Daftar Isi

 

BERMEGAH DALAM SALIB

(THE GLORY OF THE CROSS)

 

 

 Oleh Dr. W. A. Criswell

Diadaptasi Dr. Eddy Peter Purwanto

 

Khotbah ini dikhotbahkan pada kebaktian Minggu Pagi, 25 Pebruari 1973

di First Baptist Church in Dallas

Teks: Galatia 6:14

 

           

Para pemirsa televisi dan pendengar radio, anda sedang bergabung bersama kami dalam kebaktian First Baptist Church di Dallas. Ini adalah gembala kami yang akan menyampaikan khotbah dengan tema: Bermegah dalam Salib: Tanda Salib. Dalam khotbah seri kita dari Kitab Galatia, ada dua khotbah lagi yang akan saya sampaikan, yang pertama adalah yang saya khotbahkan pagi ini dan yang kedua akan saya sampaikan Minggu depan.

 

Pagi ini, kita akan membahas pasal enam dari Kitab Galatia, dan kita mulai membaca dari ayat sebelas:

 

“Lihatlah, bagaimana besarnya huruf-huruf yang kutulis kepadamu dengan tanganku sendiri. Mereka yang secara lahiriah suka menonjolkan diri, merekalah yang berusaha memaksa kamu untuk bersunat, hanya dengan maksud, supaya mereka tidak dianiaya karena salib Kristus. Sebab mereka yang menyunatkan dirinyapun, tidak memelihara hukum Taurat. Tetapi mereka menghendaki, supaya kamu menyunatkan diri, agar mereka dapat bermegah atas keadaanmu yang lahiriah. Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia” (Galatia 6:11-14)

 

Dalam bagian ini, Paulus membuat suatu kontras antara orang Galatia yang bermegah di dalam daging – kauchaomai – mereka yang bermegah dalam kedagingan, dan Paulus yang tidak mau bermegah selain dalam salib Yesus Kristus. Orang-orang Galatia cenderung bermegah pada hal-hal lahiriah atau di dalam daging, menyimpang dari keselamatan yang disediakan oleh kasih dan rahmat Allah di dalam Yesus, dan mereka berbalik kepada guru-guru yang berpengalaman dalam hal-hal duniawi (sophisticated), dan pikiran bahwa dalam kebenaran diri sendiri mereka dapat datang ke hadirat Tuhan. Dalam pasal ketiga dari kitab ini, Rasul Paulus menegur mereka: “Hai orang-orang Galatia yang bodoh, siapakah yang telah mempesona kamu?” (Galatia 3:1).

 

Saya berpikir bila kita mengambil apa yang rasul ini tulis pada abad pertama dan kita mengaplikasikan untuk zaman ini, ia akan berkata, “Hai orang-orang modernis yang bodoh, orang-orang liberal yang bodoh, para sekuleris yang bodoh, siapakah yang telah mempesona kamu? Kamu yang memandang ibadah sebagai mainan skepticisme; kamu yang mengidolakan bunga spekulasi filosofi; kamu yang mau memutarbalikkan Kitab Suci dengan menggantikan dengan kata-kata yang lain dan perintah-perintah yang lain; kamu yang berusaha menggantikan Juruselamat, yang berasal dari Galelia, dengan juruselamat yang lain; kamu yang mau menggantikan lagu Musa dan Anak domba dengan lagu yang lain; hai kaum modernis yang bodoh, siapakah yang telah mempesona kamu, sehingga kamu harus bermegah dalam kedagingan, di dalam usaha-usaha manusia, dalam spekulasi manusia?”

 

            Namun Allah melarang saya untuk bermegah, selain diselamatkan di dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, dan bukan salib dengan semua ketelanjangan yang mengerikan seperti yang dimiliki oleh orang Roma; salib dengan semua filsafat irrasional seperti yang dimiliki oleh orang Yunani; salib dengan semua penderitaan dan rasa malu seperti yang dimiliki oleh para ahli Taurat; namun salib dengan semua kasih dan rahmat dan pengampunan seperti yang diberitakan oleh Paulus.  

 

In the cross of Christ I glory,

Towering o'er the wrecks of time;

All the light of sacred story

Gathers round its head sublime.

 

 

SALIB ADALAH LENCANA IMAN KRISTEN

 

            Allah melarang saya untuk bermegah selain di dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus. Ini adalah tanda, ini adalah lencana dari iman Kristen. Suatu pelajaran dari sejarah pada tahun 300 A.D. ketika Constantine bertobat di tengah masa peperangan, Constantine berkata, “Di tengah hari, aku melihat suatu tanda di langit, sebuah salib, dan di bawahnya tertulis kata-kata ini: “In hoc signo, vinces” (di dalam tanda ini, seorang penakluk”).

 

Dan kemudian sejak itu, sama seperti sebelumnya, lambang dari Injil Anak Allah itu ditemukan dalam tanda salib itu. Lencana iman Kristen bukan dua tablet loh batu yang berisikan perintah-perintah Allah. Lencana iman Kristen bukan sebuah pedang atau sebuah bintang atau galaxy. Lencana iman Kristen bukan tujuh kandil atau bahkan linkaran cahaya di atas kepala. Namun lencana iman Kristen adalah sebuah salib dari kayu yang kasar. 

 

Saya pernah mengunjungi Coliseum Romawi, saya berdiri di sana dan berharap melihat sebuah salib yang terindah melebihi semua salib yang pernah saya lihat. Karena ketika kita membayangkan salib, seringkali pikiran kita tertuju kepada salib sebagai dekorasi yang indah di atas gedung gereja atau sebagai perhiasan pada kalung yang melingkar di leher yang terbuat dari emas atau perak atau batu permata yang berharga. Namun di Coliseum itu, di sana hanya ada salib kasar yang terbuat dari dua balok kayu kasar. Dan saya katakan bahwa itu adalah tempat di mana bertahun-tahun yang lalu orang-orang Kristen mula-mula kehilangan nyawanya dalam arena yang sangat mengerikan itu. Salib itu berbicara dengan bahasa universal. Semua orang dimanapun juga bisa memahaminya.

 

Beberapa waktu yang lalu, saya duduk di antara massa yang begitu besar, menghadap ke latar belakang pegunungan Bavaria, menyaksikan Drama tentang Kesengsaraan (Passion Play) di Oberammergau. Dan ketika saya memperhatikan ribuan orang yang ada di sana, mereka berasal dari setiap bangsa dan bahasa dan suku dan keluarga yang ada di bawah kolong langit.

 

            Pertunjukkan itu ada di Jerman. Di sana ada beberapa dari kami yang tidak dapat memahami bahasa Jerman, namun saya begitu tertarik dengan pertunjukan itu ketika saya duduk di sana dan menyaksikan pertunjukkan tentang kesengsaraan dan penyaliban Tuhan kita, dan setiap orang dapat memahaminya dalam bahasanya sendiri. Karena salib itu berbicara kepada hati manusia di mana saja, dalam setiap bangsa, dalam setiap bahasa, dalam setiap suku dan kaum dan suku bangsa yang berada di bawah kolong langit Allah ini.

 

            Salib bukanlah suatu dongeng romantika atau kisah dongeng. Namun salib adalah bersifat historikal dan faktual. Jika kita berpikir tentang referensi yang mengacu kepada Kristus kita dapat melihat karya Josephus sebagai suatu sisipan, di sana ada dua referensi dari abad pertama yang mengacu kepada Tuhan Yesus. Keduanya dapat ditemukan dalam kesaksian Suetonius dan Tacitus, dua sejarahwan Latin – yang mana keduanya memberikan kesaksian sejarah berhubungan dengan penyaliban Tuhan kita – Ketika terjadi kebakaran di Roma, dan ketika orang-orang mulai menuduh Nero yang telah melakukan itu, maka untuk menghilangkan kecurigaan rakyat Nero mengatakan bahwa orang-orang Kristenlah yang telah melakukannya. Selanjutnya kedua sejarahwan Roma pada abad mula-mula ini, Suetonius dan Tacitus, karena bagi mereka kekristenan adalah suatu sekte yang asing yang tidak mereka kenal dengan baik, maka kemudian mereka menjelaskan bahwa orang-orang Kristen ini adalah para pengikut seseorang yang disalibkan di Yudea di bawah kekuasaan Pontius Pilatus.

 

Salib adalah alat untuk eksekusi hukuman mati yang paling kejam dan sangat mengerikan dalam pikiran manusia. Tidak ada warga Romawi yang dapat disalibkan. Hukuman seperti itu hanya berlaku bagi para penjahat dan para pemberontak dan para criminal dan para pembunuh. Dan terutama itu cocok bagi orang Yahudi.

 

Dalam Galatia pasal tiga rasul Paulus mengutip Ulangan 21, mengutip perkataan Musa yang berbunyi: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!”

 

Dan setelah Tuhan kita disalibkan, orang-orang Yahudi pergi kepada penguasa dan meminta agar salib itu diturunkan oleh karena para peziarah akan datang dan memasuki kota untuk merayakan Paskah. Namun sama ngerinya dengan orang Roma, demikian juga pikiran orang-orang Yahudi, berpikir tentang sesuatu yang memalukan dengan menyalibkan Anak Allah yang tanpa dosa.

 

Mereka menyalibkan Dia dengan dua cara: yang pertama, mereka menyalibkan Dia dalam keadaan telanjang – ia mengekspos itu di hadapan seluruh dunia. Para seniman yang melukis gambar Yesus, mereka selalu melukis Yesus tidak dalam kondisi telanjang, namun sebenarnya Ia disalibkan dalam keadaan telanjang bulat. Para prajurit telah membagi-bagi pakaian-Nya dan mengundi jubah-Nya di bawah salib itu. Kedua, mereka menyalibkan Dia di antara dua penjahat – di antara dua pemberontak dan pembunuh. Dalam hidup-Nya, Ia dikenal sebagai sahabat para pemungut cukai dan orang berdosa. Dan dalam kematian-Nya, Ia disalibkan bersama dengan dua penjahat di sebalah kanan dan kiri-Nya. Dalam sejarah Tuhan, semua itu telah dinubuatkan. Karena dalam Yesaya 53 berkata bahwa dalam matinya Ia ada di antara penjahat-penjahat.

 

Ini bukanlah penyaliban seperti pada umumnya. Ada ribuan orang Yahudi yang pernah disalibkan oleh para penguasa Roma. Para sejarahwan menyatakan bahwa empat puluh tahun antara Pontius Pilatus dan Titus, sang Caesar, ada lebih dari tiga puluh ribu orang Yahudi yang disalibkan.  

 

Ketika Tuhan kita berumur delapan belas tahun, di desa dekat Nazaret, orang-orang Roma ke sana karena kota kecil itu dicuragai melindungi para pejuang dari orang-orang Zelot, para pemberontak, dan kemudian para prajurit Roma itu membakar kota itu rata dengan tanah dan menyalibkan setiap orang yang ada di kota itu. Dan pada waktu itu, waktu Tuhan sendiri sudah begitu dekat, di mana Ia harus disalibkan. Jadi penyaliban yang merupakan hukuman mati yang diterapkan Romawi adalah pemandangan yang sudah umum di Palestina.

 

Namun penyaliban Yesus tidaklah sama dengan yang lainnya. Perwira Romawi yang mengawasi pelaksanaan eksekusi itu berseru, katanya: “Orang ini benar-benar Anak Allah.”

 

Kegelapan menyembunyikan matahari

Dan menutupi kemuliaan-Nya.

Ketika Kristus sang Pencipta itu mati

Bagi manusia, dosa ciptaan-Nya

 

Salib adalah lambang Injil, lambang iman Kristen.

 

SALIB ADALAH TANDA KERUSAKAN/KEBOBROKAN

MANUSIA YANG BERSIFAT UNIVERSAL

 

Kedua, salib adalah tanda dan lencana kebobrokan kita yang bersifat universal, lambang dari hati manusia yang penuh dengan dosa. Jika anda ingin melihat seperti apakah manusia itu, anda dapat melihat salib: lambang kekejaman, kegelapan dan penuh dosa.

 

            Tuhan dilahirkan di Betlehem. Hadiah dari Allah oleh karena kasih-Nya kepada dunia ini datang di kota kecil Daud. Ketika hadiah itu diberikan, para malaikat memuji Tuhan, dan bintang-bintang gemerlapan bagaikan lampu-lampu emas di langit pada malam itu. Para gembala datang untuk menyembah Dia dan orang-orang majus membawa persembahan bagi Dia. Betlehem hanya lima mil jauhnya dari Yerusalem, kota besar itu.

 

Tiga puluh tiga tahun kemudian, keluarga dan bangsa-Nya, umat manusia, menyerahkan pemberian kasih Allah di dalam Kristus Yesus itu kepada algojo Romawi. Siapakah yang telah melakukan itu? Siapakah yang telah menyalibkan Tuhan? Siapa yang bertanggung-jawab atas kematian-Nya yang sangat memalukan dan kekejaman yang tak terlukiskan itu? Siapakah yang telah melakukannya? Siapa yang bersalah dalam hal ini? Tentunya ada banyak orang yang akan menjawab, dan beberapa akan berkata “Ini adalah kesalahan Allah. Allah yang telah melakukan itu!” Sama seperti istri Ayub berkata kepada suaminya, “Kutukilah Allah dan kemudian bunuh dirilah.” Dan beberapa yang lain mungkin akan menjawab, “Itu adalah kesalahan-Nya sendiri. Ia sendiri yang mau melakukan itu. Ia seharusnya dapat me-manage dengan lebih baik, atau merencanakan dengan lebih baik, dan seharusnya Ia lebih pintar.”

 

Ada beberapa orang lain lagi yang mungkin berkata, “Orang Yahudilah yang telah melakukannya.” Dan ada orang lain yang berkata, “Para penguasalah yang telah melakukannya.” Ada lagi yang lain yang menjawab, “Yudas Iskariot yang telah melakukannya. Ia telah menjual Dia!” Ada juga yang mengatakan, “Pontius Pilatus yang telah melakukannya. Kelemahan dan kebimbangannya membuat dia gagal memberikan keadilan.” Sedangkan mungkin ada yang lain lagi yang mengatakan, “Para prajuritlah yang telah melakukannya. Mereka memberikan mahkota duri dan kemudian memakukan Dia pada kayu salib.”

 

Siapa yang telah melakukan itu? Pontius Pilatus mencuci tangannya dan berkata, “Saya tidak bertanggung jawab. Saya tidak bersalah atas darah orang ini.” Para prajurit Roma berkata, “Kami tidak bertanggung jawab. Kami hanya melakukan sesuai dengan perintah atasan kami.” Dan orang-orang Yahudi berkata, “Kami tidak bertanggung-jawab. Akankah engkau mengambil kepala kami dan anak-anak kami atas darah orang benar ini? Kami tidak bertanggung-jawab atas kematian-Nya!”

 

Siapa yang telah melakukannya? Siapa yang telah membunuh Anak Allah? Siapa yang telah memakukan Dia di kayi salib? Kita semua mengambil bagian di dalamnya. Kita semua yang telah melakukan itu! Karena dosa-dosa kita Dia dipakukan di kayu salib, dan oleh karena dosa-dosa kita kepala-Nya ditusuk mahkota duri. Kita semualah yang telah melakukan itu!

 

Suatu kali ada orang yang berkata dalam mimpi, “Saya telah melihat sang Juruselamat, dan punggung-Nya dalam keadaan telanjang. Dan ada prajurit yang menyeret-Nya dan kemudian menyengat punggung-Nya dengan sembilan sengatan ekor kalajengking dengan kejamnya, yaitu cambukan yang sangat kejam dari prajurit Romawi.”

 

Dan kemudian ia berkata, “Dalam mimpi itu, ketika saya menyaksikan Juruselamat disesah dan darah mengalir dari tubuh-Nya,” ia melanjutkan, “ketika prajurit itu mengangkat tangannya untuk mencambuki Dia,” ia berkata dalam mimpi itu, “aku bangkit dan memegang tangan prajurit itu untuk menahannya. Prajurit itu menengok dan memandang saya. Namun ketika memandang wajahnya, ternyata dia adalah diri saya sendiri.”

 

            Siapa yang telah membunuh Anak Allah? Siapa yang bersalah dan bertanggung jawab atas kematian-Nya? Siapa yang telah memakukan Dia di atas kayu salib? Kita semualah yang telah melakukannya! Karena dosa-dosa kita Pangeran Sorgawi disalibkan. Salib adalah tanda kerusakan/kebobrokan manusia sercara universal dan dosa manusia.

 

 

SALIB ADALAH TANDA PENEBUSAN DAN KESELAMATAN

SERTA PENGHARAPAN KEMULIAAN KITA

 

            Ketiga, salib adalah tanda atau lencana penebusan kita dan keselamatan kita serta pengharapan kemuliaan kita. Kristus telah mati. Bagaimana Ia mati? Mengapa Ia mati? Apakah Ia mati seperti Socrates, meminum hemlock, menjadi martir bagi kebenaran filsafat? Apakah Ia mati seperti Julius Caesar, seorang pahlwan dalam senat, oleh pedang Brutus dan Cassius? Apakah Ia mati seperti Agamemnon dalam Aeschylus, untuk menyelesaikan tugas kepahlawanan bangsa Yunani menghadapi orang-orang Trojan? Apakah Ia mati seperti tragedi King Lear dalam novel Shakespeare? Apakah Ia mati oleh peluru pembunuh seperti Abraham Lincoln di Ford’s Theater, Washington? Bagaimana Ia mati?

           

Ada maksud illahi di dalam kematian Kristus. Ini adalah rencana Allah untuk kesalamatan kita. Tidak ada pengampunan dan perdamaian tanpa penebusan. Tidak ada penyucian dosa tanpa pencurahan darah. Dan tidak ada rekonsiliasi tanpa pembayaran hutang. Kematian Kristus adalah penebusan bagi kita, korban bagi dosa-dosa kita. Ini adalah untuk memperdamaikan kita dengan Allah.

 

Salib, bagi rasul Paulus dan bagi kita adalah hal yang sama seperti ular tembaga yang didirikan Musa dan bangsa Israel di padang gurun. Ini adalah tanda kasih dan rahmat dan pengampunan serta kesembuhan yang bersifat universal dari tangan Allah. Pandanglah maka kamu hidup! Saudaraku, pandanglah Yesus Kristus dan engkau hidup. Ini dituliskan dalam Firman-Nya, haleluya. Hanya dengan memandang makan anda hidup.

 

Salib adalah tanda penebusan kita. Itu adalah tanda pengampunan kita. Itu adalah tanda undangan penuh kasih dari Allah, undangan-Nya untuk mengampuni dan memberikan kehidupan kepada kita. Salib yang berdiri tegak, balok lurus ke atasnya seakan menunjukkan kasih Allah yang menghubungkan bumi dengan sorga, uluran tangan kasih Allah yang terulur dari sorga untuk mengangkat kita yang ada di bumi. Dan palang salib menyamping menunjukkan betapa luasnya jangkauan undangan Allah bagi manusia. Sejauh timur dari barat, tangan yang terlentang memberikan undangan kepada semua orang di manapun juga untuk menemukan kehidupan dan pengampunan dan rahmat serta keselamatan di dalam penebusan kasih, kesedihan, air mata, penderitaan dan kematian Anak Allah.  

Kita semua diundang. Palang salib yang terlentang menunjukkan betapa luasnya undangan itu diberikan, yaitu untuk semua orang, baik orang Yunani maupun orang barbar, bagi orang Romawi atau semua wilayah jajahannya, bagi orang Yahudi maupun Yunani, bagi orang Yahudi maupun non Yahudi, bagi budak maupun orang merdeka, bagi orang terpelajar maupun bukan terpelajar, bagi orang kaya maupun orang miskin, bagi orang bijaksana maupun bodoh, bagi orang tua maupun muda, bagi orang yang dekat maupun jauh, bagi orang baik maupun orang yang tidak begitu baik. Bagi kita semua undangan keselamatan itu diberikan Allah, yaitu undangan-Nya melalui salib itu yang melambangkan kasih dan rahmat serta pengampunan.   Dunia tidak akan pernah menjadi sama lagi karena Tuhan telah mati di dalamnya, dan di atas planet ini Ia telah mencurahkan Darah-Nya yang suci.

 

Salib itu adalah tanda pengharapan dan kemuliaan kita. Jika ada hari esok, jika ada sorga dan jika ada Allah dan kehidupan, maka salib adalah tanda pengharapan kita.

 

If in Flanders’ Fields

The poppies grow,

It will be between the crosses,

Row upon row.

 

Minggu lalu saya melewati kuburan di dekat Atena. Kuburan itu dipenuhi dengan salib berwarna putih, dan itu ada ribuan jumlahnya. Dan ketika saya memperhatikannya, saya berpikir tentang kuburan-kuburan yang ada, khususnya kuburan para tentara Amerika, yang telah saya lihat di seluruh dunia, misalnya di Arlington, dekat Washington, di Virginia, seperti juga di Filipina, di kepulauan Hawai, dan di Francis.  Dan di manapun anak-anak Amerika ini gugur dalam pertempuran, masyarakat kita menancapkan salib di atasnya. Mengapa? Karena itu adalah tanda pengharapan! Itu adalah suatu doa. Itu adalah suatu visi. Itu adalah suatu impian. Itu adalah suatu pengharapan. Itu adalah suatu janji. Itu adalah suatu jaminan bahwa Allah telah mempersiapkan sesuatu yang lebih baik bagi kita dari pada apa yang kita ketahui dalam kesedihan dan air mata dalam hidup kita.  Dan jika kita memiliki pengharapan, pengampunan, hari esok, itu terletak di dalam janji dari kematian Anak Allah.

 

Saya pernah ada di London dan berdiri di Charring Cross. Bertahun-tahun yang lalu ada istri terkasih dari raja yang mati di luar kota London. Dan ketika ia membawa mayat istri yang sangat disayangi itu pulang ke kota besar itu, di mana kemudian tubuhnya disemayamkan di sana setelah melalui perjalanan panjang, sang raja kemudian membangun sebuah chapel kecil di sana. Dan ia menamai chapel itu “King’s Cross,” atau “Charring Cross.”

 

Ketika saya berdiri di Charring Cross di London, dan teman hamba Tuhan yang bersama saya berkata, “Bolehkah saya menjelaskan kepada anda kisah yang pernah terjadi di sini.” Ia berkata, “Ada seorang gadis kecil di kota ini yang tersesat, ia menjadi gelandangan. Dan anak itu berkeliling di jalanan kota London, sambil menangis tak henti-hentinya. Ia telah tersesat. Dan  seorang polisi Inggris melihat anak tersesat yang sedang menagis itu. Ia menghentikan dia dan bertanya kepadanya mengapa, dan anak itu menjawab bahwa ia sedang tersesat; ia berkata bahwa ia tidak tahu bagaimana menemukan jalan pulang ke rumahnya.”

 

“Dan polisi itu berkata kepada gadis yang telah hancur hatinya itu, ‘Jangan menangis. Duduklah di sini di samping saya, dan kita akan mencari dimana rumah kamu.’

 

“Kemudian polisi itu duduk di trotoar jalan, dan gadis kecil yang telah hancur hatinya itu duduk di sampinya. Dan ia berkata, ‘Sekarang, saya ingin bertanya kepada kamu beberapa tempat di London, dan kamu harus mengatakan kepada saya jika kamu mengenal tempat-tempat itu. Piccadilly Circus?’

“’tidak,’ kata gadis itu.”

’Oxford Street?'”

“’Tidak,’ kata anak itu.”

“'Regent Street?’”

“’Tidak,’ kata anak itu.

“'Whitehall?'”

“'Tidak.'”

“'Westminster?'”

“'Tidak.'”

“'Charring – Charring Cross?'”

“'Ah,' kata gadis kecil itu sembari menangis, ‘ya, ya, ya. Bawalah saya ke salib itu, dan dari sana saya akan dapat menemukan jalan ke rumah saya.’”

 

Oh, betapa benar ini bagi semua manusia, bagi semua umat manusia, bagi keluarga, hati dan hidup kita. Bawalah aku ke salib itu, dan dari sana aku akan menemukan jalan pulang. 

 

Aku harus pulang

Melalui jalan salib,

Tiada jalan lain selain melaluinya;

Aku takan pernah melihat

Gerbang terang,

Bila aku tidak melalui jalan salib.

Aku harus ke sana

Ke jalan yang telah diperciki darah,

Jalan setapak sang Juruselamat,

Jika aku pernah mendaki

Kemuliaan tertinggi

Di mana jiwaku

Berada di rumah bersama Allah.

 

Ini adalah undangan Allah bagi Anda: “Apa lagi yang Ia dapat katakan kepada anda selain yang telah ia katakan, agar anda datang kepada Yesus sebagai tempat perlindungan yang aman?” Ini adalah kasih dan rahmat Allah yang dicurahkan ke atas bumi ini. Ini adalah undangan yang penuh kasih dari Allah bagi kita haru ini. Datanglah, datanglah, datanglah!