Daftar Isi

PENETAPAN ORDINANSI-ORDINANSI

(Administering the Ordinances)

 

Oleh: Dr. W. A. Criswell

Alih bahasa Wisma Pandia, Th.M.

Editor: Dr. Eddy Peter Purwanto

 

Observasi Umum tentang Ordianansi-Ordinansi Gereja

 

Arti dari Kata Ordinansi

 

Kata ordinansi, sebagaimana yang kita gunakan sebagai sebuah terminologi dalam gereja, menunjuk kepada upacara gereja yang ditetapkan oleh Tuhan Yesus Kristus. Atas kuasaNya dan institusiNya dan mengikuti praktek yang dilakukan oleh para rasul, kita menerima ordinansi gereja dari Dia dan tangan mereka yang penuh kasih. Kata ordinansi dalam Perjanjian Lama menggambarkan sesuatu yang menentukan, menjadikan, dan selalu merujuk kepada suatu ritual. Sebagai contoh, menurut Keluaran 12:14, Paskah telah menjadi “sebuah ordinansi untuk selamanya”, hal itu merupakan sebuah institusi yang permanen. Kata ordinansi dalam Perjanjian Baru merupakan sebuah terjemahan dari empat bahasa Yunani yang berbeda. Meskipun tidak secara teknis merujuk kepada dua ordinansi dari baptisan dan Perjamuan Tuhan, saya suka menerjemahkan dari kata Yunani paradosis dalam 1 Korintus 11:2. “Sekarang aku memuji kamu, saudara-saudara, bahwa kamu mengingat aku dalam segala hal, dan memegang ordinansi, sebagaimana aku mengantarkan mereka kepadamu.”  Hal itu yang harus kita lakukan, dengan sungguh-sungguh, alkitabiah dan terus-menerus.

 

Jumlah Ordinansi dalam Perjanjian Baru

 

Menurut ketetapan Kristus Yesus dan dengan teladan dan paktek para rasul, jumlah dari ordinansi dalam gereja Perjanjian Baru hanya ada dua. Penjelasan tentang ordinansi ini adalah, (1) ini harus menjadi symbol lahiriah yang bersifat ilahi yang ditetapkan untuk menggambarkan sebuah fakta yang agung dan kebenaran dari Injil dan hubungan pribadi orang-orang percaya kepada fakta dan kebenaran itu, dan (2) harus ada sebuah mandat ilahi yang menjadi dasar ketaatan dalam melaksanakan upacara ini, secara universal dan secarara berulang-ulang. Kedua kriteria ini sederhana dan dengan jelas digambarkan dalam baptisan dan Perjamuan Tuhan. Hanya dua ordinansi itu yang diterima dan dipraktekkan dalam gereja Perjanjian Baru.

 

Otoritas untuk Melaksanakan Dua Ordinansi

 

Kedua ordinansi dilaksanakan oleh otoritas dari gereja. Mereka tidak menjadi milik badan pembuat hukum atau pengadilan atau kongres atau untuk kehakiman,  atau untuk dewan kota. Mereka menjadi milik gereja dan untuk dipertahankan serta dilaksanakan hanya oleh gereja. Oleh sebab itu, validitas dari ordinansi tidak bergantung atas karakter pribadi yang memimpin (sekalipun kita harus selalu berdoa agar dia menjadi  seorang pelayan Injil yang baik dan suci). Ordinansi bukan milik seseorang. Itulah sebabnya mengapa jika seseorang dibaptis oleh  seorang hamba Tuhan yang mana kemudian orang ini berbalik menjadi seorang penyesat, baptisannya tidak menjadi tak berlaku lagi. Baptisan bukanlah milik seseorang, juga otoritas pelaksananya tidak terletak pada hamba Tuhan yang membaptiskannya. Itulah sebab itu gerejalah yang harus menerima atau menolak kandidat baptisan, bukan seseorang, juga bukan hamba Tuhannya. Bahkan Simon Petrus tidak otoritas pada dirinya sendiri untuk menerima atau menolak para calon peserta yang mau dibaptis. Dalam Kisah Rasul 10:46-47 rasul terbesar pertama kali bertanya, “Bolehkan orang mencegah untuk membaptis orang-orang ini dengan air, sedangkan mereka telah menerima baptisan Roh Kudus sama seperti kita?”

Hanya di bawah kepemimpinan langsung Roh Kudus, Filipus sebagai seorang diaken-penginjil yang ditahbiskan dari gereja induk di Yerusalem membaptis sida-sida dari Etiopia dalam Kisah Rasul 8. Ordinansi adalah ordinansi gereja, dilaksanakan oleh mereka yang diutus keluar oleh Roh Kudus dari gereja hingga ujung bumi.

 

Simbolik, Bukan Saluran-Saluran Sakramental dari Anugrah

 

Karena mula-mula Injil diberitakan kepada para penyembah berhala, kemudian konsep penyembahan berhala ini mempengaruhi pemahaman beberapa orang tentang ordinansi gereja ini, sehingga dua ordinansi dipandang sebagai upacara yang mendatangkan sesuatu yang bersifat magis pada abad pertama Kekristenan. Kemudian arti dari dua ordinansi ini disimpangkan dengan diajarkan bahwa keduanya adalah dua upacara yang mendatangkan berkat keselamatan. Sakramentalisme ini manjadi sebuah senjata yang berkuasa di tangan klergi atau para pemimpin gereja untuk menguasai orang-orang, dan kelompok yang menentangnya diancam dengan pengucilan dan penghukuman. Sakaramentalisme pernah menjadi sebuah kutukan bagi pemberitaan Injil sejati.

Ordinansi bukan merupakan sakramen, itu bukan alat-alat dan saluran-saluran anugrah keselamatan. Ordinansi merupakan simbol dan secara nyata menggambarkan sesuatu yang vital, yaitu pusat kebenaran Injil. Ordinansi baptisan menggambarkan kematian kita terhadap dosa dan kebangkitan kita untuk memiliki hidup yang baru di dalam Kristus. Baptisan adalah penguburan dan kebangkitan (Roma 6:3-5). Kristus mati untuk dosa-dosa kita menurut Kitab Suci. Dia telah dikuburkan, dan pada hari yang ketiga Dia telah bangkit menurut Kitab Suci (1 Korintus 15:1-4). Paulus berkata bahwa itulah Injil. Kita telah mati bersama Kristus, kita telah mati untuk dunia. Kita yang dahulu mengikuti bujukan dunia yang mencengkram kita telah dikuburkan bersama Kristus. Kita telah bangkit bersama Kristus untuk memiliki hidup yang baru, berkemenangan, dan telah dibangkitkan. Semua hal ini disimbolkan dalam baptisan kita. Tidak ada kemujaraban sakramen dalam semua upacara itu.  Ini murni suatu simbolik, sebuah gambaran.

Perjamuan Tuhan menggambarkan penebusan Kristus sebagai satu-satunya alat dari pembenaran kita (Allah menerima kita sebagai orang benar) dan satu-satunya yang medatangkan kehidupan baru yang kita miliki di dalam Krsitus. Tidak ada unsur magis di dalamnya. Secara nature Perjamuan hanya suatu peringatan (1 Kor. 11:23-26). Itu adalah untuk “mengingatkan secara terus-menerus,” menggambarkan, mendramatisir, pengorbanan dan kematian Tuhan kita di atas kayu salib.

Takhyul adanya kekuatan magis ketika seorang imam mendoakan roti dan anggur yang katanya benar-benar berubah menjadi tubuh yang nyata dan darah Yesus merupakan sebuah perkembangan pemikiran yang berlebihan. Ketika anak-anak mengangkat tangannya ke atas sesuatu agar sesuatu yang ditumpangi tangan itu berubah, biasanya mereka mengucapkan kata, “hocus –pocus.” Dari mana mereka mendapat kata-kata seperti itu? Mereka memperoleh kata-kata itu dari imam gereja yang mereka pernah dengar berkata dalam bahasa latin, Hoc est corpus, yang biasa para imam ucapkan ketika mereka menumpangkan tangan magis mereka ke atas baki roti dan cawan anggur. Suatu kekuatan magis yang ajaib terjadi! Tanpa ragu anak-anak mengambil kata-kata itu dan menirukan apa yang dilakukan oleh imam yang tidak masuk akal itu!

 

Tepat sekali, lalu, apa yang Kristus maksudkan ketika Dia berkata, “Inilah tubuhKu” dan “Inilah darahKu”? Tentu saja bukan benar-benar tubuh dan darah-Nya dalam arti literal, karena Dia sendiri yang berdiri di sana di hadapan mereka di dalam daging ketika Dia mengeluarkan kata-kata itu. Secara sederhana dan dengan jelas kita mengetahui apa yang Dia maksud. Dia bermaksud, “Roti ini, yang sangat rapuh dan gampang hancur, menggambarkan tubuhKu,” dan “Buah dari anggur ini, berwarna merah dari buah anggur yang telah diperas, menggambarkan darahKu.” Persis seperti berikut inilah yang sesungguh terjadi:

 

Salah seorang dari anggota jemaat kami yang kaya mengundang saya datang ke rumahnya yang mewah. Ketika kami berdiri di ruangan perpustakan yang indah yang terbuat dari papan kayu walnut, saya melihat sebuah gambar yang berbentuk oval dari seorang gadis yang memakai busana zaman dulu di dinding.  Dia menunjuk ke arah gambar tersebut dan berkata, “Itu ibu saya.” Lalu dengan menjatuhkan air mata dia melanjutkan: “Saya tidak pernah melihat dia. Dia meninggal ketika melahirkan saya. Suatu hari nanti, ketika saya pulang ke sorga, setelah melihat Juruselamat saya,  saya ingin bahwa yang pertama kali saya lihat adalah wajah Ibu saya. Sorga akan menjadi sorga karena dia ada di sana.” Lalu dia berbicara dengan air mata yang tumpah ruah ketika dia menunjuk ke arah wanita yang memakai busana zaman dulu pada gambar itu.

 

Saya dapat berseru, “Itu ibu Anda? Itu bukan apa-apa, itu hanya sepotong kertas dan kertas karton yang berisi tinta! Mengapa Anda harus menangis tersedu-sedu seperti itu dan dengan konyol berkata, ‘Itu ibu saya.’” Saya tidak melakukan itu. Saya mengerti apa yang dia maksudkan. Dia sebenarnya ingin berkata, “Gambar itu merepresentasikan ibu saya. Saya tidak pernah melihat dia, tetapi suatu hari nanti di surga saya akan melihat dia muka dengan muka dan mengasihinya  dengan segenap hati saya, karena ia telah memberikan hidupnya untuk saya.” Persis seperti itu apa yang dilakukan oleh Tuhan Yesus kita. Ini tubuhNya dan ini darahNya, dan roti serta anggur itu menggambarkan Tuhan kita yang terkasih, hingga suatu hari yang sangat indah kita akan berjumpa dengan Dia di surga, ketika kita berjumpa dengan Dia muka dengan muka dan berterimakasih kepadaNya karena telah memberikan hidupNya untuk kita.

Tidak ada sakramen yang bersifat magis di dalam ordinansi. Ketika kita menjalankannya, kita membuat sebuah pengakuan iman pribadi di dalam kebenaran rohani yang kedua ordinansi itu simbolkan. Ketika seseorang telah dibaptis, itu berarti bahwa dia telah memberikan dirinya kepada Allah di dalam iman untuk pengampunan atas dosa-dosanya dan regenerasi bagi jiwanya. Jika seseorang mengambil bagian di dalam Perjamuan Tuhan, itu berarti bahwa dia percaya bahwa Kristus telah membuat suatu karya penebusan yang cukup untuk dosa-dosanya. Oleh sebab itu, ordinansi-ordinansi ini bukan sesuatu yang bersifat magis, ordinansi-ordinansi itu tidak bersifat rahasia, alat-alat yang misterius, atau saluran-saluran yang mendatangkan berkah keselamatan bagi orang yang menerimanya. Lebih dari itu, ordinansi-ordinansi itu merupakan gambaran yang hidup dari sesuatu yang vital, dinamis,  fakta-fakta utama dan kebenaran-kebenaran dari Kekristenan, dan ketika orang-orang percaya menerima ordinansi itu, dia sedang membuat sebuah pengakuan iman pribadi tentang doktrin yang agung yang digambarkan oleh ordinansi-ordinansi tersebut. ordinansi-ordinansi  itu merupakan simbol lahiriah dari arti rohaniah, suatu pengalaman bersekutu bersama  dengan Kristus Juruselamat kita.

 

 

 

Pelaksanaan Ordinansi Baptisan

 

Baptisan Merupakan Ikrar dari Kesetian Kita terhadap Kristus

 

Baptisan adalah perintah dalam Amanat Agung (Mat. 28:19-20). Merupakan tindakan pertama di depan umum dari seorang percaya dalam pengakuan imannya di dalam Kristus.  Biasanya itu menjadi pintu masuk menjadi anggota gereja lokal yang kelihatan. Itu adalah ordinansi yang pertama (Kis. 2:41; Kis. 8:12; 1 Kor. 12:12-14; 1 Pet.3:21).

Memberi diri dibaptis adalah kewajiban seorang pribadi untuk menjadi bagian dari orang-orang percaya dalam memberitakan Kristus yang harus dilaksanakan oleh jemaat. Gereja Perjanjian Baru yang benar adalah pergi memenangkan jiwa, membaptiskan, dan mengajar. Berkotbah, menginjil dan membaptiskan orang-orang yang telah menjadi percaya merupakan bagian dari Amanat Agung. Kita disatukan oleh Roh dalam penyembahan kepada Allah dalam pujian, dalam ucapan syukur, dalam doa dan dalam pemberitaan pesan keselamatan dari Kristus untuk segala mahkluk. Kita bergabung bersama di dalam tubuh Tuhan kita untuk memperoleh pengajaran, untuk pertumbuhan rohani, dan saling membantu satu sama lain. Itu merupakan sesuatu yang agung, mulia, luar biasa. Itu merupakan hari yang sangat berarti bagi kita, ketika kita dibaptiskan ke dalam tubuh Kristus, menjadi mempelai perempuan dan jemaat dari Tuhan kita.

 

Penerimaan Calon Baptisan

 

Ketika seorang percaya maju ke depan di hadapan jemaat untuk menerima Kristus sebagai Juruselamatnya, dia selanjutnya diperkenalkan kepada jemaat sebagai seorang kandidat atau calon orang yang akan dibaptiskan (Kis. 11:47; Kis.2:41; Kis. 8:36-39). Dia lalu memperoleh surat ini:

 

SAHABAT DI DALAM KRISTUS

 

Kami sangat bersukacita bersama dengan Anda dalam keputusan yang telah Anda buat untuk mengikuti Tuhan kita dalam baptisan orang percaya. Ketaatan Anda pada perintah Kristus akan menjadi sebuah berkat bagi Anda, dan bagi kami sebagaimana kita melaksanakan kembali gambaran dari kematian, penguburan dan kebangkitan Tuhan kita.

Ordinansi baptisan dilaksanakan setiap minggu pada pukul 6:30 sore. Ini dilakukan sebelum ibadah malam yang dimulai pada pukul 7:00 malam. Komite baptisan kami akan membantu Anda dalam persiapan untuk mengikuti ordinansi ini. Anda akan bertemu dengan komite dan dengan asisten pendeta untuk penjelasan terakhir mengenai rencana pelaksanaan ini dan berdoa pada pukul 6:00 sore di Grace Parlor, di lantai dasar dari Criswell Building. Anggota dari komite baptisan akan pergi bersama Anda ke ruang persiapan dan dengan penuh perhatian akan menyediakan setiap kebutuhan yang Anda inginkan selama waktu itu.

Anda hanya membutuhkan satu set pakaian pengganti, gereja menyediakan handuk dan jubah baptisan. Pengering rambut juga akan disediakan.

Kami melihat hal itu sebagai suatu kehormatan tertinggi dan keistimewaan dapat berbagi waktu yang menyenangkan ini bersama dengan Anda. Kami juga mendorong Anda untuk mengundang keluarga dan teman-teman untuk berbagi kesempatan yang khusus ini. Staf kami dan keluarga jemaat akan berdoa untuk Anda dan mendorong Anda dalam setiap cara yang dapat kami lakukan. Kami berdoa berkat Allah yang melimpah berada di atas Anda sebagaiamana Anda menggabungkan hidup Anda bersama kami untuk melayani Dia melalui persekutuan dari gereja ini.

                                                                                                                Sahabatmu yang setia,

 

                                                                                                                Gembala Sidang

 

Ketika orang itu meresponi surat ini, segala sesuatu telah siap untuk pelaksanaan ordinansi yang suci ini.

 

Bagaimana Membaptiskan dengan Indah

 

Pelayanan baptisan harus menjadi suatu hal yang indah dan upacara rohani yang mengesankan sekalipun itu dilaksanakan di anak sungai, atau sebuah sungai,  atau sebuah kolam atau tempat baptisan gereja. Saya telah membaptis selama bertahun-tahun di berbagai jenis tempat. Di suatu anak sungai atau sungai, saya akan berdiri di tengah-tengah alirannya dengan sebuah Alkitab yang terbuka, mengkotbahkan Injil kepada orang-orang yang berdiri di tepi sungai, lalu membuat sebuah permohonan kepada Kristus. Saya juga pernah melayani baptisan di bak baptisan gereja dan sambil memberikan dorongan kepada jemaat untuk memenangkan jiwa bagi Tuhan. Ordinansi merupakan sebuah pesan Injil itu sendiri.

Ketelitian harus diperhatikan dalam pelaksanaan ordinansi yang pernting ini. Jika dilaksanakan di sungai, kedalaman dan jalan yang akan dilalui ketika masuk ke dalam sungai harus diperhatikan. Jika pembaptisan dilaksanakan di sebuah bak pembaptisan di gereja, suhu air harus diperhatikan. Kedalaman air dalam setiap tempat harus diperhatikan sehingga membuat pembaptisan mudah dilakukan dan dapat berjalan dengan baik. Air yang terlalu dangkal juga akan membuat suatu pembaptisan dengan indah mustahil dilakukan. Lebih baik terlalu dalam daripada terlalu dangkal.

Di dalam melaksanakan ordinansi itu sendiri, kita harus bersungguh-sungguh dan tidak perlu tergesa-gesa dalam setiap kesempatan. Jika makna baptisan telah memenuhi jiwa seorang pengkotbah, dia akan secara otomatis membaptis sebagaimana dia harus membaptiskan. Baptisan merupakan sebuah symbol kematian, penguburan, dan kebangkitan. Ingatlah untuk merasakan hal itu, tata cara pelaksanaannya harus persis seperti kita menguburkan orang mati. Kita tidak melemparkan orang yang kita kasihi ke dalam kuburan. Kita dengan hati-hati dan dengan lembut meletakkan mereka ke dalam kuburan. Sejak baptisan merupakan sebuah penguburan, kita juga harus membaptiskan calon baptisan kita dengan cara itu. Kita seharusnya tidak melemparkan mereka ke dalam air, atau mencemplungkan ke dalam air begitu saja. Sebaliknya kita harus penuh kasih dan dengan lembut membenamkan mereka ke dalam air, dan membangkitkan mereka ke atas dalam kemenangan yang mulia.

Di dalam bak baptisan kami memiliki sebuah palang yang dilas ke lantai. Para calon baptisan menempatkan kakinya di bawah palang itu. Hal ini akan membantu mereka berdiri kembali dengan benar dan untuk menjaga posisi yang lurus sama seperti ketika dia dibenamkan ke dalam air.

Saya meminta orang percaya itu untuk menyilangkan tangannya di atas dada ketika saya berdoa, lalu dengan satu tangan di atasnya, saya meletakkan tangan yang lain dipunggungnya, memasukkan tangan saya ke atas melalui lehernya ketika dia turun ke dalam air, meletakkan tangan saya yang lain di atas wajahnya (tentu saja menutup hidungnya) untuk sesaat ketika dia dibenamkan di bawah permukaan air lalu membangkitkanya sambil meminta dia mendorong kaki kanannya untuk membantu mendorong tubuhnya ke atas. Saya tidak menggunakan sebuah sapu tangan atau sebuah handuk di dalam upacara itu untuk menutup wajah. Saya tidak dapat membayangkan Yohanes Pembaptis melakukan hal yang sama atau Yakobus, Petrus, Paulus atau anda.

Formula doa yang saya doakan sebelum pembaptisan sangat sederhana. Sangat bervariasai dalam berbagai kesempatan, tetapi substansi utamanya selalu sama. Seperti hal ini: “Untuk mentaati Amanat Agung Tuhan kita Yesus Kristus dan atas pengakuan terbuka yang tanpa rasa malu Anda mengakui iman Anda di dalam Dia sebagai Juruselamat pribadi Anda, maka saya membaptiskan  Anda, saudaraku—atau saudariku (lalu saya sebutkan namanya)/didalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” Kadang-kadang saya akan berkata pada saat permulaan, “Mengikuti teladan Tuhan kita Yesus di sungai Yordan, dan atas pengakuan iman Anda.” Kadang-kadang saya akan berkata, “Dan telah ditetapkan untuk seterusnya di hadapan semua mata kita, penguburan dan kebangkitan dari Tuhan Yesus.” Kadang-kadang saya akan berkata, “Kita telah dikuburkan bersama Tuhan kita di dalam kesamaan dari kematianNya dan kita telah dibangkitkan bersama Tuhan kita di dalam kebangkitanNya.” Tetapi tata caranya selalu Adalah (1) dalam ketaatan, (2) atas pengakuan iman, (3) dan di dalam nama dari Allah Tritunggal.

 

Pengajaran dan Pendewasaan setelah Baptisan

 

Apa yang kita lakukan terhadap calon baptisan setelah dia dibaptiskan merupakan hal lain, dan yang terjadi dalam kebanyakan pendeta dan kebanyakan gereja adalah sungguh tragis. Seringkali kita “mencelupkan dan kemudian membuang mereka” dan membiarkan mereka pergi. Kita perlu mengingat bahwa baptisan merupakan upacara penerimaan. Yang pertama dan yang paling awal. Tempat pemberhentian dari jalan pengembara, dan hal itu paling tidak menjadi tanggung-jawab gereja untuk mengajar, untuk melatih, untuk mendewasakan, untuk menolong, untuk mendorong, untuk melihat bahwa ini adalah apa yang Tuhan maksudkan kepada pendeta dan gereja untuk tidak mengabaikan “salah satu yang paling kecil ini.” Pengajaran dan pelatihan gereja merupakan hal yang sangat vital sama seperti tugas gereja untuk menginjil dan bersaksi.

 

 

Pelaksanakan Ordinansi Perjamuan Tuhan

 

Perbedaan antara “ Layak” dan “Kelayakan” dalam Diskusi Paulus

 

Membaca diskusi Paulus dalam pelaksanaan Perjamauan Tuhan di jemaat Korintus (1 Kor. 11:17-34), kita semua makin bertambah sadar tentang betapa pentingnya seluruh proses pelaksanaan ordinansi ini: ordinansi ini harus dilakukan dengan suatu kelayakan, kebiasaan rohani yang efektif.  Oleh karena jemaat di Korintus tidak melakukannya “tanpa mengakui tubuh Tuhan,”  banyak diantara anggota mereka yang “lemah dan sakit” (ay.30) dan tidak sedikit yang meninggal. Betapa penting hal itu bagi kita untuk melakukannya dengan benar. Mengikuti ordinansi ini dengan cara yang tidak selayaknya berarti makan kutukan dan minum penghukuman.

Apakah Anda mengetahui penggunaan kata keterangan “tidak layak” dalam 1 Korintus 11:27 dan 29? Suatu kata keterangan yang memodifikasi kata kerja dan menunjuk kepada kebiasaan dari suatu hal. Paulus tidak menggunakan kata sifat “layak” yang mungkin menunjuk kepada kata benda, suatu pribadi.  Diskusi yang dibicarakan oleh rasul ini tidak berputar di sekitar kelayakan kita di dalam menghampiri meja Tuhan. Jika hal itu benar, maka tidak seorangpun dari kita dapat mengambil bagian; kita semua tidak layak sedikitpun di hadapan Allah. Kita terhilang, pendosa yang tak terampuni, kita patut dikasihani kerena kelemahan dan kebobrokan moral kita. Tetapi itulah alasan untuk Perjamuan yang menggambarkan penebusan yang kudus dari Juruselamat kita. “Akan tetapi Allah menunjukkan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Oleh karena kita tidak layak, karena kita tidak mengasihi, karena kita terhilang dan mati, maka Kristus datang untuk mencari dan menyelamatkan kita. Itulah sebabnya, dia menjadi dosa, kita menemukan pengharapan dan perlindungan di dalam Dia ketika kita mengambil bagian di dalam ordinansi yang kudus yaitu ambil bagian dalam pemecahan roti itu.

Ada salah seorang diaken dan guru Sekolah Minggu dalam jemaat saya tidak pernah mengambil bagian di dalam Perjamuan Tuhan. Ketika saya bertanya kepadanya mengapa demikian, dia menjawab, “Saya tidak layak, dan Alkitab berkata bahwa jika kita makan dan minum dengan tidak layak kita makan dan minum untuk penghukuman bagi jiwa kita.”  Dia telah tidak memahami arti dari pesan di dalam 1 Korintus 11 secara keseluruhan. Peringatan itu tidak mengacu kepada kelayakan pribadi kita sama sekali. Siapa yang diantara kita yang layak menerima kasih dan pengorbanan Tuhan kita? Diskusinya berhubungan dengan kebiasaan (kata keterangan, “selayaknya”) di dalam kita melaksanakan ordinansi. Jadi ini berhubungan dengan pelaksanaannya apakah dilakukan dengan benar dan sesuai dengan yang dikehendaki Tuhan.

 

Pengaturan Perjamuan Tuhan

 

Semua hal-hal fisik yang berhubungan dengan pelaksanaan Perjamuan Tuhan harus berada di tangan Diaken. Dengan cara demikian, ini sesuai dengan tujuan dari pentahbisan tujuh orang di dalam gereja induk di Yerusalem yang tercatat dalam Kisah Rasul 6:1-6. Rasul-rasul menugaskan mereka untuk berdoa dan melayani meja. Hal ini juga berarti untuk memperoleh dan menjaga dengan hati-hati nampan supaya tidak rusak, roti yang tidak beragi dan baki yang berisi beberapa cawan ( hal ini merupakan hal yang lama, waktu yang sangat lama sejak saya berada dalam sebuah gereja dimana seluruh jemaat meminum sampai habis dari sebuah cawan yang sangat besar). Persiapan dari seluruh elemen itu, pengaturan dalam menjaga nampan dalam meja Perjamuan Tuhan, dan perawatan mereka setelah peringatan selesai merupakan tanggung-jawab diaken.

 

 

Sebuah Makna Rohani dari Pelaksanaan Perjamuan Tuhan

 

Secara sederhana, ijinkan saya mengambarkan secara terperinci bagaimana kita melaksanakan ordinansi yang kudus ini.

Semua elemen ditempatkan di depan mimbar, di atas meja Perjamuan Tuhan. Di tengah-tengah meja dan tepat di depan pendeta mangkok air dengan lap di sampingnya. Di tengah dan sedikit dari sisi yang lain ada dua tumpukan nampan, roti yang tidak beragi, dengan baki utama dalam sisi yang lain yang berisi potongan roti yang belum dipecahkan yang tertutup dengan kain putih. Di sampingnya ada kendi perak dalam nampan perak dengan sebuah piala perak yang besar, kendi berisi perasan buah dari angggur. Di setiap ujung meja ada tumpukan nampan yang berisi cawan-cawan yang dipenuhi dengan jus anggur merah. Saya mengambil tempat di samping meja dengan seorang diaken yang duduk di sebelah saya dan diaken yang akan melayani duduk di depan altar di hadapan kami.

Pada permulaan pelayanan saya selalu membaca bagian dala 1 korintus 11:23-26, Paulus menjelaskan  permulaan ordinansi oleh Tuhan Yesus Kristus. Salah satu dari pendeta pembantu akan dipanggil untuk memimpin doa ucapan syukur, doa ekaristi. Saya kemudian membasuh tangan saya di dalam semangkuk air dan mengeringkannya dengan lap.

Kemudian membuka penutup nampan yang berisi roti, saya mengambil roti tidak beragi yang terbesar, memecahkannya dan menempatkannya dalam tumpukan nampan di atas meja di dekat diaken yang berada di sisi sebelah kiri saya. Saya melakukan hal yang sama dengan roti yang berada di tumpukan nampan sebelah kanan saya, setelah memecahkan roti yang paling atas, dekat diaken yang berada di sebelah kanan saya.

Ketika saya duduk, kedua diaken itu berdiri bersamaan dan para diaken yang duduk di depan altar datang ke depan menurut susunan yang telah diatur, dua orang demi dua orang. Secara simultan kedua diaken yang berada di sebelah kiri saya dan di sebelah kanan saya memerikan nampan roti kepada diaken yang maju ke depan. Dua demi dua, satu disisi lain dari gedung, diaken ini mengambil tempat dimana mereka bertugas dalam ruang gereja, menunggu hingga semua diakaen mengambil tempat mereka.

Lalu mereka membawa nampan-nampan itu ke arah jemaat dan setiap orang yang dapat mengambil bagian, mengambil sepotong dari roti yang telah dipecahkan, dan memegangnya di atas tangan mereka. Diakaen yang melayani akhirnya kembali ke depan, dua orang demi dua orang, mengembalikan nampan mereka kepada dua orang diaken yang berada di samping saya. Nampan-nampan kemudian diletakkan kembali ke tempat semula.

Diaken yang berada di samping saya melayani diaken yang duduk dibangku-bangku gereja di bagian depan. Lalu kemudian mereka melayani orang yang duduk di atas flatform. Kembali ke tempat semula, salah satu dari mereka meletakkan nampas ke atas tangan saya dan melayani kedua diaken yang berda di samping saya tersebut.  Lalu jemaat duduk dengan memegang roti yang ada di tangan mereka.

Pendeta lalu meminta semua jemaat untuk berlutut di hadapan Allah. Lalu kemudian kami bernyanyi bersama-sama:

 

                        Mari kita memecahkan roti bersama-sama di atas lutut kita,

                                Mari kita memecahkan roti bersama-sama di atas lutut kita;

                                Ketika aku terjatuh di atas lututku

                                Dengan wajahku melalui takhta anugrah,

                                Oh Tuhan, memiliki kemurahan atasku.

 

            Di atas lutut kami saya kemudian membaca 1 Korintus 11:24 seperti ini: “ Inilah tubuhKu, yang dipecahkan untuk kamu: ambil, makanlah…untuk mengingat akan Aku.” Setelah kami memakannya, saya lalu meminta jemaat untuk duduk kembali.

            Dengan cawan saya membaca kata-kata pengantar dalam 1 Korintus 11:25, “Demikian juga dengan kebiasaan yang sama Dia mengambil cawan.” Saya memanggil pendeta pembantu untuk memimpin ucapan syukur yang kedua (doa ekaristi). Diaken-diaken yang melayani datang ke depan, dua orang demi dua orang dan mengambil nampan yang berisi cawan lalu memberikannya kepada jemaat. Mengembalikan mereka ke depan sebagaimana mereka melakukannya dengan nampan-nampan yang berisi roti. Setelah semuanya dilayani, lalu saya menuangkan buah merah dari anggur itu ke dalam piala perak yang besar dari dalam kendi perak, lalu kembali meminta jemaat untuk berlutut kembali. Kami menyanyi untuk yang kedua kalinya:

 

 

Mari kita minum dari cawan bersama-sama di atas lutut kita,

                                                Mari kita minum dari cawan bersama-sama di atas lutut kita;

                                                Ketika saya terjatuh di atas lututku

                                                Dengan wajah yang melalui takhta anugrah,

                                                Oh Tuhan, bermurah hatilah kepadaku.

 

            Lalu saya membaca 1 Korintus 11:25, “Cawan ini adalah materai perjanjian baru yang dimateraikan oleh darahKu: perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku.” Setelah minum dari cawan, kami lalu duduk kembali.

            Kami menutup ibadah, menyanyikan sebuah himne sebagaimana yang Yesus dan para rasul lakukan dalam Matius 26:30. Kami bergandengan tangan melewati setiap lorong dari ruangan gereja, dan bernyanyi ”Terberkatilah kamu olehNya.” Ini merupakan sebuah pelayanan yang manis. Yang dilakukan dalam kelayakan penuh dan kebiasaan penghormatan terhadap Kristus yang kami tahu.

 

 

Kepercayaan Pribadi tentang Meja Tuhan

 

Ikuti saya untuk menuliskan beberapa keyakinan pribadi yang saya pegang di dalam hati saya tentang pelaksanaan dari ordinansi yang paling indah dan kudus ini.

1.      Di dalam opini saya yang sederhana, merupakan yang terbaik untuk melaksanakan Perjamuan Tuhan dengan pembicaraan yang sesedikit mungkin. Berbicara banyak selama pelaksanaan menghilangkan pesan Allah yang disampaikan kepada kita melalui symbol itu. Suatu ketika saya mengunjungi salah satu gereja yang terbesar di pusat kota, gereja yang terkenal di Amerika di mana pendetanya merupakan kepala rumah tangga dunia dalam komunitas Kristen. Di dalam mereka melaksanakan Perjamuan Tuhan, dia memiliki sebuah mikropon di samping kursinya dan dia berbicara serta berkata-kata dan berkotbah dan mengomentari ketika membaca seluruh ayat pengantar Perjamuan. Hal itu sangat membosankan bagi saya. Allah berbicara kepada kita di dalam simbol dari tubuh dan darah Kristus. Kita harusnya berdiam di hadapan Allah, mendengarkan suaraNya.

2.      Seberapa seringkah seharusnya Perjamuan Tuhan diadakan? Tuhan meninggalkan hal ini kepada kita. Dia hanya memerinthahkan, “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Dia datang” (1 Kor. 11:26). Jika, “memecah roti,” menunjuk kepada Perjamuan Tuhan (dan saya harap memang demikian), maka dalam Kisah Rasul 2:42, 46 orang Kristen pertama melaksanakan hal itu setiap hari. Kita tahu orang Kristen di Troas melakukan hal ini bersama dengan Paulus pada suatu hari Minggu (Kis. 20:7).  Rupanya, berdasarkan perkataan Tuhan Yesus, kita dapat melaksanakan Perjamuan sesering yang kita inginkan, sekali seminggu, sekali sebulan, sekali dalam empat bulan, bagaimanapun kita dipimpin oleh Roh dalam melakukan hal itu.

Di gereja kami, pelaksanaan Perjamuan Tuhan dilaksanakan sebanyak satu bulan sekali.  Kami melaksanakan hal itu pada malam hari. Kata Yunani deipnon dalam 1 Korintus 11:20 menunjuk kepada sebuah jamuan pada saat malam hari. Saya suka berpikir bahwa kata Perjamuan di dalam bahasa lain di dunia menunjuk kepada sebuah makan malam. Itu bukan sebuah sarapan, bukan suatu jamuan antara sarapan dan makan siang. Bukan makan pada saat tengah hari. Bukan sebuah jamuan teh. Ia merupakan sebuah jamuan makan malam, dan jamuan malam adalah makan pada saat malam. Selanjutnya Paulus menulis dalam 1 Korintus 11:23,” bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu ia diserahkan, mengambil roti.” Saya suka untuk melaksanakan Perjamuan pada saat malam hari. Tetapi pengecualian untuk orang-orang tua dan orang lain yang tidak dapat hadir pada saat malam hari, sekali dalam empat bulan, kami melaksanakan ordinansi saat ibadah pagi.

3.      Haruskan Perjamuan Tuhan menjadi bagian dari kebaktian Minggu atau haruskah Perjamuan dilakukan sendiri dalam suatu ibadah yang ditetapkan? Saya pikir hal itu tergantung kepada pendeta dan atas tatacaranya. Kami melakukan keduanya bersamaan. Kadang-kadang (bahkan kebanyakan waktu) kami melaksanakan Perjamuan setelah khotbah selesai dan seruan penginjilan dilakukan. Kadang-kadang seperti saat awal pelayanan saat Minggu ketika waktu untuk pelaksanaan empat bulan datang, kami melakukannya dengan terpisah. Tetapi kapanpun dan dimanapun, saya selalu membuat sebuah seruan untuk jiwa-jiwa sebelum kami mengambil bagian dalam suatu simbolik itu, dan Allah selalu berkenan pada permohonan itu dengan tuaian yang berharga.

4.      Haruskah kita menggunakan anggur yang difermentasikan atau jus anggur di dalam cawan. Ini merupakan sebuah hal yang sangat luar biasa bahwa di dalam empat bagian yang dimasukkan dalam Perjanjian Baru yang mencatat tentang pelaksanaan Firman Tuhan, tidak ada satupun yang menggunakan kata minuman keras (wine) (Mat. 26:26; Mark. 14:22-26; Luk. 22:19-20; 1 Kor. 11:23-26). Hal yang sangat luar biasa. Simbolnya digambarkan dengan warna merah, buah anggur yang diperas. Hal itu cukup.  Tidak ada poin yang menunjukkan bahwa hal itu merupakan hasil fermentasi.

5.      Bagaimana dengan pembagian dari orang-orang yang dapat ikut serta dan mereka yang tidak oleh mengambil bagian dalam perjamuan?

Sebagai seorang bocah kecil dari gereja kecil di pedesaan dimana saya tumbuh, pembagian dilakukan dengan dua cara. Pendeta akan berkata, “Sekarang bagi anda orang-orang percaya yang sudah dibaptis berdiri bersama dengan jemaat yang bangkit sementara yang lain akan tetap duduk.” Lalu orang-orang yang akan dilayani berdiri.  Yang lain tidak akan menerimanya. Atau pendeta akan berkata, “Sekarang semua orang percaya yang telah dibaptis yang telah berdiri baiklah bergeser ke sisi yang lain dari auditorium gereja dan yang lainnya bergerak ke sisi yang lainnya.” Lalu kemudian pendeta dan diaken-diaken melayani orang-orang dari mereka yang telah ditetapkan di sisi auditorium.

Tetapi meski sebagai seorang anak kecil, prosedur itu tampak salah bagi saya. Saya melihat ke arah orang-orang yang berdiri atau orang-orang yang duduk di sisi yang benar dari gereja, lalu saya melihat ke arah sisi yang tidak diijinkan mengambil perjamuan dan kadang-kadang hal itu terlihat bagi saya bahwa orang-orang yang berada dalam dalam kelompok yang tidak berhak mengambil perjamuan itu lebih baik dari orang-orang yang dianggap layak tersebut. Tanpa pengetahuan, tanpa pemahaman, dan tidak bertingkah laku dengan nuansa teologi yang disampaikan, saya telah diganggu dengan apa yang telah dilakukan oleh gereja kecil kami. Dan sekarang, saya sudah lebih dewsa, saya tidak mengubah pikiran saya  maapun saya tidak percaya bahwa pembagian seperti itu adalah benar. Biarlah Allah sendiri yang dapat memisahkan domba dari kambing. Biarkan Dia yang melakukan hal itu, bukan kita. Lalu biarlah kita berdoa bahwa kita akan berada di sisi kawanan domba Allah.

Apa yang harus kita lakukan, saya berpikir, adalah berkhotbah kebenaran sebagaimana yang Dia singkapkan kepada kita di dalam Kitab Suci, dan lalu mengikuti Roh Allah untuk melakukan pelayanan penghukumanNya. Secara sederhana dan secara empati Alkitab mengajar kita (Mat.28:19-20) perintah yang suci ini: pertama, kita harus diselamatkan; kedua, lalu kemudian dibaptiskan atas pengakuan iman; ketiga, kita selanjutnya melaksanakan hal-hal yang telah Yesus berikan kepada kita untuk kita jaga. Perintah sebagaimana yang diinspirasikan sebagai pendirian. Tidak ada orang percaya yang mengambil Perjamuan Tuhan. Tidak ada pribadi yang belum dibaptiskan akan mengambil Perjamuan Tuhan. Paulus akan menambahkan dalam 1 Korintus 11:17-20 bahwa tidak ada gereja yang terpecah belah layak dengan sungguh-sungguh mengambil bagian dalam meja Tuhan. Tetapi mengkhotbahkan kebenaran dengan sungguh-sungguh dan penuh doa, lalu jika pelayanan peringatan akan diumumkan untuk diadadakan, biarkan orang-orang dalam hati nurani mereka memutuskan apa yang harus dilakukan. Dengan kata lain, melaksanakan ordinansi dengan sendirian, mengundang hanya anggota jemaat yang memiliki pendirian yang baik untuk mengunjunginya.

 

 

Sebuah Meditasi Penutup tentang Kasih Terhadap Yesus

 

Hati saya menggerakkan saya untuk menutup bagian ini dalam ordinansi yang kudus dengan sebuah doa meditasi. O Tuhan, betapa kami membutuhkanMu! Dan betapa murah hatinya Engkau kepada kami yang miskin, orang-orang berdosa yang tidak layak!

Ketika kita dapat hadir pada malam tatkala Yesus dicobai di hadapan Sanhedrin, akankah kita berbicara untuk Dia? Jika kita berada dalam halaman pengadilan dari Prokurator Roma ketika Pontius Pilatus memutuskan Dia untuk mati, apakah kita akan membela Dia? Jika kita adalah salah satu dari murid-murid hidup pada zaman ketika  Ia disalibkan dengan begitu mengerikan itu, akankah kita bertahan di sisiNya di tengah-tengah orang-orang yang mencela dan menyalibkanNya? Atau kita akan menjadi sama seperti Petrus, mengutuk dan bersumpah bahwa kita tidak pernah mengenalNya, dan seperti murid-murid lainnya, meninggalkan dia dan melarikan diri untuk menyelamatkan nyawa kita sendiri?

Tuhan, Tuhan, maafkan kami. Apa yang telah kami lakukan?

Paku-paku yang telah menyalibkan Tuhan kita terbuat dari besi. Dan tombak yang menghujam lambungNya  telah ditempa di atas sebuah paron—dingin, tajam, mengerikan. Tetapi paku-paku dan tombak itu juga terbuat dari kebencian yang pahit, dosa yang tamak, permusuhan yang terbuka. Apakah saya juga menyalibkan Tuhanku, menancapkan paku-paku itu ke atas tangan dan kaki dan menombak lambungNya dengan tombak yang dingin itu? Bagian mana dari diriku yang memalu paku dan membuat tombak yang tajam yang menghancurkan dan mencabik tubuh Tuhan kita dan umatNya?

Oh Tuhan, ampunilah saya dan buatlah saya menjadi baru, jiwa yang diregenerasikan di dalam anakMu, Kristus Yesus. Betapa kami mengasihiNya! Betapa kami berhutang kepadaNya!

Pada masa yang lalu  (sekitar tahun 1100) seorang peziarah Kristen menulis sebuah himne bagi Tuhan Yesus dalam bahasa Latin. Himne itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Paul Gerhardt dan disusun menjadi sebuah musik oleh seseorang yang tiada ada bandingnya, J.S. Bach. Di dalam bahasa Indonesia kira-kira dibaca seperti ini:

 

O Kepala yang suci, yang kini terluka

Dengan kesedihan dan rasa malu yang membebani

Sekarang dikelilingi kehinaan yang penuh

Dengan duri yang menjadi mahkotaMu

Betapa pucatnya Engkau dengan penderitaan yang berat

Dengan luka siksa dan cemooh

Bagamanakah wajah itu dapat merana

Dengan sesuatu yang bersinar seperti dukacita!

 

Bagaimana Engkau, Tuhanku, begitu menderita

Semua tanpa tekanan untuk keuntungan orang-orang berdosa

Milikku, milikkulah pelanggaran itu

Tetapi Engkau yang mati menaggungnya

Tuhan, disini aku bersimpuh, Juruselamatku!

Disini aku dilayakkan menerima tempatMu

Melihat keatasku dengan kemurahanMu

Menjamin keselamatanku dengan anugrahMu

 

Bahasa Apa yang seharusnya kubawa

Untuk berterima kasih kepadaMu, sahabatku yang terkasih

Untuk kematianMu yang menderita,

Kasih kasayangMu tanpa akhir?

O, buatlah aku milikMu selamanya

Dan haruskah aku menjadi pingsan

Tuhan, jangan pernah biarkan saya, jangan pernah

Hidupkanlah selamanya kasihku kepadaMu!

 

Allah menjamin hal itu, Tuhan, sebagaimana kami memecahkan roti bersama-sama, memuji Engkau bersama-sama, mencintai Engkau selamanya dan selama-lamanya. Amin.