Daftar Isi

 

BAHAYA-BAHAYA DI PADANG GURUN

(PERILS IN THE WILDERNESS)

 

Oleh Dr. W.A. Criswell

Diterjemahkan Made Sutomo, MA

Editor: Dr. Eddy Peter Purwanto

 

Khotbah ini dikhotbahkan pada kebaktian Minggu Malam, 13 September 1964

di First Baptist Church in Dallas

 

Pokok yang saya sampaikan dalam bagian ini adalah satu bahan yang saya persiapkan dan pilih pada waktu saya berada di Limon Cocha, di hutan Ecuador.  Dan berita itu saya akan sampaikan saat ini.  Sebagian besarnya saya persiapkan setelah saya mengunjungi orang-orang suku Indian Auca dan saya telah melihat anugerah Allah yang mengagumkan di antara orang-orang Primitif dari zaman Batu yang ganas.  Judul khotbah yang sudah saya persiapakn adalah “Orang-orang Ganas Berjumpa dengan Kristus.”  Saya berharap Anda semua, apakah Anda mendengarkan di radio pada jam 7.30, atau di sini dalam gedung besar ini, Anda dapat mendengar seorang Pendeta berusaha untuk melukiskan pertolongan Allah, kuasa Tuhan yang secara ajaib menyelamatkan jam ini, dewasa ini, seperti di masa-masa dalam Kisah Para Rasul.

Tetapi, karena kejadian di Peru setelah saya meninggalkan Equador, tema khotbah saya rubah menjadi “Bahaya-bahasa di padang gurun.”  Dalam surat 2 Korintus pasal kesebelas, Paulus menulis perjalanan-perjalanan misinya, dan mulai di ayat 26, ia berkata:

 

“Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu.  Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian.” (2 Kor. 11:26-27).

 

            Saya diperkenalkan tentang Wycliffe Institute of Linguistics (Institut Ilmu Bahasa Wycliffe) pada musim panas tahun 1943 dan 1944.  Saya dipanggil menggembalakan jemat Baptis di Dallas pada bulan September tahun 1944.  Pada tahun-tahun itu saya berada di Muskogee, Oklahoma.  Waktu itu adalah masa-masa perang, sehingga Angkatan Laut U.S sudah lebih dulu menempati kampus Universitas Oklahoma, yang adalah tempat dari Institute Ilmu Bahasa Musim Panas (Summer Institute of Linguistics).  Jadi, pada tahun 1943 dan 1944 itu mereka telah pindah ke Baptist Indian College, Bacone College, di Muskogee.

            Dengan peristiwa itu, Anda bisa membayangkan dampaknya untuk 300 misionaris yang menghadiri gereja kami di bawah penggembalaan saya dan di bawah jemaat kami.  Dan bukan saja mereka berjumlah 300 orang, tetapi saya tidak pernah melihat orang-orang seperti itu dalam hidup saya.  Saya tidak pernah melihat pengabdian seperti itu ada dalam dunia yang sekarang ini.  Dan dalam satu berita di masa mendatang, saya berharap untuk mendemonstrasikan pengabdian tersebut, yang membuat kesan yang tidak terhapuskan dalam jiwa saya. 

            Ini untuk pertama kali saya bertemu dengan Cameron Townsend, yang saat itu mengepalai Wycliffe Institute of Languistics, dan guru-gurunya serta 300 dari misionaris mereka.  Mereka pergi ke suku-suku yang bahasanya belum diturunkan untuk ditulis.  Dan hal yang mereka lakukan dalam proses menerjemahkan Alkitab adalah dengan cara pertama-tama mendengar bahasa lisan, kemudian membuat alfabet, kosa kata dan selanjutnya menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa tersebut.  Dengan berbuat demikian, mereka berusaha membawa orang-orang ganas itu dari suku-suku Zaman Batu ke dalam pengetahuan akan keselamatan dari Tuhan kita.  Para misionaris Wycliff ini tidak pernah pergi ke tempat-tempat lain, melainkan hanya kepada suku-suku yang masih terhilang dari Tuhan dan dari peradaban.  Dan mereka berusaha untuk membawa kepada mereka cerita tentang kasih Allah dalam Yesus Kristus.

            Mereka pernah menanyakan saya beberapa pertanyaan di Radio: “Apakah Anda mempunyai misionaris di Sana?”  Saya menjawab, “Tidak.”  Apakah ada seseorang mempunyai misionaris di sana?”  Saya juga menjawab, “Tidak.”   “Kalau begitu, mengapa Anda tidak pergi?”  Saya menjawab dengan alasan yang sederhana, karena misionaris Wiclyffe yang sudah pergi ke sana.”

            Sekarang Anda tahu mengapa saya mengadakan perjalanan ini ke Amazon dan Orinoco Basins?  Kadang-kadang saya kehilangan semangat dan merasa kecil hati terhadap hal-hal keagamanan seperti  melakukan kebaikan dan melakukan keramah-tamahan.  Saya menganggap hal itu hal yang lazim, yang biasa, sesuatu yang baik untuk dilakukan.  Kita biass pergi ke gereja pada hari Minggu dan kita melakukan hal-hal ritual atau liturgi.  Kita keluar gereja lalu kita melupakannya.

            Bila kita pergi ke gereja, sering kita hanya ingin mengetahui untuk diri kita sendiri, untuk kebaikan jiwa kita.  Kepada saudara saya ingin katakan bahwa saya ingin mengetahui apakah Injil dari Anak Allah mempunyai kuasa dan sanggup menyelamatkan manusia yang telanjang, seorang ganas dan pembunuh dari orang Zaman Batu dan membuat dia keluar dari darah yang mana ia telah hidupi selama hidupnya dan membuat dia menjadi murid Tuhan Yesus yang manis dan murah hati.  Saya telah mendengar tentang itu dan membacanya.  Saya tidak pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri atau mengalaminya dalam hidup saya.  Jadi, sekian lama hal itu ada dalam hati saya, dan saya ingin pergi ke hutam rimba Amerika Selatan dan mengunjungi para misionaris Wycliffe tersebut bagaimana mereka bekerja dengan suku yang ganas itu.

            Dalam pasal ketiga belas dari kitab Kisah Para Rasul, kita membaca Paulus dan Barnabas memulai perjalanan misi mereka. Bersama mereka ada seorang anak muda dari Yerusalem, dibesarkan dalam keluarga berada, namanya Yohanes Markus.   Setelah mereka meninggalkan Antiokia dan melewati Siprus dan memasuki Pamfilia dan Asia Kecil, dan menghadapi suku-suku yang ganas, Yohanes Markus meninggalkan mereka dan kembali ke Yerusalem.  Hal itu terlalu berat baginya.

            Saya bisa menaruh simpati kepada Yohanes Markus.  Memang di satu segi hutan rimba merupakan hal yang mengagumkan untuk dilihat.  Berikut ini saya ingin menggambar kepada saudara tentang hutan rimba berdasarkan pengamatan saya.  Hutan rimba Orinoco dan Amzon Basin jaraknya 3000 mil dari Andes ke Lautan Atlantik. Dan dari 4000 hingga 6000 mil dari Caribbean turun ke Argentina.  Di sana sama sekali saya tidaka melihat jalan di dalam hutan tersebut.  Saya juga tidak menemukan jalan kereta bahkan jalan setapak.  Daerah itu luasnya dua kali United States, dan dari sebelah satu ke sebalah lainnya diselimuti dengan kelebatan hutan yang tidak dapat dimasuki.  Bila Anda ada di Quito, ibu kota Ecuador, Anda berada dekat Kota New York daripada Buenos Aires, ibu kota Argentina. 

            Hutan yang tidak dapat diterobos itu bagi saya sangat mengagumkan, tetapi ketebalan dari pepohonan yang tumbuh, bagi saya hal yang mengerikan.  Pohon-pohon yang menjulang tinggi bila dilihat dari udara kelihatan seperti karpet yang tebal.  Kira-kira separuh dari hutan itu adalah semak belukar yang tidak dapat diterobos yang terdiri dari pohon-pohon bambu dan seperti pohon-pohon pisang yang tumbuh tebal serta pohon-pohon rambat.  Dan di bawah, bila Anda berjalan di situ, ada tumbuh-tumbuhan yang tebal sehingga gelap dan berawa-rawa. Dalam satu hari, bila seseorang ingin berjalan di situ, walaupun ia bekerja keras dengan pisau parang, ia mungkin hanya bisa berjalan 100 kaki. 

            Cameron Townsend menemui saya di Bogota, ibu kota Columbia.  Kami terbang melintasi Ander menuju Via Vicenzia, dan di sana saya bertemu pilot hutan saya yang pertama, dengan Penerbangan Hutan dan Pelayanan Radio.  Mereka adalah pilot-pilot yang penuh dedikasi, yang mengantar para misi Wycliffe dari satu tempat ke tempat yang lain.  Namanya adalah Forrest Sanders.  Ia menjemput Cameron Townsend dan saya di Via Vicenzia, landasan yang baru yang mereka bangun di Columbia.  Mereka telah memberi nama Lomba Linda: “bukit indah.” 

            Kemudian, selama tiga jam, sesudah kunjungan kami selama tiga hari di Lomba Linda, kami terbang di atas hutan yang tidak dapat diterobos itu, Cameron Townsend mendaratkan pesawatnya di Puerto Asiz, di mana terdapat sungai-sungai dari perbatasan antara Ecuador dan Columbia.  Kemudian, dalam pesawat kecil itu, kami terbang lagi dalam jangka waktu yang cukup lama di atas hutan yang sama itu ke pinggir Sungai Napo, di mana terletak Guarina Cocha.

            Pada suatu hari ketika Forrest Sanders dan saya terbang di atas hutan yang lebat itu selama berjam-jam, ia berkata kepada saya, “Untuk jatuh ke dalam hutan itu berarti akan hilang untuk selamnya.  Anda terhilang dengan seketika.”  Ia juga berkata, “Anda tahu, “Allah telah begitu baik kepada kami.  Hampir setiap minggu, ada pesawat Columbia atau pesawat Peru jatuh ke dalam hutan tersebut. Dan baru kemarin ada satu pesawat United State, yang mengambil foto daerah Amerika Selatan, terjatuh dan dua orang laki-laki tewas.”   Tetapi, katanya lagi, “Allah begitu baik kepada kami.  Pesawat kami belum pernah ada yang jatuh, dan kami belum pernah kehilangan seorang pilot.”  Lalu saya menyahut, “O, itu bagus sekali.  Itu kabar yang baik.  Kiranya Tuhan meneruskan belas kasihan-Nya.”

            Untuk saya hutam memang mengagumkan dan juga mengerikan, karena hutan itu terdiri dari rawa paya yang begitu luas.  Saya merasa terheran-heran ketika  mempelajarinya, dan saya mengamati dari landasan Andes, dengan jarak 3000 mil, ke mulut sungai Amazon, di situ ada air terjun dengan ketinggian hanya 500 kaki.  Saya mengambil pensil dan menghitunya.  Air yang terjun itu kurang dari sepersepuluh dari satu inci setiap mil untuk 3000 mil.  Itu berarti stiap tetesan kecil yang jatuh dari ketinggian itu langsung menjadi rawa.

            Curah hujan di Orinoco dan lembah Sungai Amazon adalah dari 107 hingga 115 inci pertahun.  Kalau kita bandingan dengan curah hujan di Dallas, bedanya jauh sekali. Misalnya, tahun lalu, curah hujan di Dallas sebanyak 17 inci.  Tetesan air di hutan itu pada pagi hari berasal dari embun yang tebal dan tekanan kelembaban.  Dan tumbuhan sayur-sayuran yang subur dan mewah, bagi saya itu luarbiasa.  Saya juga mengamatai bahwa hutan rimba memang mengagumkan dan juga menakutkan karena kehidupan yang menempatinya.  Nyamuk-nyamuk, serangga-serangga, lintah-lintah darat, lalat-lalat, milyaran dan ular-ular dan binatang-binatang melata dan buaya-buaya kecil serta seluruh yang ada dalam rawa-rama tropis dengan hutannya yang tidak dapat diterobos.  Itu sungguh mengagumkan bagi saya karena segala penyakit yang ada di mana semua mahluk hidup hamir seluruhnya dihabiskan oleh lintah darat.   Dan tentu saja orang-orang ganas yang menghuni hutan tersebut juga mengagumkan saya.   Limon Cocha landasan pesawat yang ada di tengah-tengah Equador, berlokasi dipinggir Sungai Napo.  Don Johnson, yang mengepalai pekerjaan di Equador, berkata kepada saya, “Tepat di sana adalah orang Napo, dan di seberang sungai itu ada orang-orang Auca yang mengerikan. Bila menyeberangi sungai itu berarti maut.”

            Pada kesempatan lain, saya mendapat kesempatan terbang di atas hutan Auca itu dengan Roy Gleason, pilot JAARS yang lainnya.  Sambil menunjuk ke sebuah danau yang terletak di samping Sungai Napo, saya berkata, “Lihat danau yang indah itu.”  Dan Roy berkata, “Ya, itu danau yang indah, tetapi itu daerah Auca di Napo.  Ada satu keluarga tinggal di situ dan ketika mereka pergi memancing ke danau itu, orang-orang Auca datang memanah suami dan seluruh keluarganya.”   Untuk orang Amerika Latin, hutan rimba merupakan sesuatu yang mengerikan, untuk itu mereka tidak akan pernah masuk hutan.  Mereka tinggal di Lima, atau di Quito, di Bogota, atau di kota-kota di pesisir pantai barat. Tetapi,  orang-orang yang berani memasukinya hanyalah para misionaris Wycliffe. 

            Cameron Townsend memiliki dua tempat yang ia mau saya untuk mengunjunginya.  Secara khusus ia ingin saya ke Equador, di luar Limon Cocha untuk mengunjungi orang-orang Acuca.  Dan itu saya lakukan dan merupakan bahan khotbah saya saat ini, di mana bagi saya merupakan hal yang sangat ajaib dari seluruh mujizat-mujizat yang Allah lakukan di dunia zaman ini.  Saya bahkan merekam ibadah gereja yang kami adakan dengan orang-orang pribumi yang ganas tersebut, di mana beberapa tahun lalu, telah membunuh lima orang misionaris.  Tangan orang yang membunuh itu benar-benar telah dilumuri darah untuk generasi mereka.  Dan Anda akan mendengarkan kesaksian-kesaksian laki-laki yang membunuh kelima misionaris tersebut.  Laki-laki yang memimpin ibadah gereja tersebut di mana saya berkhotbah adalah salah satu pembunuh yang ganas itu, dan sekarang menjadi murid Tuhan yang manis dan rendah hati. 

            Pada hari Rabu malam dalam ibadah, kita akan mendengarkan mereka menyanyi lagu-lagu Kristen.  Mereka hanya mempunyai dua catatan dalam lagu-lagu mereka dan sangat sederhana.  Beberapa dari Anda akan menyukai musiknya.  Saya juga membawa beberapa racun anak panah yang mereka pakai untuk berburu.  Ya, ada banyak sekali kejadian yang saya bisa sampaikan.  Cameron ingin saya melihat Auca dan juga mengunjungi Tariri, pemimpin dari pemburu kepala suku yang tidak segan-segan memotong kepala, yang sangat ganas, sama bahayanya dengan orang Auca. Tetapi, Tairi telah menjadi seorang pemimpin Kristen. Untuk mengunjungi Tairi kami harus mempersiapkan diri karena penerbangan itu memakan waktu empat jam dari Guarina Cocha ke tempat suku tersebut.  Tempat itu jauh di sebelah utara di tengah hutan, di lembah sungai Wyuca. Sekarang, Landasan Pesawat Peru di satu sungai yang menghubungkan ke duanya menjadi sungai Amazon. Pagi-pagi sekali, pilot Floyd Lyons siap untuk berangkat. 

            Isu dalam bulan Februari di majalah National Geographic tahun ini, ada satu cerita tentang hutan Amazon yang dimuat.  Dan Floyd Lyons adalah seorang pilot yang disebut dalam lingkaran majalah tersebut, yang memungkinkan survey tersebut diadakan.  Ia adalah pilot saya.  Ia adalah keponakan laki-laki dari Glenn Shupe, seorang pilot Braniff dan seorang diakon dalam gereja.  Floyd Lyons adalah pilot saya – seorang pilot JAARS. Karena kami akan mengadakan perjalanan yang jauh, maka pagi-pagi sekali kami mengisi muatan di pesawat yang bernama Helo Courier dengan satu mesin kecil yang memiliki ponton untuk alat landas.  Mereka menelusuri sungai-sungai, sehingga, jika sesuatu trerjadi, mereka bisa turun dengan aman di atas permukaan air.  Setelah mengisi muatan pesawat, Floyd Lyons dan saya memasang sabuk kami, kemudian terbang kira-kira jam 6.15 pada pagi hari.  Sekitar 160 mil, kami mengikuti jalan Sungai Eukailali, terbang kira-kira 150 mil, kemudian berbutar untuk melewati sungai lain.

            Tepat di pusat dari penyeberangan jalan itu, Floyd Lyon mulai mengatakan kepada saya, “Bpak pengkhotbah, jika kita jatuh di sini, Anda harus berjalan keluar dari hutan ini. Dan Anda berjalan tapi barangkali 100 kaki sehari.”    Ia hanya berkelakar dengan saya tentang hutan rimba yang tidak dapat diterobos di bawah sana itu.  Dan sementara ia berbicara dengan saya, dengan tiba-tiba mesin pesawat meledak, dan ledakannya sepertinya kedengaran di dalam.  Kemudian, ketika pesawat itu menurun ia memindahkan penutup mesinnya.  Helo Curier memiliki enam motor, tiga horisontal ke sini dan tiga horisontal ke sana. Motor itu tersumbat di sana sini.  Keduanya meledak dan retak, dan sangat berbahaya untu menaruh jari dalam bagian yang retak itu.   Tidak seorang pun tahu apa yang terjadi.  Mereka tidak mempunyai ide bagaiman mengeluarkan pesawat kecil itu.  Pada saat motor pesawat itu mengeluarkan ledakan, kami sedang berada di ketinggian 6.550 kaki di udara.  Floyd Lyons, pilot itu, mencoba mengerjakan dengan penuh rasa ketakutan dengan alat-alat di atas sehelai papan.  Ia memutar kunci stater di mana ada tiga tombol magnit dan ia menekannya semua tapi tidak terjadi apa-apa. Ada tiga alat pengisap yang menggerakkan baling-baling.  Ia menyedot ke belakang dan ke depan, tetapi masih tidak terjadi apa-apa.  Dia memeriksa kep, pedal gas bensin, dan semuanya ada.  Ia merasa tidak berdaya.  Ia mengambil seseorang lewat radio, dan dalam beberapa detik ia berkata, “Guarina Cocha, Guarina Cocha, kami akan turun di hutan.” Tetapi  Guarina Cocha tidak dapat menerima.  Tetapi, akhirnya juga ada satu stasiun misi mengambilnya dan menelpon balik.  Floyd Lyons berkata kepada mereka, “Kami akan turun di hutan, kami akan turun di hutan.”  Dan stasiun misi itu mencoba menunjukkan lokasi kepada kami.  Ketika kami turun, pesawat meluncur dengan cepat, dan pilot itu berkata kepada saya, “Lihat, di sana ada satu desa, di sana ada satu desa.  Puji Tuhan ada satu desa.”

            Sementara kami terus meluncur ia berkata lagi, “Lihat, ada sungai kecil. Saya telah lupa tentang sungai kecil itu.”   Itu adalah satu-satunya desa di daerah ratusan mil, yang terletak dipinggir sungai kecil itu.  Sekarang, untuk satu alasan hal itu membuat saya ketakutan karena pesawat kita masih sangat tinggi.  Tetapi saya kemudian belajar bahwa ketinggian kamilah yang menyelamatkan kami.  Saya memberikan pilot itu waktu untuk menghitung pesawat turun ke daratan.  Sekarang saya kira ia akan trurun ke pusat dari desa yang kecil itu.  Saya mengencangkan sabuk di bahu saya dengan penuh kesulitan, sedang sabuk pengaman di pinggang saya dengan mudah saya dapat  mengencangkannya.  Saya menariknya untuk mencoba mengencangkannya sebisa saya.  Dalam pesawat kecil seperti itu, Anda tidak bisa jatuh teranjab secara langsung tapi dengan menikung.  Saya kira ia akan turun ke dalam lumpur di desa kecil itu.  Dan dengan ponton pesawat, saya tahu itu berarti tabrakan, dan akan terguling-guling. Jadi, saya mengencangkan tali pengikat bahu saya dan sabuk pengaman di kursi saya sekencang mungkin sehingga saya akan tetap berada dalam badan pesawat itu.  Kemudian saya berdoa, “Tuhan, jangan biarkan saya menjadi lumpuh. Jangan biarkan tulang punggung saya patah atau lumpuh seumur hidup saya, jangan biarkan saya  menjadi buta.  Tuhan selamatkan saya dari hal itu.”

            Kemudian, ketika pesawat itu menurun, saya mulai memikirkan hal-hal yang lain.  Saya memikirkan tentang mereka yang saya kasihi. Sya berpikir tentang keluarga saya, tentang Chris yang masih kecil, tentang diri saya. Sya berpikir tentang banyak hal, dan secara khusus, saya berpikir apakah Allah, dalam kemuliaanNya, akan membiarkan hidup saya di luar itu.  Saya pikir Floyd Lyons akan mendaratkan pesawat iti di desa kecil itu, dan saya sudah mempersiapkan diri saya untuk tabrakan yang buruk.  Pada detik terakhir ia membelokkan pesawat dan mendarat di sungai kecil itu.  Satu sungai yang sangat berbatu dan banyak potongan-potongan kayu balok dan airnya pun dangkal.  Di seberang itu ada seorang pria sedang menarik perahu menyeberangi tebing yang berbatu.  Dan ketika kami turun, pesawat kami menabrak perahu dayung itu.  Tetapi syukur kepada Tuhan, pesawat itu tidak sampai menabrak pria tersebut, dan ia selamat.

            Kedua poton pesawat membentur air tepat di mana air itu jatuh di tepi tebing yang berbatu, dan pewat tergelincir di atas air, batu dan pasir di sungai itu.  Kemudian pesawat itu meluncur ke arah timbunan pasir.  Sang pilot berpaling kepada saya dan berkata, “Puji Tuhan kita selamat, kita selamat.”  Saya menjawab, “Mari kita berterima kasih kepada Tuhan.  Mari kita katakan kepadaNya.”  Dengan banyak air mata kami berterima kasih kepada Tuhan atas kelepasanNya.  Ia juga berkata bahwa di sana hanya ada satu kesempatan dari seribu kesempatan yang memungkinkan kita mendarat dengan selamat.

            Dengan tiba-tiba sungai kecil itu dipenuhi dengan kerumunan orang-orang.  Seluruh desa itu berbondong-bondong memenuhi sungai dan mengerumuni pesawat tersebut.  Sang pilot dengan segera keluar dan mulai menyeberang ke tepian.  Karena saya lebih sedikit pelan, mereka mengira saya seperti perempuan, lembut.  Mengapa? Karena salah satu dari pria itu datang ke pesawat itu dan ia melihat saya dalam keadaan bahaya.  Lalu ia menyuruh pilot itu untuk memberitahukan saya naik di punggungnya.  Jadi, saya pun naik kepunggungnya dan ia membawa saya keluar.

            Ketika duduk ditepi tebing sungai dan sedang melihat pesawat yang kecil yang berada jauh di bawah sana, di sungai yang kecil itu, Lyon berkata kepada saya, “Ini pertama kali pesawat kami turun, dan ini pertama kalinya.”  Ia juga berkata bahwa Glenn Shupe akan merasa malu karena saya, dan menurutnya beliau tidak akan pernah berbicara lagi dengannya.  Lalu saya menyahut, “Floyd, jangan Anda berpikir seperti itu. Glenn Shupe akan bangga dengan kamu di luar orang lainnya di dunia dan tanpa ragu-ragu ia akan mengasihimu selamanya. 

Sementara Floyd Lyons, pilot itu, mengatakan kepada seluruh orang desa itu bagaimana menunjukkan pusat dari desa mereka sehingga pesawat kecil bisa datang menjemput kami, saya duduk di bawah pondok berdiding tanah yang beratap jerami, sambil memandang mereka bekerja.  Dan Seorang suku Indian duduk di samping saya dan juga ada seorang wanita tua kurus, yang menurut saya kelihatan berumur 180 tahun sedang duduk dengan tenang di samping saya.  Kemudian, seorang lelaki suku Indian itu mulai berbicara dengan bahasa isyarat kepada saya dengan begitu bersemangat dan saya tidak dapat mengertinya.  Ia menunjuk kepada telinganya, yang artinya bahwa ia telah mendengar suara ledakkan.  Dengan gerakan ia menunjukkan bahwa ia mengikutinya sepanjang jalan hingga turun ke sungai tempat pesawat itu mendarat.  Ketika ia tiba pada saatnya yang paling dramatis, sang ibu tua mulai berbicara yang kedengaran seperti a rat-a-tat-tat, dan saya tidak dapat mengerti sama sekali.  Jadi, akhirnya dia berdiri dan menunjuk kepada bapak Lyons, ia berkata, “Bravo! Bravo!”  Dan saya berkata, “Itu benar. Itu benar.” Bravo – saya mengerti itu.  Saya menunjukkan hormat saya kepada pilot Baptist yang baik dan trampil  serta penuh pengabdian itu.  Ia dibesarkan di daerah Shallow Water, Texas, dekat Lubbock.  Ketika saya sedang duduk dengannya di tepi tebing iru, saya menanyakan beberapa pertanyaan kepadanya.  Pertama saya bertanya, “Bagaimana Anda dibantu?”  Ia berkata, “Kami hidup dengan iman.”  Lalu saya menyahut, “Dengan Iman?”  Dia menjawab lagi, “Ya, dengan iman.”  “Kalau begitu,” saya lanjut bertanya, “Apakah Allah memelihara Anda? Apakah burung gagak memberi makan kepadamu?”  Dengan penuh keyakinan ia menjawab, “Ya.”  “Berbulan-bulan, kami hampir tidak mempunyai keperluan untuk kehidupan kami.  Tetapi, kami mempercayai Tuhan.”  Saya bertanya lagi, “Apakah Anda punya rumah?  “Tidak, sahutnya, memang ada banyak rumah di Guarina, tetapi kami tidak punya rumah.  Kami tidak pernah bisa menabung cukup untuk membangun satu rumah kecil.”  Menanggapi pernyataannya, akhirnya saya berkata, “Baiklah, saudaraku, saya tidak tahu, dan saya tidak dapat mengatakan.  Tetapi, bila saya kembali ke rumah, pada hari Rabu malam, bukan saja kami akan melakukan dengan murah hati untuk Wycliffe, tetapi kalau itu menyenangkan hati Allah, kami akan mengingat kamu.” 

Dan saya berkata kepada Anda, malam Rabu – malam Rabu berikutnya, persembahan yang kami bawa akan cukup untuk menolong pria itu untuk membangun satu rumah. Kami tidak akan mengatakannya tetapi sekitar $2,500.  Tetapi, jumlah itu itu hanya cukup untuk membangun rumah di hutan. Sedangkan mereka akan membangun di luar hutan.  Saya berharap pria itu mempunya cukup uang untuk membangun rumah bila Rabu malam telah lewat.

            Radio di pesawat yang sedang terdampat di sungai kecil itu masih terus hidup, dan Guarina dengan segera mulai mempersiapkan untuk mengirim pesawat kepada kami.  Floyd Lyons mempersiapkan landasan di pusat dari desa itu untuk pesawat kecil bisa melandas.  Dan Leo Lamp, seorang pilot JAARS yang dibesarkan di First Baptist Church di Frederick, Oklahoma, terbang dengan pesawat kecil dari Guarina untuk menjemput kami. 

            Pada saat itu saya sedang duduk di pondok dari tanah yang beratap jerami, dan beberapa dari anak-anak datang ke dalam dan berkata sesuatu kepada saya dengan penuh semangat dan menunjuk ke langit.  Saya keluar dan menengok ke atas, tetapi saya tidak dapat melihat apa-apa.  Saya bertanya kepada pilot Floyd mengapa saya tidak dapat mendengar apa-apa yang sedang datang.  Ia berkata bahwa telinga orang pribumi lebih sensitif dari telinga kita.

            Selanjutnya kami pun dapat melihat.  Berdiri di samping Floyd Lyons, saya berkta, “Puji Tuhan, mereka datang.”  Dan mereka berputar-putar – saya pikir ia tidak akan pernah bisa turun untuk dapat mendarat.  Tapi akhirnya mereka mendarat juga, dan saya tidak pernah melihat cahaya yang begitu mengagumkan memancar dari matahari.  Akhirnya Floyd dan saya masuk ke dalam pesawat.  Leo Lamp memutar pesawatnya,  mereka menarik kembali sebisa mereka sehingga mereka bisa terbang. Dan Leo  berkata, “Mari berdoa.”  Kami bertiga menundukkan kepala kami, lalu Leo berdoa, dan inilah isi doanya: “Berikan kami perjalanan yang baik menuju ke rumah dan berikan aku hikmat untuk mengetahui apa yang harus aku lakukan.” 

Setelah ia berkata amin, ia menghidupkan pesawat dan pesawat itu berputar dengan cepat ke arah kanan di tanah yang licin itu.  Kemudian kami menariknya kembali sebisa kami.  Seorang laki-laki dari desa itu memegang ekor pesawat dan menariknya kembali ke hutan, sehingga kami punya ruang pada landasan itu untuk pesawat tersebut. Setelah itu ia menghidupkan mesin pesawat, dan bagi saya kelihatannya tangan Allah terulur dan mengangkat pesawat itu ke udara.  Karena saya begitu heran, saya mengambil foto untuk itu, di mana Anda akan melihat dan saya juga merasa kagum karena pelangi mengikuti kami sepanjang perjalanan ke Guarina Cocha.  Dan ketika saya melihat itu, saya menundukkan kepala mengingat akan simbol janji Allah.  Saya menangis dan menangis atas kebaikan dan kemurahan pemeliharaan Tuhan. 

Pesawat yang menjemput kami akhirnya tiba dan melandas di landasan kecil di Guarina dan semua misionaris keluar menyambut kami dan juga Millie, istri Floyd beserta kedua anak dan satu bayi di tangannya. Ia datang dan memeluk suaminya, untuk menyambut Floyd datang ke rumah.  Saya mengambil kamera saya dan mengambil foto mereka.  Saya berhenti sejenak dan menundukkan kepala.  Rasanya seperti sesuatu yang kudus untuk memakai foto tersebut. Mereka mengadakan kebaktian kecil untuk mengucap syukur dan memuji Tuhan.  Para misionaris di Guarina mengatakan kepada saya, “Allah pasti punya maksud yang khusus untuk hidupmu.”

Sejak saya kembali, anak-anak bertanya kepada saya, “Bapak berkata bahwa Allah memeliharamu.  Tetapi, mengapa Ia mengizinkan peristiwa itu terjadi?”   Saya mempunyai jawaban dari Firman Tuhan.  Salah satu dari misionaris yang ada di Guarina, di mana saya menginap, bernama Cal Hibbert, dalam satu renungan kami bersama, ia membuka pasal Alkitab dan membacanya.  Sebagai orang-orang yang ahli ilmu bahasa, mereka mempelajari seluruh terjemahan.  Pada malam itu ia memegang terjemahan surat Filipi, dari Perjanjian Baru: Surat Kepada Jemaat-Jemaat yang Masih Muda. Dan Cal Hibberd, misionari itu berkata kepada saya, “Pendeta, saya ingin membaca untuk Anda Firman Tuhan tentang Anda.”

Dan ini adalah apa yang ia baca, dalam terjemahan, surat kedua untuk gereja di Korintus , pasal pertama, ayat delapan hingga 11:

“Kami mau, saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan yang kami alami di Asia. Pada saat itu kami kewalahan dan dibebani.  Kenyataannya, kami memberitahukan diri kami, “Ini merupakan akhir.”  Ya, kami sekarang percaya bahwa kami mempunyai pengalaman ini untuk datang kepada akhir dari ketidaksabaran kami untuk belajar bagaimana harus percaya, bukan kepada kami, tetapi kepada Allah, yang dapat menghidupkan orang mati.  Allahlah yang menyelamatkan kita dari kematian yang sudah dekat dan Dialah yang masih menyelamatkan kami. Selanjutnya, kami percaya kepadaNya untuk menyelamatkan kami di masa mendatang.  Dan di sini engkau bisa bersama-sama dan menolong dengan berdoa untuk kami, sehingga akhirnya kebaikan yang dilakukan untuk kami bisa bekerja dalam keselamatanmu.”

 

Semua pemeliharaan hidup yang terjadi dengan kita mengajar kita bagaimana belajar kepada Allah, untuk percaya atas kebaikan Tuhan kita.  Semua kita, kadang-kadang, tiba pada satu pencobaan yang berat.  Tidak ada kehidupan yang akan terlepas.

 

Kadang-kadang melalui lembah,

Dalam kegelapan yang pekat,

Allah menuntun umatNya.

Kadangkala di atas gunung,

Dengan sinar matahari yang terik,

Allah menuntun anak-anakNya yang kekasih.

Beberapa orang melalui api,

Bebarapa orang melalui banjir,

Beberapa orang melalui pencobaan-pencobaan lainnya,

Tetapi semuanya melalui darah.

 

Kadang-kadang melalui pencobaan-pencobaan besar, tetapi tidak pernah sendirian. Sepanjang perjalanan, kita boleh belajar untuk percaya kepada Tuhan.  Bila pencobaan datang kepada Anda, ada kekecewaan yang menusuk hati Anda. Ada mimpi yang akan musnah.  Ada pemandangan kematian.  Tetapi, bila malam itu tiba, ingatlah bahwa, Allah sedang mengajar anak-anaknya, melalui air mata dan kesengsaraan, untuk masuk dalam kerajaan Allah. Jadi, dengan doa-doa dan rasa terima kasih karena semuanya itu adalah kasih karunia.  Demikianlah, hidup kita akan dimasukkan, karena karya pilihan Allah dilaksanakan, kiranya kita menghadapinya dengan tangan kita di tanganNya dan hati kita berserah kepada kasih karunia dan kebaikan Allah