama-lamanya (Ibrani 13:8, Mzmr 119:89). Mengasihi Firman Tuhan adalah mengasihi Allah.  Menerima Firman Tuhan sama dengan menerima Allah sendiri mempercayai Firman Tuhan adalah mempercayai Allah.  Secara rohani,  mengetahui Firman  adalah mengetahui Allah. Kita melihat Kristus dalam bagia-bagian Alkitab, Erasmus menulis dalam kata pengantar di dalam teks Yunani yang dieditnya yaitu Textus Receptus, yang diterbitkan pertama kali tahun 1516 dan teks itu merupakan dasar dari Alkitab King James Version, kata-katanya ialah,”Bagian-bagian yang suci ini akan membangkitkan gambaran yang hidup dari pikiranNya, mereka akan memberikan Kristus itu sendiri kepada anda, berbicara, mendengarkan, mati, bangkit, keseluruhan Kristus dalam kata-kata.  Mereka akan memberikan Dia kepada anda sebuah keintiman yang sangat dekat, bahwa Dia akan memberikat berkat yang kelihatan kepada anda jika anda berdiri didepan mataNya.”

Jika saya dapat menghidupi hidup saya, kembali ke usia yang ketujuhbelas tahun saat dimana saya mulai berkotbah, saya akan mengkotbahkan Alkitab. Jika saya tidak mendapat pesan dari sebuah ayat, maka saya akan mengambil sebuah paragraph, ; jika  sebuah pesan tidak keluar dari sebuah paragraph, maka saya akan mengambil sebuah pasal, jika tidak keluar dari sebuah pasal, lalu akan keluar dari sebuah kitab; dan jika tidak keluar dari sebuah kita dan lalu keluar dari sebuah perjanjian. Tetapi saya akan mengkotbahkan Alkitab.

Memang ada “masalah pengajaran” dan “situasi hidup pengajaran”  tetapi  jenis pengajaran ini memelihara agar membuat masalah orang menjadi sadar dan lebih mengecap psikologi daripada agama. Kita perlu untuk melupakan tentang diri kita dan lebih berpikir tentang Yesus dan orang-orang yang untuknya Yesus telah mati.  Melalui pengajaran Firman Tuhan, kita mengarahkan orang kepada Yesus.

Di dalam mengkotbahkan Alkitab, seorang pendeta dapat mengikuti beberapa pendekatan yang berbeda.

Salah satunya adalah  mengkotbahkannya secara eksposisi. Metode ini adalah dengan memilih sebuah bagian yang besar (sebuah paragraph atau lebih) dari Alkitab dan menemukan artinya dan menjelaskannya di hadapan jemaat.

Yang lainnya adalah dengan mengkotbahkan Alkitab secara tekstual. Ini merupakan penjelasan dari bagian kecil Alkitab, dari satu ayat atau satu kata.

Metode berkotbah yang ketiga adalah secara topikal. Ini merupakan penjabaran sebuah pesan di atas sebuah subjek yang dijelaskan dalam Alkitab, seperti jaminan, Iman, komitmen, penebusan. Dr. George W. Truett merupakan seorang pengkotbah topikal.

Pendekatan yang keempat terhadap pesan dari Alkitab adalah melalui karakter pembelajaran. Ini merupakan cara yang sederhana, mudah dan didalam banyak cara, merupakan cara yang paling menenangkan dalam berkotbah. Untuk membuat karakter Alkitab hidup di hadapan jemaat, dengan seluruh iman mereka, kesalahan-kesalahan dan kegagalan., merupakan sebuah hadiah yang menantang.

Cara kelima dalam berkotbah adalah dengan menggunakan kesempatan yang khusus untuk membawakan sebuah pesan yang berkaitan dari Tuhan kepada jemaat pendengar. Hari Ibu dapat menjadi sebuah kotbah di dalam rumah, di Tahun Baru sebuah kotbah yang memperbaharui komitmen kekristenan, Paskah dalam harapan kita akan kebangkitan, natal dalam pemberian kasih Allah, hari Ucapan Syukur dalam hutang syukur kita kepada Allah dan masih banyak lagi.

Melalui cara-cara berkotbah, saya ingin membuat tiga penilaian.

1. Seorang pendeta harus memiliki variasi dalam berkotbah.  Kita harus meningkatkan semua tipe  berkotbah. Secara teratur mengganti dan menukar metode kitan penekanan-penekanan dan materi-materi.  Kita harus menjadi seorang petani yang pandai merotasikan tanamannya untuk kesuburan dan hasilnya. Berkotbah melalui berbagai cara.

 

2. Andrew W. Blackwood, Sr., dalam bukunya, Preperation of Sermon mengutip dari tulisan B.H. streeter “Concerning Prayers,” penilaiannya seperti ini: Sebuah seri yang dihubungkan dalam suatu subjek oleh seorang manusia yang memiliki kemampuan moderat akan membuat hubungan yang lebih mengesankan daripada sebuah bilangan yang setara dari kotbah-kotbah yan g tersembunyi oleh pembicara yang brilian. Jemaat mengingat apa yang telah disampaikan pada waktu yang lalu. Dan berada didepan untuk mengharapkan apa yang akan disampaikan selanjutnya.

Ini merupakan hal yang nyata dari pengalaman saya. Disamping penjelasan firman Allah melalui kitab demi kitab di dalam Alkitab, saya bekerja melalui sebuah seri khusus dari kotbah di setiap waktu.  Disini ada dua seri yang sedang saya kerjakan: Pelayanan tahunan masa sebelum paskah (Dr. Truett telah memulainya dan saya tetap melanjutkannya sampai sekarang selama enam puluh empat tahun) yang membangun tema di sekitar, “Allah berbicara untuk Amerika.”

Minggu - “Apakah Perang Merupakan Kehendak Allah?”

Selasa – “Warna Merah dalam Bendera Kita Adalah Darah”

Rabu – “Kanker yang Menguasai Kita”

Kamis – “Perbudakan atau Kemerdekaan?”

Jumat – “Menyelamatkan Bangsa”

 

Kemungkinan lain adalah adalah seri yang berhadapan dengan masalah kemanusiaan, dan khususnya bagi kita yang sedang hidup dalam generasi masa sekarng yang sangat rentan. Kotbah dapat dibangun di sekitar karakter yang terdapat dalam Alkitab dan masalh-masalah yang menimpa mereka. Subjek-subjeknya seperti:

   

Nuh: Obat-obat terlarang, kemabukan, dan ketelanjangan.

Lot: Hidup dengan orang-orang homoseksual

            Ismael: Islam dan minyak yang licin

            Akhan: Ketakutan kita akan pengakuan dosa

            Elkana: Kepiluan hati Kepala rumah tangga

            Eli: Anak-anak yang tidak disiplin

            Daud: Mengendalikan Seksual

            Ahab: Empat puluh tahun dengan Wanita yang salah

            Maleakhi: Ketika seorang orang tua yang tidak memiliki rekan (Allah dan Perceraian)

 

3. Penilaian ketiga saya termasuk tiga cara untuk berkotbah mengenai metode yang terbaik dalam menyampaikan pesan Allah, adalah berkotbah secara eksposisi.  Yang terbaik dari semua kotbah adalah kotbah ekspositori. Ada sebuah keuntungan dari cara berkotbah ini terutama untuk pengkotbah itu sendiri, yaitu dia dapat belajar, dan bertumbuh didalam hatinya,  dan pesan yang dia baca dalam Alkitab menjadi darah dan daging di dalam dirinya. Ada juga keuntungan bagi jemaat, yang merupakan dunia tanpa akhir.  Mereka belajar untuk mencintai Alkitab, mereka belajar pesan Allah, dan mereka menjadi paham dengan Kitab suci. Salah satu tragedi dalam zaman kita yang modern ini adalah bahwa Alkitab merupakan buku yang terlalu besar untuk dilayari oleh orang-orang.  Mereka tidak tahu apa yang ia gambarkan. Betapa sedikit dari kekayaan Alkitab yang digambarkan di dalam mimbar! Metode berkotbah ekspositori adalah salah satu yang baik di dunia.

Hindarkan dalam sebuah ekspositori sebuah parade pembelajaran dan kiasan untuk menafsirkan atau terlalu banyak referensi dari orang-orang yang sudah mempelajarinya. Hadirkanlah pesan  melalui cara anda sendiri dan di dalam diri anda. Akan menghabiskan usaha yang lebih untuk mengkotbahkan sebuah kotbah ekspositori daripada yang lain, tetapi hal itu merupakan cara yang terbaik dalam berkotbah. Kekuatan mimbar yang luarbiasa dalam tahun-tahun yang sudah lewat terdapat dalam metode ekspositori dari kotbah-kotbah yang ditemukan dalam Chrystosomus, Agustinus, Luther, Calvin, Chalmers, Andrew Fuller dan tentu saja dalam pengkotbah-pengkotbah besar.

Bagaimanapun metode berkotbah adalah untuk mengingatkan orang-orang. Berkotbah untuk kebutuhan mereka, mengingatkan perhatian mereka, dukacita, pencobaan-pencobaan.  Untuk membuat Firman Tuhan hidup bagi orang-orang adalah sebuah tantangan yang tidak terkira. Menegur kehendak mereka, hati nurani, ketidaktahuan.

Kotbah adalah untuk mereka, tidak untuk tujuan yang egois dari sebuah lagak,  pertunjukan atau penampilan. Perbedaan antara sebuah  kebosanan dan percakapan yang baik yaitu kebosanan tidak menemukan perbedaan antara apa yang menarik baginya dan apa yang menarik bagi pendengarnya. Oleh beberapa sarjana tetapi tetapi merupakan pengkotbah yang monoton berkata,” jika dia bukan akar Yunani yang mematikan anda, dia pasti akar kata Ibrani yang akan mematikan anda.” Untuk sebuah kotbah yang memberkati orang-orang, anda harus membuat sebuah ide, diulang beberapa kali dibawah beberapa poin utama dari dua atau lima tetapi tidak pernah lebih dari tujuh. Sebuah kotbah sebaiknya berlangsung sekitar tiga puluh atau empat puluh menit.

Mengajarlah di dalam kotbah anda. Didalam Efesus 4: 11 gembala dan pengajar dihubungkan secara bersama. Dalam bahasa Yunani disebutkan sebagai gembala-pengajar, adalah orang sama.  Jika sebuah kotbah adalah sebuah pembicaraan yang semangat maka waktu dua puluh menit akan terlalu lama. Tetapi jika pengkotbah mengajarkan firman dan kehendak Allah di dalam kotbahnya maka dua puluh tahun terlalu singkat. Pengkotbah harus memperhatikan nasehat Simon Petrus dalam 2 Petrus 3:18, meolong jemaat untuk bertumbuh dalam anugrah dan di dalam pengetahuan akan Yesus Kristus.  Mengajar lewat kotbah pemeliharaan iman jemaat. Mereka sibuk di dalam dunia sekuler. Mereka telah menempatkan anda sebuah tujuan untuk membuat mereka mengetahui Firman Tuhan. Menemukan keluar kebenaran Allah yang luar biasa dan menyingkapkannya kepada jemaat (Ulangan 29:29).  Setiap kotbah harus membuat seruan bagi orang yang terhilang tetapi juga harus menjadi jamuan bagi hati orang-orang yang lapar.

 

    Pendeta Dalam Menyampaikan Kotbahnya

 

            Alat perlengkapan bagi pendeta adalah kata-kata. Bagaimana membentuk dan menajamkan apa yang dia lihat dan untuk menyempurnakan pembicaraannya dengan pasti, seperti sebuah kuas ditangan pelukis untuk menyelesaikan lukisannya atau sebuah penggaris dan kulir ditangan seorang perancang dalam membangun sebuah bangunan. Hidup seorang pengkotbah adalah kata-katanya (Yoh. 5:43,47; 17:20, Amsl 25:11). Kata-kata merupakan wahana yang diraih oleh pendeta, dijamah dan memberkati kehidupan dari para pendengarnya.

            Pendeta berdiri dengan tegak, berhadapan muka dengan jemaatnya, membuka mulutnya dengan lebar, dan berbicara dengan jelas hingga terdengar kearah jemaat yang duduk dibelakang bangku gereja. Ketika jemaat yang mengikuti dari jauh dapat mendengar maka orang-orang yang duduk di dekat pengkotbah dapat mendengarnya juga.  Pengkotbah tidak hanya berkotbah untuk dirinya sendiri; di berkotbah kepada jemaat dan ketika dia berbicara dia harus berusaha agar jemaat tetap berada dalam pandangannya, dalam pikirannya dan didalam pembicaraannya dan dalam suaranya yang nyaring..

            Ada sebuah ungkapan tentang berkotbah, yaitu:

 

                        Mulai dengan perlahan, berbicara denngan lembut

                        Menjadi lebih tinggi, buatlah semangat

 

            Ini adalah satu cara berbicara terbaik yang harus diingat. Banyak pembicara memulai dengan sebuah nada yang tinggi, jika dia memulai dengan nada tinggi maka tidak ada tempat selanjutnya untuk bergerak melainkan hanya sebuah ketegangan. Adalah lebih baik untuk menemukan yang terbaik, dengan nada yang alami untuk suara anda lalu naikkan atau turunkan sesuai dengan tujuan dari kotbah anda.

            Adalah penting untuk melihat lembar-lembar yang diberikan dalam sebuah kelas homelitika yang mana para teolog muda diminta untuk menilai pengkotbah yang mereka dengar. Mereka akan menilai mereka dalam postur, gerak tubuh, keserasian suara,  proyeksi, variasi vocal, kontak mata, humor, vokabulari, pemilihan kata, sikap, dan tata bahasa. Saya berpikir berapa banyak dari kita yang menyatakan diri jika kita dinilai oleh siswa seperti ini?

            Biarkan saya membicarakan sebuah nasehat yang bijaksana tentang kategori yang terakhir, yaitu tata bahasa.Tata bahasa yang salah atau salah pengucapan kata-kata akan menurunkan simpati kebanyakan dari seseorang yang terpelajar.  Orang seperti D.L. Moody merupakan sebuah pengecualian untuk penilaian itu., tetapi pengecualian hanya pada orang-orang yang sudah teruji kemampuannya.  Tata bahasa yang benar dan pengucapan yang benar dapat membuat orang yang terpelajar untuk mendengarkan sebuah kotbah yang dia pikir bahwa dia tidak perlu untuk mendengar hal itu. Seorang pendeta boleh menghilangkan pelatihan terhadap dirinya sendiri, untuk berhati-hati dalam pembicaraannya.  Hal itu merupakan hal yang sensitif dimana ia akan direspon dengan ucapan syukur; dan setiap orang mengabaikan hal itu tidak akan mengalami kesulitan olehnya ketika ia menyadari perbedaan itu.

            Disini ada lima aturan tentang penggunaan kata-kata oleh seorang pendeta yang penting untuk dibaca olehnya.

1. Aturan pertama dari seorang pembicara adalah membuatnya sederhana. Kelebihan, bertele-tele, sudah tentu menghamburkan kata-kat yang tepat! Gunakan bahasa yang umum. Alkitab versi King James merupakan kesaksian yang kuat tentang kederhanaan dan kekuatan bahasa Inggris.

 

2. Menghindarkan kata-kata yang terlalu familiar, atau tidak familiar atau kata-kata yang terlalu sering didengar. Jangan pernah kebingungan atau kehilangan kata. Gunakan kamus dan lihat kedalamnya.

 

3. Milikilah statemen yang tepat. Adalah mudah untuk mengerti sesuatu yang segar. Bahkan  sebuah singkatan yang resmi, secara tradisional bertele-tele dan sesuatu yang sulit dimengerti, berubah. Sebagaimana kepanjangannya yang dipotong,  pemahaman mereka selalu meningkat.

 

4. Kenali konotosi sebuah kata sebaik anda mengenali makna denotasi mereka. Makna denotasi berarti sesuai dengan arti sebenarnya, sedangkan konotasi sebuah kata berarti memberi kesan atau sebuah tambahan. “Gendut” memiliki konotasi yang berbeda dengan “montok.” Masih ingat observasi dari Mark Twain? Dia berkata,”Perbedaan antara kata-kata yang benar dengan kata yang hampir benar sama dengan perbedaan antara kilat (lightening) dengan penerangan yang rusak (lighning bug).

 

5. Lihat dengan sederhana. Jika anda menggunakan sebuah suku-kata ditempat yang memiliki tiga suku-kata, maka lakukanlah hal itu. Sebagaimana hal itu terjadi, seringkali kata-kata Anglo-Saxon sangat pendek, sukar,  berpasir, dan menambahkan penjelasan dan terlalu panjang untuk ditulis atau diucapkan. Kebanyakan penulis yang terkenal menggunakan enam kata-kata Anglo-Saxon yang berasal dari bahasa Yunani atau bahasa Ibrani., sekalipun kamus menggunakan hanya satu dari sepuluh kata yang berasal dari Anglo-Saxon.

 

            Ingatlah untuk berbicara dengan alami, jelas, sederhana dan dengan kuat. Hal itu merupakan seorang Puritan yang ideal. Seorang pengkotbah Puritan yang jenius mendasarkan kotbahnya dalam kesederhanaan, tanpa hiasan dan memiliki gambaran yang jelas. Jonathan Edwards mendaftarkannya dalam bukunya Resolutions: “jangan pernah berbicara dengan menarasikan sesuatu tetapi harus murni dan penuh dengan kebenaran yang sederhana.”

Textboook yang paling penting pada masa itu adalah buku yang ditulis oleh William Perkins Inggris yang berjudul, The Art of Prophesying, diterbitkan tahun 1592. dia menulis,”Kebijaksanaan manusia harus tersembunyi, karena  kotbah dari Firman adalah kesaksian Tuhan dan penglihatan dari pengetahuan Kristus dan bukan kemampuan manusia. Pendengar jangan pernah menganggap bahwa iman mereka merupakan pemberian manusia tetapi  merupakan kekuatan dari Tuhan.” Paulus menulis dalam 1 Korintus 2:1-5 dan mengatakan hal yang sama.  Thomas Hooker dalam bukunya, The Soul Preparation (1632), menulis,”Saya kadang-kadang kagum tentang hal ini: mengapa seorang pengusaha, perwira rendahan, wanita yang lemah, hampir tidak dapat mengetahui A B C sekalipun mereka memiliki sebuah kemampuan untuk berbicara bahasa Latin, Yunani, dan Ibrani dan yang digunakan oleh bapa-bapa leluhur., ketika untuk hal yang sama mereka tidak tahu sama sekali, alasannya adalah karena hal-hal ini tidak menyengat mereka; mereka mungkin duduk dan tertidur dalam dosa-dosa mereka dan pergi ke neraka dengan kerekan yang tertutup tanpa pernah tersadar.

Semoga Tuhan melepaskan kita dari penghukuman.

Ketika pendeta berdiri untuk berbicara, biarkan mereka menjadi dirinya sendiri. Anda mungkin menjadi seorang peniru yang jujur dari orang lain tetapi anda adalah contoh terbaik dari diri anda yang telah dibuat oleh Tuhan.  Bagaimanapun anda, didalam kebiasaan yang bagaimanapun Tuhan telah membentuk anda. Biarkan Dirinya memuliakan Dirinya sendiri melalui kepribadian individu anda.  Jadilah dirimu sendiri.

Ketika saya menjadi seorang mahasiswa di Baylor, pada usia tujuh belas tahun, Sebuah Band sukarelawan keluar dari dalam sebuah bus untuk mendengan  kotbah saya dibawah sebuah kemah. Setelah selesai mereka berkata kepada saya,” Itu sangat mengerikan. Kamu berkotbah kemana-mana. Kamu berteriak dengan suara yang tinggi. Itu sangat buruk sekali. Tidak ada menara gereja di kota manapun yang memanggil seperti kamu. Kamu terlalu nyaring.” Kritikan itu membuat saya lemah.  Setelah merendahkan kata-kata,  saya diperintahkan pergi kepada  seorang guru eskpresi, Nona Martha Folkes Hawn, untuk belajar dan memperbaiki cara saya yang riuh. Saya sungguh-sungguh telah mengekspresikan pelajaran itu sejak saya berumur delapan belas tahun, tetapi saya mengulang kembali semuanya. Suatu hari nona Hawn meminta saya untuk mengkotbahkan sebuah kotbah baginya. Dia memiliki sebuah bangunan teater yang kecil, lalu disana mengambil posisi saya, berdiri, membuka Alkitab dan mulai mengkotbahkan sebuah kotbah untuknya. Dia berkata tidak ada sebuah kata yang menjadi respon baginya. Dia hanya meminta saya untuk mengkotbahkan kotbah yang lain untuknya pada pelajaran berikutnya. Saya melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya.  Ketika saya kembali untuk pelajaran saya berikutnya, dia mengundang saya untuk duduk dekatnya di atas sofa. Dia ingin berbicara dengan saya. Ini yang dia katakan,”Saya telah berpikir banyak tentang kamu dan kotbahmu. Dalam minggu ini seorang teman saya dari kota Kansas datang mengunjungi saya. Saya bertanya kepadanya ke gereja mana dia pergi. Ketika dia memberitahu saya, saya menandai bahwa dia bukan anggota persekutuan itu, dan saya bertanya mengapa dia memilih untuk beribadah disana. Teman saya menjawab,’Karena pendeta disana sungguh-sungguh seorang pengkotbah, dan ketika saya pergi ke gereja saya senang mendengar seseorang berdiri dan berkotbah.’” Lalu Nona Hawn menambahkan ke saya,” Saya sungguh-sungguh ingin seperti itu. Ketika saya mengunjungi gereja, saya suka mendengar orang berkotbah. Jadi lakukanlah dalam kotbahmu tepat seperti yang kamu rasakan. Jika kamu ingin mengepalkan tinjumu, kepalkanlah tinjumu, jika kamu ingin menggoyang kepalamu, goyanglah kepalamu. Jika kamu  ingin menghentakkan kakimu, hentakkanlah kakimu. Saya tidak berkata bahwa setiap orang seperti dirimu, tetapi saya ingin mengatakan bahwa setiap orang ingin yang mendengar kamu akan menyimak.” Lalu dia menambahkan,”Inilah pelajaran terakhirmu, kamu tidak perlu lagi kembali. Hanya jadilah dirimu sendiri, dan jangan pernah biarkan orang menyusahkan atau mempermasalahkan cara kamu berkotbah.”

Saya pergi dengan semua beban dunia lepas yang dari bahu saya. Beberapa mungkin lembut dan tenang, beberapa lainnya nyaring dan gemuruh, beberapa orang mungkin perlahan dan berhati-hati, yang lainnya mungkin seperti senapan api. Tetapi bagaimanapun kita, Tuhan memberikan kepada kita cara untuk yang terbaik. Ia membuat kita untuk berbeda. Hal itu seperti ini:

 

Hewan-hewan memiliki sebuah sekolah. Kurikulumnya termasuk berlari, memanjat, terbang dan berenang. Semua hewan mengambil subjek itu.

Bebek sangat bagus didalam berenang tapi takut terbang. Tetapi dia payah dalam berlari. Jadi dia berhenti di dalam kelas berenang dan tetap tinggal di sekolah untuk mempraktekkan larinya. Dia melakukan hal ini sehingga dia hanya memiliki kemampuan rata-rata di dalam berenang. Tetapi kemampaunnya itu dapat diterima.  Yang lainnya (termasuk sang guru) tidak lama sesudah itu semua dilatih sesuai dengan kemampuan berenang si bebek. Jadi semuanya merasa menjadi lebih nyaman, kecuali si bebek.

Elang, termasuk murid yang memiliki masalah. Sebagai contoh, untuk kelas memanjat dia mengalahkan yang lain untuk mencapai puncak pohon, tetapi dia menggunakan metode tersendiri untuk sampai disana. Dia memiliki beberapa kedisplinan. Akhirnya, karena tidak ada kerjasama di dalam berenang, dia memutuskan keluar sebagai sebuah pembangkang.

Kelinci memulai sebagai yang paling utama di dalam kelas berlari, tetapi terlihat jelas bahwa dia tidak mencukupi di area yang lain. Karena terlalu banyak mengejar pekerjaan dalam berenang dia memiliki sebuah keraguan dan berhenti dari sekolah.

Tentu saja, kura-kura memiliki sebuah kegagalan dalam setiap pelajaran yang ditawarkan. Tempurungnya merupakan sebab utama dari kegagalannya, oleh sebab itu ia lalu memindahkannya.Hal itu membantunya sedikit dalam berlari, sedihnya dia menjadi korban kecelakaan ketika ia terinjak oleh seekor kuda.

Fakultas itu berhenti dengan mengecewakan. Tetapi semua dari kesemua hal itu adalah sekolah yang baik untuk kerendahan hati-bahwa disana tidak ada yang sungguh-sungguh berhasil. Tidak terlihat usaha untuk meningkatkan yang lainnya. Tetapi mereka tidak berkonsentrasi dalam poin yang menjadi kelemahan mereka dan beberapa kemajuan yang telah dibuat.

Mungkin pelajaran  moral yang didapat adalah: jangan pernah membiarkan sesuatu mengambil tempurungmu atau menjepit sayapmu. Jadilah dirimu sendiri.

 

           

Pendeta Berkotbah tanpa Catatan

 

Ketika saya memulai pelayan berkotbah saya pada usia tujuh belas tahun. Saya berlutut dan meminta Tuhan agar membantu saya berkotbah tanpa catatan. Pemikiran yang sangat kuat untuk melakukan hal ini sangat menyusahkan saya. Bagaimana jika seandainya saya lupa pada poin berikutnya di pertengahan kotbah saya? Hal seperti itu sangat mungkin terjadi. Tetapi saya meminta Allah dalam iman untuk menolong saya. Dan sekarang hal itu terjadi lima puluh satu tahun yang lalu. Dan selama lima puluh satu tahun Allah tidak pernah membiarkan saya jatuh atau membiarkan saya gagal untuk momen yang sesaat saya mungkin lupa pada pertengahan kotbah, tetapi tetap berbicara sampai poin berikutnya datang kepikiran saya.

Masalah praktikal yang pragmatis yang seringkali dihadapkan kepada beberapa jenis dari pelayanan mimbar adalah seperti ini: Saya secara hati-hati membuat garis besar kotbah dalam sebuah lipatan kertas  yang terdiri atas beberapa bagian. Sebagaimana saya mengkotbahkan kotbah, didalam pikiran saya,  saya beranjak turun dalam setiap bagian, lalu ke bagian berikutnya dan berkotbah berdasarkan hal itu. Lalu saya melanjutkannya lagi ke bagian yang berikutnya dan berkotbah atas bagian tersebut, dan kemudian saya mengarahkan pikiran saya ke bagian yang terakhir dan mengkotbahkan hal itu. Ini merupakan kepandaian saya dalam persiapan yang hati-hati terhadap kotbah dan dalam kemutlakan dihadapan Tuhan, dimana Dia akan menolong anda untuk mencapai sukses dengan memberkati semua cara dalam menyampaikan kotbah.

Pendeta, perhatian yang penuh dan doa yang sungguh-sungguh merupakan usaha dalam mengikuti cara ini. Cicero (106-43 BC) seorang yang pandai bicara memasuki Roma dengan kepandaiannya itu, dia memiliki keyakinan yang kuat dalam berbicara tanpa halangan dari sebuah manuskrip. Dia menyatakan,”Didalam penyampaian, selanjutnya bergantung kepada suara yang efektif, dan roman, dan hal ini diukur oleh mata. Kekuatan ekspresi dari mata manusia adalah sangat besar dan hal itu menekankan ekspresi keseluruhan dari penampilan.”

 Seringkali saya berpikir tentang kotbah yang disampaikan oleh nabi-nabi dan para rasul. Apakah mereka berkotbah dari catatan? Apakah Yesus? Membuka Lukas 4:17-21. Dengan semua mata yang menatap kearah wajah Yesus, betapa ganjil jika matanya turun, yang terarah kearah gulungan kitab sementara dia menyampaikan pesannya kepada warga kota di dalam sinagoge Nasaret.

John Wesley menulis,”Lihatlah kearah wajah pendengar satu demi satu, seperti yang kita lakukan dalam pembicaraan yang biasa.” Jika anda berbicara dengan seseorang secara pribadi, muka dengan muka, tentang memberikan jiwanya kepada Kristus, apakah anda menggunakan catatan? Bukankah anda melihatnya secara langsung ke dalam matanya? Ia tidak berbeda dalam pembicaraan dengan beberapa orang lebih. Satu atau seribu, lakukanlah hal yang sama.

Lihat kearah orang kedalam matanya sebagaimana anda berbicara, hal itu berarti anda tidak sedang memandang kearah dinding atau memandang keluar jendela atau sedang mengamati tali sepatu anda. Jika anda sibuk dengan hal ini, maka pendengar tidak yakin kearah mana tanda anda ditujukan. Anda sedang berbicara dengan pendengar anda; lihatlah kearah mereka.

Harry Simmons, seorang yang dikenal sebagai manjemen konsultan, menulis tentang “Empat Pandangan untuk Berbicara dengan Sukses” (How to Talk Your way to Succes, Castle Books).

Yang pertama, lihatlah kearah pendengar anda. Berikan perhatian kepada orang-orang, bukan langit-langit, dinding atau jendela. Hanya dengan melihat orang-orang inspirasi akan datang dengan memperhatikan persetujuan mereka.

Kedua, lihat kearah pendengar secara konstan. Anda harus tetap mempertahankan pendengar dalam pandangan anda, dengan begitu mereka akan merasa bahwa sejauh itu anda tetap peduli, bahwa mereka sangat penting. Berikan pendengar perhatian yang tidak terpisahkan melalui pesan.

Ketiga, lihat kearah orang dalam kumpulan pendengar anda. Tujukan kepada sebuah grup dalam kumpulan pendengar, gerakkan mata dan kepala anda sebagaimana anda memberi perhatian kedalam tiap bagian dari jemaat. Dengan doa selama beberapa detik untuk setiap segmen, anda berikan secara individu sebuah perasaan bahwa anda sedang berbicara pribadi dengan mereka.

Keempat, lihat kearah seorang individu diantara orang-orang. Lihat ke dalam mata pendengar. Jika anda tidak terbiasa melakukan hal ini, mungkin akan terasa sulit untuk yang pertama kalinya. Tetapi bertahanlah dengan hal itu, dan sifat malu-malu ini akan segera padam. Sebuah perhatian yang terperinci didalam menyampaikan kotbah akan memberikan keuntungan yang besar.

Pengkotbah secara khusus harus berhati-hati untuk menekankan kontak mata ketika sesuatu terjadi untuk memecahkan perhatian. Jika sebuah keributan datang berasal dari arah luar jangan beri perhatian yang lebih kearah hal itu dengan memberi pandangan terus-menerus. Konsentrasilah kepada jemaat dan mereka akan tetap focus saat anda melanjutkan kotbah anda.

Jika ada suatu gangguan dari arah pendengar (seseorang yang terkena serangan jantung, seorang bayi yang mulai menangis, seseorang yang sedang berjalan dilorong bangku) saya selalu melihat dengan sesaat. Saya melanjutkan kotbah dalam arah yang lain dan orang-orang mengikuti arah mata saya. Jika saya melihat, mereka melihat. Jika saya berpaling, mereka berpaling. Jika saya kelihatan terganggu, mereka akan gelisah.  Biarlah pendeta mempertahankan ‘ketenangannya” dan melanjutkan kotbahnya.

Lihat kearah jemaat dan bukan kepada sebuah gulungan atau garis besar kotbah, pengkotbah dapat menyerahkan dirinya sendiri  kepada pimpinan Roh Kudus. Sesuatu mungkin perlu untuk dirubah didalam kotbah; sesuatu mungkin perlu untuk ditekankan secara khusus. Bebaskan diri untuk mengikuti pimpinan Roh Kudus. Pengkotbah secara dapat secara berlipat menjadi penyampai pesan Allah bersama dengan pesan Allah pada saat itu.

Percayakan kepada Allah ingatan yang telah anda doakan dan persiapkan untuk disampaikan. Allah akan melihat anda dengan sungguh-sungguh. Allah tidak akan membiarkan anda. Ini merupakan pesanNya. Jika jiwa kita dipenuhi dengan sebuah tujuan surgawi, maka secara otomatis kita akan menghantarkan hal itu.  Kita tidak menyimpan ingatan tentang nama anak-anak kita. Kita mengetahuinya. Begitu juga dengan kotbah kita, jika ia merupakan bagian dari kita maka kita akan mengetahuinya.

Bagaimanapun, biarkan saya menambah catatan ini. Banyak dari pengkotbah besar pada awal keristenan berkotbah dengan memakai catatan. Beberapa dari mereka memiliki bahkan kotbah yang masih dapat dibaca, mereka menyampaikannya dengan pikiran yang terdapat dalam sebuah manuskrip. Seperti Jonathan Edward, bahkan dapat dibaca kuasanya, kotbah “penghukuman jiwa”,  Sinners in the Hand of Angry God.

Berikut ini adalah daftar dari beberapa pengkotbah  dari abad mula-mula hingga zaman modern, yang disusun dari bagaimana cara mereka berkotbah.

1. Mereka yang membaca (berkotbah) dari sebuah mnuskrip yang penuh diambil kedalam mimbar. Philiph Brooks, Horace Bushnell, Thomas Chalmers, Jonathan Edwards, Harry Emerson Fosdick, John Henry Jowett, Peter Marshall, John Henry Newman, Paul Rees.

2. Pengkotbah yang mengingat kotbah mereka: Ernest T. Campbell, Timothy Edwards, Billy Sunday, Alexander Maclaren, J. Vernom McGee, Dwight L. Moody, Wilbur Smith, John Stoot, Salomon Stooddard.

3. Pengkotbah yang menyampaikan kotbah mereka tanpa catatan; Henry Bast, Charles G. Finey, Harry Ironside, Charles W. Koller, Robert G. Lee, Clarence E. Macartney, George Herbert Morrison, Harold  Ockenga, Alan Redpath, T.W. Robertson, Ralph Sockman, Charles W. Spurgeon., George Whitefield.

 

Sebagaimana terlihat dalam bacaan, tidak hanya ada satu cara untuk berkotbah. Pengkotbah yang sukses luarbiasa menggunakan setiap pendekatan yang mungkin untuk membuat kotbah mereka melintas. Biarlah setiap orang dipenuhi keinginan di dalam hatinya, bagaimana dia merasakannya adalah yang terbaik baginya untuk melakukannya. Di dalam opini saya, bagaimanapun, manusia Allah akan jauh lebih efektif di dalam mimbar jika dia berkotbah dengan sebuah Alkitab di tanganya tanpa mengambil waktu yang panjang dalam mempelajari catatannya.

 

 

Emosi Didalam Kotbah

 

Biarlah seorang pendeta tidak takut mengeluarkan emosi didalam kotbahnya. Kefasihan lidah yang sejati mengalir keluar dari perasaan yang palaing dalam. Jonathan Edward berseru kepada emosi-emosi. Dia percaya bahwa hasrat merupakan gerakan pertama dalam hidup. Dia tidak takut untuk berseru kepada naluri dasar dari rasa takut. Cinta, pengharapan, kebebasan, keamanan. Dia percaya kalau seorang manusia digerakkan oleh kasih yang dia miliki dengan sifat alami yang lamban. Dia berkata,”Ambillah semua cinta dan kebencian, semua harapan dan rasa takut, semua kemarahan, semangat dan hasrat kasih, dan dunia akan berada dalam sebuah ukuran yang tidak bergerak dan kematian; tidak akan hal-hal seperti aktivitas diantara manusia atau kesungguhan dalam pencarian apa saja.”

Jonatahan Edwards juga menulis,” Sebagaimana nafsu merupakan pegas pengantar panas, kepercayaan yang vital harus  bertahan dalam sebuah latihan dalam hal-hal ini.” Dia menggambarkan sukacita yang berkobar dari orang-oarang yang telah ditebus, berkat dari persekutuan dengan Kristus, kebahagiaan dari pengetahuan yang penuh tentang Allah. Dia juga menggambarkan kengerian dan terror dari neraka. Orang Kristen awal juga melakukan hal yang seperti ini.

Kotbah bukan merupakan sebuah essai untuk dibaca sebagai opini yang optimal, sebuah hal yang iseng-iseng untuk dipertimbangkan oleh orang-orang.  Ia merupakan sebuah konfrontasi dengan Allah yang mahabesar. Ia merupakan sebuah penyampaian dengan hasrat yang menyala-nyala, didalam otoritas dari Roh Kudus.

Seorang awam modern menulis, Orang-orang awam zaman sekarang sebuah emosi dengan semangat yang kuat di dalam agamanya. Dia cendrung menekankan intelektual. Hal itu kelihatan dalam tahun-tahun sekarang bahwa pengkotbah-pengkotbah muda memulai untuk menempatkan emosi yang kurang dan menekankan intelektual. Kotbah-kotbah yang ditekankan tidak lebih dari sebuah kotbah melainkan bersifat pelajaran. Hal yang menekankan tentang kita yang harus dilahirbarukan dalam kepercayaan sudah menghilang. Kita sudah berhenti menyanyikan ada kuasa yang bekerja luar biasa di dalam darahNya dan memakai menyanyikan beberapa lagu baru dengan jenis yang berbeda dari pesan surgawi. Kita mulai tertarik dengan sesuatu yang orang-orang sehat sebagai injil sosial. Orang awam menyimak, mengakui dan pergi bermain golf di hari minggu.

Hari ini orang-orang awam butuh waktu untuk menangkap ulang suatu filsafat,”anda harus dilahirbarukan kembali, mereka butuh untuk dikobarkan dan digerakkan, mereka butuh agama sebagai sebuah obat yang ampuh. Di dalam kata-kata dari lagu popular, ia harus memiliki “hati”.

Lagi, dalam sebuah artikel saya membawa tulisan seorang penulis yang berkata,”Hal yang sangat menghawatirkan saya bahwa begitu banyak pengkotbah-pengkotbah muda yang merasa bahwa mereka harus berkotbah dalam sebuah ketenangan dan suara yang hikmat tanpa sebuah gerak, tidak pernah tersenyum, dan tanpa sebuah makna yang berubah. Ia akan menjadi sebuah kelegaan jika mereka dapat menggebrak mimbar walau hanya sekali.”

Abraham Lincoln pernah berkata,”Saya tidak menyukai kotbah yang pendek dan kering, saya suka melihatnya bereaksi sama seperti jika bertarung dengan sekerumunan banteng”.

Kata-kata yang kita kotbahkan dari mimbar kita harus sama seperti firman Tuhan itu sendiri, seperti sebuah api dan seperti sebuah palu yang menghancurkan kepingan-kepingan karang (Yeremia 23:29).

Anda tidak dapat membaca Perjanjian Baru tanpa sebuah perasaan bahwa para pengkotbah dialiri oleh sebuah kekuatan dari Injil dan membersihkan hati mereka dengan keajaiban dari penyingkapan yang luar biasa yang telah dilakukan terhadap kepercayaan mereka. Ada sesuatu yang salah jika seseorang mengisinya dengan berita-berita besar dari dunia yang dapat melestarikan kemandulan dan tumpul. Siapa yang akan percaya bahwa berita-berita yang menyenangkan yang dibawa oleh pengkotbah memiliki arti secara literal lebih dari hal-hal lain yang ada di dalam dunia jika mereka menggambarkannya tanpa semangat tanpa api atau sebuah serangan, dan jika orang itu sendiri bersikap apatis, tanpa inspirasi, diimbangi dengan kerohanian yang sekarat dalam kata-kata yang tak terucapkan oleh sikap yang ia sampaikan dalam kata-kata?

John Wesley mengucapkan dengan baik ketika dia menasihatkan,”Taruh apimu ke dalam kotbahmu atau kotbah-kotbahmu di dalam api”. Bagaimana mungkin hal itu bisa  bahwa seorang pelayan dapat berbicara tentang kondisi yang tragis dari orang-orang yang terhilang, tentang hidup dan kematian, surga dan neraka, waktu dan kekekalan dan sikap dingin dan acuh tak acuh? Respon pendeta terlihat dalam usahanya untuk mendatangkan dari orang-orangnya keputusan yang paling penting di dalam pengalaman manusia. Biarkan dia melakukan  pengakuan untuk hal-hal seperti itu dan dengan sepenuh jiwanya.

Robert Murray Mc Cheye, yang meninggal di awal abad dua puluh (dia sendiri mengobarkan dirinya untuk Tuhan), telah menimbulkan dampak sangat dalam terhadap Skotlandia dan terhadap kerohanian dunia. Seorang pengembara dari tempat yang jauh mengunjungi gerejanya di Dundee, Skotlandia untuk mendiskusikan rahasia pelayanan yang penuh kuasa dari pelayan muda itu. Ketika pengunjung itu tiba, ketempat pelayanannya, pendeta itu sedang pergi. Tetapi ada petugas yang berjaga di sana. Melihat raut yang kecewa dari wajah pengunjung tersebut, dia menanyakan orang asing tersebut alasan dari kedatangannya. Jawaban yang dikemukakannya adalah dia berusaha untuk menemukan rahasia dari kuasa pengkotbah muda itu. Penjaga itu menjawab ,”saya dapat menunjukkannya kepada Anda, mari ikut dengan saya” Dia mengajak  pengunjung tersebut ke ruang kerja pendeta,  lalu berkata,”Lihat kursi itu! Itu adalah kursinya. Duduklah di atasnya, sekarang taruh lengan Anda di atas meja, benamkan wajah anda kedalam kedua belah tangan anda, dan menangislah). Dia lalu mengajak sang pengunjung kearah mimbar ruang gereja, lalu berkata,”Naiklah keatas mimbar. Berdirilah disampingnya sekarang benamkan wajah anda kedalam kedua belah tangan anda dan menangislah.”

Hal ini tidak pernah tercatat dalam Alkitab bahwa Yesus pernah tertawa atau tersenyum tetapi mereka berbicara tentang tangisannya, manusia yang menderita dan bersentuhan dengan kedukaan. Dia mungkin tidak pernah menyebabkan rasa tertawa tetapi Dia penuh dengan air mata”(Terjemahan literal dari Yohannes 11:35). Paulus tidak pernah berbicara tentang kesembronoannya tetapi dia selalu terbuka dalam menunjukan air matanya. Untuk setiap orang yang tergerak oleh hal-hal yang besar tentang kehidupan dan kematian adalah tidak menunjukkannya dengan kelemahan atau sikap yang sentimen tetapi lebih dari itu yaitu menyikapkan jiwa yang digerakkan oleh keharuan terhadap rasa sakit dari orang-orang. Allah memberkati para pendeta yang memiliki rasa peduli yang cukup untuk menangis.

Kadang-kadang saya berpikir bahwa hal itu merupakan alasan mengapa bioskop-bioskop begitu popular dan opera sabun di televisi secara universal menampilkanya karena orang-orang dapat mengikuti cerita dari kedukaan manusia, tangisan, dan tidak seorangpun disana yang malu terhadap kelemahan mereka.Tetapi jika kita dapat menangis terhadap fiksi murahan, mengapa kita menjadi kritis terhadap hati yang terbeban yang menangis terhadap kesusahan tempat tinggal, rumah, anak-anak atau jiwa-jiwa? Hal itu sama sekali tidak masuk akal.

Suatu hari yang lain saya memungut sepotong litertaur dari sebuah perusahaan dagang yang disebarkan kepada para salesnya. Hal-hal yang saya baca dalam buletin kecil itu sangat mengherankan. Beberapa dari kalimatnya adalah seperti ini: “Memohon kepada emosi sebagaimana kamu bisa. Logika mungkin dapat meningkatkan alasan-alasan untuk membeli sesuatu, tetapi emosi menyediakan dorongan (tanda kutip dibawah sebuah gambar dari sebuah jendela toko yang dipenuhi oleh beberapa anak kucing, sebuah tanda di atasnya berikut, kita kesepian, bukankah begitu? Dan sebuah bocah kecil berdiri disamping ibunya membawa anak-anak kucing tersebut di lengannya, tersenyum dari telinga ke telinga)”. Kalimat yang lain berbunyi “Jika logika mendikte kebiasaan para pembeli kita, perusahaan rokok akan berhenti berusaha, nigh clubs akan tutup pada pukul 10.00 malam, dan para wanita tidak akan memakai sepatu hak tinggi”. Yang lain juga berbunyi : “Seseorang mungkin butuh sepasang sepatu tetapi menginginkan Wishkey, sebelum anda sukses dalam membuat seseorang untuk memiliki kebutuhan terhadap sepasang sepatu , semua logika yang baik mengenai mengapa fakta-fakta bahwa sepasang sepatu lebih baik harus disingkirkan terlebih dahulu.”

Ini bukan sifat kepahlawanan dari emosi? Ini bukan kasih emosi dari seorang ibu? ini bukan emosi kasih perkawinan yang sesungguhnya? Saya benci untuk berpikir bahwa seorang pengikut yang menikah tidak pernah mengetahui bagaimana untuk “jatuh cinta”, tetapi membawa seorang gadis altar hanya didasarkan atas rasa tidak tertarik, dan logika perseorangan. Saya takjub, jenis anak bagaimana yang menjadi ayah bagi computer?

Pendeta, jangan takut dengan gerakan yang ada di dalam hatimu bagi orang-orang. Yesus melakukannya. Paulus melakukannya. Pengkotbah yang besar telah melakukannya. Ini merupakan mata air kehidupan.

 

Gembala dan Pertemuan Doa

 

Ada sebuah perbedaan besar didalam cara para pendeta dalam mengatur pelayan doa tengah minggu dibandingkan dengan arena-arena yang lain dalam kehidupan gereja. Beberapa orang yang membuat sebuah pertemuan yang besar, pertemuan untuk memenangkan jiwa dari jemaat-jemaat. Mereka membuat pelayan yang semarak dengan paduan suara, orkestra, khotbah, kunjungan dengan semua unsure-unsur pelayan yang terlihat dalam ibadah minggu pagi. Pendeta memimpin orang-orangnya kepada pengalaman tengah minggu yang telah mereka percayakan. Mereka membuat satu jam yang penuh dengan “Satu jam yang penuh kuasa”

Banyak pendeta secara sederhana membiarkan pelayan doa tengah minggu menemukan tingkatan-tingkatan tersendiri dimana bagian yang paling banyak, berbunga dengan sangat lamban. Seseorang berkata bahwa anda dapat pergi kegereja pada hari minggu pagi dan memberitahukan betapa populernya pengkotbah, pergi kegereja pada minggu malam dan melihat betapa populernya gereja, pergi kegereja pada hari rabu malam dan melihat betapa populernya Kristus. Ada kebenaran didalam penilaian itu. Tidak banyak orang yang memiliki keinginan untuk berdoa, sekalipun doa merupakan komunikasi jiwa dengan Tuhan dan merupakan dasar dari semua kekuatan kita di dalam injil. Ya Allah, betapa pentingnya bagi kami untuk berdoa!

Di sini ada tujuh hal yang saya pikir seorang pendeta harus mencoba untuk mewujudkanya dalam pelayanan doa.

  1. Seorang pendeta harus memimpin pelayanan dan berusaha untuk membuat hal itu dapat menolong orang-orang.
  2. Bagian-bagian dari program harus disusun secara hati-hati, sama seperti dalam pelayanan ibadah minggu pagi
  3. Pertemuan harus memiliki waktu yang diatur dengan tepat
  4. Untuk semua bagian, pembagian dan pelayanan harus dilakukan secara bergilir
  5. Pendeta harus meminta dengan tegas atas keberanian untuk terbuka dan saling berbagi, baik dalam kesaksian, campur tangan pengantara, nyanyian atau hal-hal lain.
  6. Dalam pelayanan harus dihindarkan kesamaan, pengulang-ulang, dan hal-hal monoton.Usahakan pertemuan yang bervariasi. Kebosanan akan membunuh setiap pelayanan.
  7. Pendeta harus membebaskan pelayanan tengah minggu dari semua kekakuan, formalitas dan perbedaan individu. Biarkan semua hal-hal dari pertemuan itu berlangsung seperti sebuah rumah dari anak-anak Allah  didalam rumah Bapa.

 

 

Dari pengalaman pribadi, saya dapat mengingatkan teman-teman pendeta saya bahwa pelayanan doa tengah minggu merupakan waktu yang luar biasa untuk mengajarkan ketentuan dari firman Tuhan. Allah akan memberkati tiap-tiap pendeta dengan hal-hal yang luar biasa, hasrat hati pendengar yang mana jiwanya tercurah untuk mempelajari kitab suci (Lukas 24:32).